Sabtu, 30 Mei 2020

, , ,

[BOOK REVIEW] Stillhouse Lake by Rachel Caine - Tidak bisa tidak parno!!!



Judul : Stillhouse Lake
Penulis : Rachel Caine
Penerjemah : Anggun Prameswari
Penyunting : Prisca Primasari
Penyelaras aksara : Seplia
Desain sampul : Herdiyani (ANIMAJI)
Penerbit : Spring
Terbit : Maret 2018 
Tebal : 364 halaman


                                                                            BLURB

Gina Royal, seorang ibu dengan dua anak, tidak pernah menyangka dia menikahi seorang pembunuh berantai. Sampai akhirnya sebuah kecelakaan mengungkap identitas suami aslinya, dan Gina harus memulai hidupnya lagi dari awal sebagai Gwen Proctor.

Dengan mantan suaminya di penjara, Gwen akhirnya menemukan suakanya di danau Stillhouse, di sebuah rumah yang nyaman. Meski dia masih menjadi target penguntit dan bajungan internet, dia kira dia bisa membesarkan kedua anaknya dalam damai.

Sampai suatu ketika... ada mayat ditemukan di danau, dibunuh dengan cara yang sama dengan korban suami-suaminya. Saat itulah Gwen tahu, suaminya sedang memburu dirinya dan anaknya. 


REVIEW

Kali ini aku mencoba baca novel thriller karya Rachel Caine. Awalnya aku tidak tahu tentang keberadaan novel Stillhouse Lake, aku baru tahu novel Stillhouse Lake saat melihat daftar judul buku diskon ramadhan penerbit Spring. Selain judulnya yang membuat penasaran, cover dan blurb dari buku ini juga sangat persuasif. Meski hanya ada gambar perkakas dan senjata, itu sudah mampu memberikan aku bayangan tentang novel Stillhouse Lake. Jadi selain karena diskon, aku juga tertarik dengan bukunya. Hahah!

Dan saat aku mencari lebih jauh tentang novel Stillhouse Lake, aku dapat info ternyata novel ini adalah novel series. Itu artinya masih ada kelanjutan dari novel Stillhouse Lake. Yeay!

Masuk ke bagian cerita, seperti yang sudah aku bahas di postingan menuju tuntas, awalnya aku mengira kisah dalam prolog itu akan berlanjut di bab satu. Sebenarnya aku berharap itu dilanjutkan ke bab satu karena aku penasaran sekali dengan proses selanjutnya. Tapi ternyata tidak, di bab satu aku disuguhkan kisah Gina Royal dan anaknya beberapa tahun kemudian.

Di bab satu, aku diberi lihat bagaimana sosok Gina -atau mungkin sekarang Gwen- yang berubah 180 derajat dari sebelumnya. Aku bisa bilang begitu karena di prolog, Gwen dikisahkan sebagai ibu dua orang anak yang hidup bahagia dengan suami dan kedua anaknya. Yang dimana ketimbang berada di arena tembak, dia lebih memilih berada di dapur untuk menyiapkan makanan. Tidak perlu merasa cemas akan terjadi apa-apa karena ada suami yang akan siap sedia melindungi.

Arena tembak. Memegang pistol dan membidik tepat sasaran, juga bau mesiu selalu menemani Gwen sehari-harinya. Saat membacanya, aku langsung berpikir betapa bahayanya siatuasi yang menimpa Gwen dan anak-anaknya.

Gwen menjadi pribadi yang paranoid, selalu berpikir berlebih dan juga overprotective pada anak-anaknya. Sejujurnya aku berpikir itu wajar setelah apa yang dialaminya, tapi dibeberapa scene aku juga merasa tindakan Gwen sedikit keterlaluan(?)

Anak-anak Gwen yang sudah beberapa kali pindah dan berganti identitas pun acapkali mengutarakan pendapatnya tentang sikap Gwen yang sekarang. Mereka protes dan melakukan hal-hal yang membuat Gwen semakin diliputi rasa cemas.

Sampai sebuah surat berisikan umpatan-umpatan kasar dan ancaman dari sang mantan suami datang, anak-anaknya sadar bahwa semua yang dilakukan ibunya tidaklah berlebihan. 

Selain melakukan berbagai tindakan perlindungan diri, Gwen juga melarang anak-anaknya menggunakan ponsel cerdas seperti teman-temannya yang lain. Gwen benar-benar menjauhkan anak-anaknya dari dunia luar. 

Coba bayangkan, hidup dalam pelarian, berganti-ganti identitas dan hidup dalam kecemasan, semua itu dialami Gwen dan anak-anaknya bertahun-tahun. Dan ternyata, bukan itu saja, ibu Gwen sendiri bahkan tidak tahu dimana keberadaan putri dan cucuknya.

Secara keseluruhan, dari awal sampai akhir cerita aku tidak pernah bisa tenang saat membaca novel Stillhouse Lake. Kalian tahu saat-saat menegangkan saat melihat film horror, dimana musik menyeramkan mulai diputar dan kalian menunggu-nunggu kemunculan hantu? seperti itulah yang aku rasakan, parno.

Seiring berjalannya cerita Stillhouse Lake, selain parno, aku juga jadi ikut waspada dan menerka-nerka siapa dalang dari semua 'kejadian menyeramkan itu' saat tokoh-tokoh baru mulai muncul. Beberapa pertanyaan seperti :

Siapa yang menjadi kaki tangan Malvin untuk melakukan semua itu?

Apa dia orang yang baik?

Sampai, apa itu semua sikap asli mereka?

Aku ucapkan dalam hati saat tokoh itu mulai memainkan peran masing-masing.

Iya! sepenasaran dan parno itu aku saat membacanya!

Dari cerita , sekarang masuk ke gaya bahasa atau gaya penceritaan. Sebenarnya aku tidak perlu memaparkan banyak-banyak tentang ini, dilihat dari siapa yang menciptakan novel Stillhouse Lake ini. Yaitu penulis bernama Rachel Caine yang sudah banyak menciptakan novel-novel fiksi ilmiah, fantasi, horror dan misteri. (Sumber : wikipedia)

Yang aku rasakan, cerita dengan suasana menegangkan dan cukup mengerikan ini dikemas dengan gaya bahasa yang ringan. Sehingga membacanya tidak terlalu rumit atau berat seperti tema novel Stillhouse Lake. Dari awal aku membaca novel Stillhouse Lake, rasanya sangat mudah untuk dipahami dan masuk lebih dalam ke dalam kisahnya. Penggambaran tokoh, situasi dan suasananya sangat detail dan rapih. Dunia yang ingin diperlihatkan pada pembaca pun dapat terbayang dengan mudahnya.

Selain itu, pesan yang ingin disampaikan juga dapat tersampaikan begitu saja. Tentu saja pesan itu tersampaikan melalui Gwen dengan segala perilakunya. Aku juga merasa bukan hanya kisah menegangkan saja yang diceritakan disini, ada kisah tentang kekeluargaan yang tak kalah lekat. Aku tersentuh dengan tindakan Gwen yang totalitas dalam menjaga anaknya -meski aku tahu semua orang tua seperti itu -tapi dalam cerita ini berbeda!

Ada satu scene Stillhouse Lake yang membuatku kagum akan ketangkasan Gwen dalam melindungi anak-anaknya. Tapi aku tidak ingin menceritakannya disini karena takut akan menjadi spoiler. Haha! 

Intinya, tingkat parno Gwen ini diatas rata-rata, bisa hanya karena lupa mengunci pintu saja semua berakhir dengan acungan pistol.

Namun, di balik semua kelebihan dan kecintaanku pada novel Stillhouse Lake, ada sedikit kekurangan seperti kalimat rancu atau beberapa kata yang kurang di novel Stillhouse Lake ini, seperti yang pernah ku bahas di postingan sebelumnya. Sebenarnya tidak terlalu mengganggu karena kalimat selanjutnya bisa menjelaskan apa maksudnya, tapi tetap saja saat membacanya aku perlu berpikir keras lebih dulu.

Kenapa? karena aku tipe pembaca lamban yang memperhatikan setiap detail dari kalimat sebelum melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. Itu juga yang membuat aku butuh waktu lama untuk membaca sebuah novel.

Dan terakhir, aku ingin memberi novel Stillhouse Lake 4.5/5 bintang.

Sukses terus penerbit Spring. Karena kalian, aku jadi bisa membaca novel sebagus Stillhouse Lake ini.










Continue reading [BOOK REVIEW] Stillhouse Lake by Rachel Caine - Tidak bisa tidak parno!!!

Senin, 25 Mei 2020

,

[Menuju tuntas] 120/359⁣ Stillhouse Lake by Rachel Caine⁣ ⁣|| Bagaimana bisa?




"... Mel ada di penjara. Dia tidak akan pernah keluar kecuali, dengan peti mati. Aku lebih mencemaskan orang lain. Orang-orang yang marah. Para pengganggu dunia maya, belum lagi, anggota keluarga dan teman dari para wanita yang Mel siksa dan bunuh, yang tentu saja diliputi amarah... Tetapi bagaimana mereka menemukan kami? Tetap saja aku teringat gambar-gambar beberapa hari lalu, di mana wajah anak-anakku di-Photoshop ke jasad-jasad hancur penuh darah, ke mayat-mayat yang menderita karena disiksa." -Halaman 111⁣
Kalian pernah merasakan dikejar-kejar seseorang yang kalian hindari? merasa diawasi dan dihantui rasa cemas setiap saat karena sebuah 'kasus' yang melibatkan keluarga kalian?⁣
Jika belum, Gwen akan memberitahu kalian.⁣
Di bab ini, semua konflik mulai bermunculan. Semua dugaan demi dugaan bermunculan di bab ini. Membuat aku yang notabene tipe pembaca lamban, yang tidak akan melewatkan satu baris narasi sekali pun lolos sebelum aku membayangkan adegannya, ingin cepat-cepat melanjutkan baca ke halaman selanjutnya.⁣
Tidak sabar? bukan!⁣
Aku hanya ikut merasa cemas dan takut saat membaca tiap halamannya. Ibarat melihat hantu, aku ingin cepat-cepat menuju siang. Maka dari itu membaca novel ini tak terasa menjadi agak cepat dari biasanya. ⁣
Sudut pandang yang diambil dari sudut pandang Gwen ini, sangatlah membuat parno. Masalah tentang lupa menutup pintu saja sampai mengharuskan Gwen bersiap-siap mengambil senjata api. Belum lagi tokoh-tokoh yang mulai bermunculan membuat aku menaruh curiga pada setiap tokohnya. ⁣
Namun, sejauh membaca novel ini aku beberapa kali menemukan kalimat yang rancu, kurang beberapa kata atau setidaknya membuat kalimat kurang enak dibaca. Contohnya pada kalimat di baris terakhir penggalan narasi di atas setelah tanda tanya.⁣
Bagaimana menurut kalian? apa cuma perasaanku saja? 🤔⁣
Selengkapnya akan aku bahas nanti setelah selesai membaca. Untuk sekarang, aku hanya ingin membagi rasa cemasku saat membaca novel ini. ⁣
Salam cemas! hahaha.⁣

Continue reading [Menuju tuntas] 120/359⁣ Stillhouse Lake by Rachel Caine⁣ ⁣|| Bagaimana bisa?

Kamis, 21 Mei 2020

,

[Menuju tuntas] 99/359 Stillhouse Lake by Rachel Caine || Bergegas!



"Aku tidak akan menyeret anak-anakku detik ini juga, lalu kabur, tetapi pastinya aku harus membuat rencana untuk kabur darurat kalau-kalau semua memburuk...."⁣
Sejauh aku baca novel ini, aku tidak pernah tenang. Tegang terus rasanya. Aku memang belum menemukan banyak masalah disini selain sesuatu yang dianggap masalah oleh Gwen karena paranoid-nya. Tapi tingkah Gwen dan situasi yang diceritakannya seakan membuat masalah tersendiri.⁣
Dan masalahnya adalah aku yang tidak bisa berhenti baca meski diliputi rasa tegang.⁣

Continue reading [Menuju tuntas] 99/359 Stillhouse Lake by Rachel Caine || Bergegas!

Selasa, 19 Mei 2020

Planing

"Saat aku tidak mendapatkan sesuatu, itu bukan salahku. Tapi jika aku tidak menjadi sesuatu, itu adalah salahku."

Di usiaku sekarang, bayangan akan masa depan rasanya begitu nyata. Rencana-rencana hidup ke depannya tertata begitu apik. Menemukan relasi sana-sini untuk menjalin kolaborasi. Untuk aku di masa depan, kalau sudah sukses jangan lupa berbagi. Jangan pelit ilmu dan rangkul sesamamu. Kamu pernah menjadi seperti mereka. Untuk aku di masa depan, semoga sukses dan berhasil.
Continue reading Planing

Senin, 18 Mei 2020

Sabtu, 16 Mei 2020

,

[Menuju tuntas] 38/359 Stillhouse Lake by Rachel Caine || Oh tidak dengan mayat itu!


Seperti judul diatas, ini adalah update terakhir aku membaca novel. Tidak ada tujuan lain dalam menulis ini selain untuk melihat perkembangan diri sendiri dalam membaca novel. Mungkin suatu saat nanti, saat aku tidak lagi punya waktu untuk membaca seperti sekarang, aku akan mengenang kegiatan-kegiatan ini dengan cara melihatnya di sini. Melihat bahwa aku pernah bahagia dengan melakukan apa yang aku suka.

Dan tanpa pikir panjang lagi, aku akan membahas novel ini sekarang.

Continue reading [Menuju tuntas] 38/359 Stillhouse Lake by Rachel Caine || Oh tidak dengan mayat itu!

Rabu, 29 April 2020

, , ,

[BOOK REVIEW] A untuk Amanda by Annisa Ihsani - Cerdas itu HANYA KEBERUNTUNGAN

                                                                                       


Judul buku: A Untuk Amanda
Penulis: Annisa Ihsani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-605-03-2631-3
Jumlah halaman : 264 halaman
Harga : 60.000



Sinopsis 
Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.

Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang bisa beruntung setiap saat, kan?

Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.

Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya, Amanda harus menerima bahwa dia tidak bisa mendapatkan nilai A untuk segalanya.

Review
A untuk Amanda adalah novel kedua karya Kak Annisa Ihsani. Novel yang mengangkat tema depresi pada anak SMA ini adalah novel bertema depresi pertama yang aku baca sebelum Under Water karya MarisaReichardt. Awalnya aku kira novel young adult bagus itu cuma dari luar negeri saja, ternyata Indonesia juga punya penulis hebat seperti Annisa Ihsani ini.

Sangat antusias dan tidak sabar membaca saat aku menonton review booktuber tentang novel ini. Apalagi tema yang diambil juga sangat jarang kan? 


“Tadinya kukira orang mengalami depresi ketika ada sesuatu yang salah dengan hidup mereka. Tapi bagiku, depresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan dengan sempurna.”



Saat aku baca sinopsisnya, sedikit dari dalam diriku ikut menyetujui pemikiran Amanda tentang kepintaran itu hanyalah keberuntungan. Dan kalian tahu, aku bisa langsung ikut merasakan apa yang Amanda rasakan setelah membaca kutipan ini.


“Jadi, kurasa guru-guru cuma menilaiku berdasarkan reputasi. Seperti… aku cuma beruntung beberapa kali di awal dan dapat nilai bagus… lalu mereka terus memberiku A, bahkan di saat aku tidak pantas mendapatkannya. Kau mengerti maksudku?"


Aku paham Amanda gemas dengan orang-orang yang selalu menganggap dirinya pintar karena selalu mendapatkan nilai A, aku juga paham apa yang Amanda rasakan saat sahabat sekaligus pacarnya, Tommy menganggap Amanda ini haus pujian atau perhatian. Rasanya aku ingin teriak didepan Tommy bahwa pacarmu ini hanya perlu teman yang memahami pemikirannya. Atau Tommy seharusnya bisa kah, cukup mengangguk sambil berkata bahwa dirinya mengerti apa yang Amanda maksud dan rasakan? setidaknya itu akan menunjukkan bahwa dia adalah pacar yang pengertian. Ah kesalku masih tersisa ternyata.

Bicara tentang Tommy, biar aku ulas sedikit tentang Tommy. Tommy adalah sahabat dari kecilnya Amanda yang sudah naik pangkat menjadi pacar, dan Tommy tidak menyukai M&M's warna kuning. Sebenarnya Tommy ini cukup mengerti Amanda, dia adalah pacar yang baik dan juga sahabat yang baik. Akan tetapi ada kalanya Tommy tidak mengerti Amanda dan bertanya-tanya dengan pemikiran Amanda.


“Kau tidak butuh persetujuan saya, Amanda. Apa pun yang saya dan orang lain pikirkan, itu tidak penting. Satu-satunya hal yang berpengaruh adalah apa yang kaupikirkan tentang dirimu sendiri.”


Diawal halaman, aku diberitahu bahwa jenis depresi yang Amanda alami adalah Impostor Syndrome atau sindrom penipu. Amanda merasa dirinya hanya beruntung saat mendapatkan nilai A dan merasa semua yang orang lain pikirkan tentangnya adalah salah, dirinya menipu. Semua orang tertipu oleh keberuntungan yang dimilikinya. 

Semua itu berawal ketika salah satu guru yang sedang mengajar dikelasnya mengajukan sebuah pertanyaan, tapi tidak seperti biasanya, guru itu tidak menunjuk Amanda melainkan temannya. Amanda sudah tahu apa jawabannya, tapi temannya itu justru memiliki jawaban yang berbeda dengan Amanda. Amanda mengira dirinyalah yang benar, akan tetapi ternyata justru jawaban temannyalah yang benar. Amanda terkejut dan mencari tahu, dan memang benar dirinyalah yang salah. Dari saat itu dia merasa bahwa dia tidak pintar, selama ini dirinya hanya mendapatkan keberuntungan.

Dari narasi yang dibawakan, penulis seolah mengajak pembaca untuk tahu perjalanan Amanda, bagaimana Amanda yang tidak bisa berhenti berpikir sampai Amanda yang men-cap dirinya sebagai penipu. Pemikiran-pemikiran Amanda yang kelewat pintar itu ternyata tidak selamanya berdampak baik, terkadang menjadi biasa-biasa saja justru lebih baik. Itu yang aku simpulkan saat membaca pikiran Amanda.

Amanda tinggal dengan Ibunya yang merupakan seorang janda, Ayahnya sudah meninggal saat Amanda masih kecil. Tapi meskipun begitu kenangan-kenangan akan sang Ayah masih melekat dalam ingatannya. Meskipun Ibu Amanda ini cukup sibuk dengan pekerjaanya sebagai akuntan, Amanda masih mendapat perhatian penuh darinya.

Aku suka dengan sikap Ibu Amanda yang selalu sabar ketika menghadapi pemikiran Amanda yang seperti itu. Bagaimana dirinya yang mencoba menyuruh Amanda untuk tidak diam dikamar dan selalu memutar musik yang sama berulang-ulang, itu terasa sangat manis sekaligus memprihatinkan. 


“Aku sangat lelah dan merasa seperti karet yang direntangkan melebihi batas elastisitasnya. Yang ingin kulaku-kan hanyalah berbaring di tempat tidur dan tidak memikirkan apa-apa lagi.”


Selain menceritakan proses yang dilalui Amanda untuk depresinya, penulis juga membuatku flashback dengan menceritakan kebingungan Amanda saat akan memilih Universitas. Bedanya Amanda bisa masuk universitas mana saja dengan mudah sedangkan aku tidak, haha! 

Yah, sedikit disayangkan memang, dengan semua yang Amanda miliki dirinya masih berpikir bahwa dirinya itu penipu. Namun, aku mendapatkan banyak sekali pembelajaran dari buku ini. Pesan yang ingin disampaikan penulis bisa dengan mudah tersampaikan pada pembaca. Meskipun ini kisah yang cukup berat, tapi penulis membuat semuanya mudah dipahami karena pengulis mengemasnya dengan ringan.

Membaca novel ini kalian akan diajak menjadi orang yang teoritis, cerdas, sarkas dan berhati-hati dalam mengambil tindakan. Narasinya yang mengalir dan dialognya yang keren membuatku sangat menyukai novel ini. Sampai-sampai aku berani memberi 5 bintang dari 5 untuk novel ini.

Oh iya, kak Annisa Ihsani ini orangnya ramah loh! kenapa aku bisa bilang begitu? karena aku pernah menemukan IG-nya dan mencoba untuk menyapa beliau di DM. Aku pikir tidak akan dibalas, tapi ternyata dibalas dengan ramahnya. 

Aku juga pernah memposting buku ini di Instagramku, tapi baru sempat posting sekarang. Maafkan :''

Jadi, siapkah kalian menyelami pemikiran Amanda yang rumit dan cerdas ini? 


Synopsis 

Amanda has one small problem: she's convinced that she's not as smart as she appears. His report card contained all A grades, he believed because luck was on his side. It seemed the teachers only asked him questions he happened to know the answer to.

But of course, it's impossible for anyone to be lucky all the time, right?

After thinking about it, it didn't seem like a small matter. Especially considering that his life is filled with a series of psychotherapy appointments. When she came home with a prescription for antidepressants, Amanda knew the problem was more complicated than she was ready to admit.

Amidst complications with her boyfriend, family, and school, Amanda must accept that she can't get A's in everything.

Review

A for Amanda is the second novel by Ms. Annisa Ihsani. This novel, which deals with the theme of depression in high school students, was the first depression-themed novel that I read before Under Water by Marisa Reichardt . At first I thought that good young adult novels only came from abroad, but it turns out that Indonesia also has great writers like Annisa Ihsani.

Very enthusiastic and can't wait to read when I watched the booktuber's review of this novel. Moreover, the themes chosen are also very rare, right? 

“I thought people got depressed when there was something wrong with their lives. But for me, depression comes when everything in my life is going perfectly.”

When I read the synopsis, a little part of me agreed with Amanda's idea that intelligence is just luck. And you know, I could immediately feel what Amanda felt after reading this quote.

“So, I guess the teachers just judged me based on reputation. Like… I just got lucky a few times in the beginning and got good grades… then they kept giving me A's, even when I didn't deserve them. Do you understand what I mean?"

I understand that Amanda is annoyed by people who always think they are smart because they always get A grades. I also understand what Amanda feels when her best friend and boyfriend, Tommy, thinks that Amanda is hungry for praise or attention. I feel like screaming in front of Tommy that your boyfriend just needs a friend who understands his thoughts. Or should Tommy be able to just nod and say that he understands what Amanda means and feels? at least it will show that he is an understanding boyfriend. Ah, my annoyance still remains.

Talking about Tommy, let me tell you a little about Tommy. Tommy is Amanda's childhood friend who has been promoted to boyfriend, and Tommy doesn't like yellow M&M's. Actually, Tommy understands Amanda quite well, he is a good boyfriend and also a good friend. However, there were times when Tommy didn't understand Amanda and wondered what Amanda was thinking.

“You don't need my approval, Amanda. Whatever I and others think, it doesn't matter. The only thing that matters is what you think about yourself.”

At the beginning of the page, I was told that the type of depression Amanda was experiencing was Impostor Syndrome . Amanda felt that she was just lucky when she got an A and felt that everything other people thought about her was wrong, that she was cheating. Everyone is deceived by the luck they have. 

It all started when one of the teachers who was teaching in his class asked a question, but unlike usual, the teacher didn't point to Amanda but his friend. Amanda already knew what the answer was, but her friend had a different answer to Amanda. Amanda thought she was right, but it turned out that her friend's answer was the right one. Amanda was shocked and found out, and it was true that she was in the wrong. From that moment on he felt that he was not smart, all this time he had only had luck.

From the narrative presented, the author seems to invite readers to know Amanda's journey, how Amanda couldn't stop thinking until Amanda branded herself as a fraud. Amanda's overly clever thoughts don't always have a good impact, sometimes being mediocre is actually better. That's what I concluded when reading Amanda's thoughts.

Amanda lives with her mother who is a widow. Her father died when Amanda was little. But even so, the memories of his father still linger in his memory. Even though Amanda's mother is quite busy with her work as an accountant, Amanda still gets her full attention.

I like Amanda's mother's attitude, who is always patient when dealing with Amanda's thoughts like that. How he tried to tell Amanda not to stay in the room and always play the same music over and over again, it felt very sweet and worrying at the same time. 

“I was so tired and felt like rubber had been stretched beyond its elastic limit. All I want to do is lie in bed and not think about anything else.”

Apart from telling about the process that Amanda went through for her depression, the author also gave me flashbacks by telling about Amanda's confusion when choosing a university. The difference is that Amanda can enter any university easily while I can't, haha! 

Well, it's a bit unfortunate, with everything Amanda has, she still thinks she's a fraud. However, I learned a lot from this book. The message the author wants to convey can easily be conveyed to the reader. Even though this is a quite heavy story, the author makes everything easy to understand because the author packages it lightly.

Reading this novel you will be invited to become a person who is theoretical, intelligent, sarcastic and careful in taking action. The flowing narrative and cool dialogue made me really like this novel. So much so that I dare to give 5 stars out of 5 for this novel.

Oh yes, Sis Annisa Ihsani is a friendly person! why can I say that? because I once found his IG and tried to greet him in DM. I thought there would be no reply, but it turned out to be a friendly response. 

I've also posted this book on my Instagram , but I've only had time to post it now. Sorry :''

So, are you ready to dive into Amanda's complicated and intelligent thoughts? 





Continue reading [BOOK REVIEW] A untuk Amanda by Annisa Ihsani - Cerdas itu HANYA KEBERUNTUNGAN
, ,

[Book Review] Kumpulan Kisah Seram dari KISAH TANAH JAWA


Kisah Tanah Jawa - GagasMedia | Shopee Indonesia

Judul : Kisah Tanah Jawa
Penulis : Team @kisahtanahjawa dan Dapoer Tjerita (Mada Zdan (Mbah KJ) dan Bonaventura D. Genta Retro-cogniser : Hari Hao)
Penerbit : Gagas Media
Jumlah Halaman : 250 halaman



Kisah Tanah Jawa menyimpan banyak kisah misteri yang takkan habis diceritakan dalam semalam. Sosok misterius, ritual mistis, dan tempat angker, selalu membuat kita penasaran. Buku Kisah Tanah Jawa mengajak pembaca membuka selubung mitos dan mistis yang selama ini hanya menjadi kasak-kusuk di masyarakat.  –Goodreads

Hai readers! Siapa disini yang tidak tahu buku ini? buku yang berisi kumpulan cerita-cerita mistis ini sudah banyak dikenal oleh masyarakat lho, terutama pencinta dunia horor. Aku disini bukan penggemar horor sebenarnya, karena aku cukup penakut. Tapi rasa penasaran akan buku ini ternyata mampu mengalahkan rasa takutku haha! Hanya sedikit.

Awalnya aku tidak kepikiran sama sekali untuk baca buku ini, tapi waktu itu aku lihat story-nya Risa Saraswati yang membagi-bagikan bukunya secara gratis di google playbook, jadi aku lihat-lihat buku horor deh. Dari buku Risa Saraswati akhirnya aku menemukan buku Kisah Tanah Jawa ini. Dan bingunglah aku harus baca yang mana dulu. Haha! Untung saja kalian mau bantu aku untuk ikut voting di story instagram. Makasih loooh XD

Oke, langsung saja kita masuk ke reviewnya.

Seperti yang sudah aku bilang diatas, buku ini adalah kumpulan cerita mistis, khususnya di tanah Jawa. Banyak sekali jin dan setan ternyata dibuku ini. Mulai dari ritual-ritual gaib, tempat-tempat angker, hutan sampai gedung tua diceritakan disini. Mulai dari jaman kerajaan sampai masa kolonial Belanda.

Sudut pandang di buku ini adalah sudut pandang orang pertama, dimana si tokoh ‘kami’ yang menceritakan semua kejadiannya kepada pembaca. Mungkin karena sudut pandang yang diambilnya orang pertama, rasanya cerita ini jadi lebih mencekam dan seram. Aku diberi penjabaran yang sangat detail mulai dari nama tempat sampai tokoh-tokoh yang ada di dalam ceritanya.

Membayangkan tempat-tempat yang terlihat biasa saja ternyata menyimpan banyak kisah itu membuatku berpikir dua kali jika akan berkunjung ke suatu tempat. Ada istilah : lebih baik tidak tahu apa-apa ketimbang tahu tapi membuat sakit. Eya! Tapi bedanya disini bukan membuat sakit melainkan membuat takut.

Selain cerita, ada juga ilustrasi yang mendukung. Saat melihatnya, aku takut sekaligus penasaran ingin lihat lebih jelas. Bayangan-bayangan dari visualisasi yang diberikan ditambah cerita yang diambil dari kisah nyata ini menjadi duet maut untuk novel ini.

Tapi, meskipun banyak kisah dan visualisasi seram dibuku ini, tidak semua kisah yang disuguhkan menyeramkan, kok. Ada juga yang hanya membuat angguk-angguk kepala paham. Oh iya, setelah baca buku ini aku baru sadar, kalau salah satu dari tempat yang sering aku datangi adalah salah satu cerita yang masuk dalam buku ini.

Nama tempatnya, terowongan Lampegan. Itu tempat yang selalu dilalui oleh kereta jurusan Cianjur (tempat tinggalku). Aku kaget, setelah baca buku Kisah Tanah Jawa ini aku jadi paham kenapa orang tua yang naik kereta akan tiba-tiba terdiam dan berdo’a ketika lewat terowongan itu. Ibuku juga selalu menyuruhku untuk baca ayat kursi kalau lewat terowongan itu. Dan ternyata kisahnya memang seram. Sepertinya aku akan menjadi lebih waspada jika sedang melalui terowongan itu.

Mungkin, kalian juga pernah melewati tempat-tempat yang ada dibuku ini, tapi kalian tidak tahu ada kisah apa dibalik pembangunan tempat itu. Buku ini seram, kejam, dan membuat terbayang-bayang. Setidaknya untukku begitu.

Akan tetapi, aku sedikit bosan dengan penuturan dan gaya penceritaan penulis yang terkesan monoton. Yang membedakan hanya nama tempat dan ceritanya saja. Tapi cara penyampaiannya sama semua. Tapi itu hanya sedikit kekurangan dari buku ini kok, selebihnya bagus dan membuat nagih.

4 bintang dari 5 untuk buku ini.

Kalian sudah baca?

 Yakin tempat sekarang kalian menetap itu bersih dari kata mistis? Kalau belum tahu, aku sarankan baca dulu buku ini.

Sampai jumpa di review selanjutnya!


Temui aku di Instagram @poetesspoetess



Continue reading [Book Review] Kumpulan Kisah Seram dari KISAH TANAH JAWA

Senin, 27 April 2020

, ,

[Cerbung] SENANDIKA BAB 7 : PINUS KERING

 SENANDIKA oleh Poetess05
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Keterangan : 
Tanda kutip satu (' ') untuk memulai Nisti yang sedang mengetik atau menyampaikan sesuatu dengan bahasa isyarat.
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Kamu benar, Kistain. Mereka tidak layu, melainkan memulai sebuah kehidupan baru. Dengan kisah baru dan juga tempat baru.
Akan tetapi tidak dengan kenangan dan perasaan yang belum berlalu.
***
Posted by Penasunyi
Manusia hanya bisa merencanakan, tapi tidak dengan menentukan sesuatu akan terwujud atau tidak dengan pasti. Kata-kata mutiara itulah yang sedang susah payah aku sampaikan pada sahabatku, Rita.
Waktu itu adalah hari pengumuman SBMPTN. Kami -Aku, Kistain dan Rita menjadi beberapa dari mereka yang menanti-nanti sebuah kabar penting saat itu.
Rita yang tidak ingin membuka pengumuman sendiri akhirnya mengajak aku dan Kistain untuk menemaninya membuka hasil.
Sore itu aku dan Kistain baru saja pulang dari taman baca. Aku habis menemani Kistain yang katanya ingin mencari series komik kesukaannya disana. Untung saja tidak ketemu. Karena jika ketemu, aku yakin tidak akan pulang secepat ini.
Rita menungguku di depan pintu gerbang rumahku. Lengkap dengan ponsel ditangan kirinya dan sepasang cengiran antusias dibibirnya.
"Lho, bukannya ini teman Nisti?" Tanya Kistain.
Aku baru sadar kalau Kistain belum pulang dan masih setia mengekoriku dari belakang.
"Iya. Kamu cucuknya Pak Danu kan?"
"Bukan, aku cucuk Kakekku." Jawab Kistain sekonyong-konyong.
Rita mengulurkan tangan kanannya, mengajak Kistain bersalaman sebagai tanda perkenalan resmi. "Rita Yudia."
"Kistain Mahendra."
Kami terdiam beberapa detik. Setelah perkenalan lalu apa?
Tentu saja maksud kedatangan Rita. Harusnya Rita segera menjelaskan, tapi sore itu Rita hanya sibuk menggulung lengan baju panjang nya yang menutupi jari sambil tersenyum tipis.
Aku rasa cukup tipis.
Aku memegang pundaknya, masih dengan tatapan bertanya.
"Oh iya. Aku datang kesini untuk mengajakmu melihat hasil SBMPTN bersama-sama. Aku terlalu tegang untuk melihatnya sendiri."
"Aku?" Kistain menunjuk dirinya dengan jari telunjuk.
"Iya, kamu juga." Kata Rita.
Aku mengajak Rita dan Kistain untuk menungguku di ruang tamu selagi aku membersihkan diri. Tapi mereka menolak dengan dalih suasana di teras lebih sejuk.
Tiga cangkir teh, setoples biskuit, dan pembahasan paling serius sejagat raya anak sekolah adalah hal yang tengah tersuguhkan dihadapan kami. Aku tidak sabar sekaligus takut untuk mengetahui hasilnya nanti.
Tapi Rita tidak. Dia tampak lebih santai dari sebelumnya.
"Bismillahirrahmanirrahim, aku buka ya." Rita mulai mengetikkan link pengumuman.
Aku dan Kistain mengintip sambil ikut merasakan tegang. Ini benar-benar menegangkan! Rasanya seperti sedang merumuskan Pancasila ditengah serangan penjajah.
Ah mungkin tidak.
Mungkin lebih dari itu. Rasanya seperti disuruh membuka isi raport dihadapan orang tua.
Kistain yang kini duduk sila mulai terlihat tak tenang. Matanya terus memandangi biskuit dan teh yang masih belum disentuh dengan alis berkerut.
"Kenapa aku jadi mulas?" tanyanya polos.
Sontak aku dan Rita tertawa lepas dan kencang.
Aku menyodorkan biskuit pada Kistain selagi menunggu halaman yang cukup lama memproses. Sepertinya satu Indonesia tengah membukan halaman itu. Tapi Kistain justru menggeleng sambil berkata bahwa dirinya tidak ingin biskuit.
Sekarang aku paham.
Kistain memandang lantai, bukan biskuit atau teh.
Kistain mulas karena tegang, bukan karena-
"Kurasa rasa asam sambal yang aku makan tadi bukan dari cuka, tapi sepertinya sambal itu memang sudah basi." Ujar Kistain.
Aku mencoba mengingat kejadian tadi pagi. Sejak hari itu aku dan Kistain memang jadi lebih sering jalan-jalan pagi. Agenda kami setelah jalan santai adalah makan bubur mang Juju di pengkolan kompleks. Tapi tadi memang rasa sambalnya sedikit berbeda. Sedikit masam.
Padahal Kistain sudah terlanjur memasukkan banyak sambal di buburnya.
"Yasudah sana kamu ke wc dulu. Kasian sekali seperti akan lahiran. Hahaha!" kini Rita yang menimpali.
Kistain segera bangkit, topinya terjatuh saat dirinya akan berdiri.
"Aku pamit dulu, ya. Nanti jika masih sempat aku kesini lagi. Semoga berhasil, Rita!" Seru Kistain sambil berlari.
Aku mengambil topinya dan menyimpannya diantara kakiku dan Rita.
"Bagaimana jika tidak lolos?" Tanya Rita.
Aku membalas dengan bahasa isyarat, 'Berarti Tuhan sudah menyiapkan rencana yang lebih baik buat kamu.'
"Benar juga." Rita kembali memperhatikan ponselnya.
"Ah! Kebuka. Nisti... Ya ampun aku takut! Aduh gimana ini... Oke tarik nafas... Buang. Aku bisa!"
Aku tersenyum geli melihat Rita yang sibuk dengan dirinya sendiri.
Dan beberapa saat kemudian aku pun harus mengeluarkan kata-kata mutiara yang sering aku baca di internet untuk Rita.
Hasilnya tidak terlalu buruk, Rita lulus di pilihan kedua. Itu artinya salah satu universitas di kota ini. Tapi mimpinya dari awal yang ingin ke universitas disana harus pupus seketika.
Kalau boleh hanya memilih satu, Rita hanya akan memilih pilihan nomor satunya saja. Karena dari awal hanya memiliki tujuan dan harapan ke satu universitas berlambang gajah itu, akhirnya membuat Rita tidak tahu tentang universitas yang lain. Tepatnya tidak berminat.
Alhasil sisanya dia hanya asal pilih.
Rita menangis terisak-isak. Pundaknya bergetar dan suara tangisnya tertahan. Aku memeluknya tanpa kata. Semua kata-kata yang sudah kusiapkan melebur begitu saja. Tergantikan dengan sebuah pelukan penenang.
Melihat sahabat menangis adalah hal yang sangat menyakitkan untukku. Setidaknya saat itu. Aku yang tahu bagaimana visi itu masih jadi sebuah mimpi, saat Rita berkata : "Sepertinya seru." Sampai "Aku harus bisa masuk kesana."
Dan sore itu berakhir dengan Rita yang menangis.
Aku menyodorkan teh hangat untuk Rita.
"Terimakasih ya. Maaf aku cengeng dihadapanmu."
Aku menggeleng.
'Minum saat masih hangat. Itu akan menenangkanmu.' Aku tersenyum bangga dengan teori yang kupinjam tanpa ijin dari Kistain.
"Hem... Benar. Rasanya sedikit membaik. Jadi... Nisti sudah bisa menghibur, ya." Rita mengatakannya sambil tertawa pelan dan mengusap air matanya.
Aku mengangguk, tanganku menepuk dada pelan. Membanggakan diri.
"Siapa yang mengajari?"
Aku menjawab bahwa Kistain yang mengajari. Lebih tepatnya aku yang belajar dari tingkah lakunya yang perhatian dan pengertian disaat-saat yang tidak terduga.
Aku jadi teringat cup di dapur.
Kepala Rita tiba-tiba menyandar dipundakku. Membuat lamunanku tentang Kistain sore itu buyar.
"Sepertinya Kistain orang yang baik, ya? Tapi sedikit konyol. Haha!"
Aku mengangguk membenarkan perkataan Rita.
"Membuat orang dengan mudah mengenal dan tidak canggung. Rasanya seperti sudah lama kenal."
Lagi, aku mengangguk membenarkan.
"Coba kamu lihat keluar. Dia sedang berlari kesini." Rita mengangkat kepalanya dari pundakku.
Benar saja, gerbang yang tertutup sudah terbuka lebar. Sangat lebar karena Kistain membuka dua buah sisi pagar sekaligus. Dia yang masuk tapi rasanya seperti akan ada mobil yang masuk.
Kantong merah yang pernah kulihat itu seperti terisi oleh sesuatu yang tidak cukup besar. Aku mengamatinya diam-diam.
"Assalamualaikum. Gimana hasilnya? Maaf ya aku telat. Syukurlah belum terlalu sore, jd masih bisa kesini." Kistain masih mengatur nafas.
"Waalaikumsalam... Hehe coba lagi." Jawab Rita.
"Hah? Padahal aku yakin kamu bisa. Tapi memang ya, manusia hanya bisa berencana. Pilihan kedua dan ketiga bagaimana?"
"Sebenarnya aku lolos di pilihan kedua. Tapi rasanya tidak sama, aku gagal." Suara Rita bergetar saat mengatakannya.
Tangannya terkepal menahan tangis. Kistain yang melihat itu langsung mengeluarkan sesuatu dari tas merahnya.
"Makan saat masih dingin. Aku ragu kamu suka kalau makanannya sudah jadi hangat. Hehe."
Aku dan Rita tertawa lagi. Perkataan Kistain memang benar, dan selalu benar. Tapi entah kenapa aku selalu ingin tertawa jika Kistain sudah memulai teorinya yang selalu mendefinisikan sesuatu yang tidak perlu.
Naik itu keatas.
Turun itu kebawah.
Dan es krim lebih enak dimakan saat dingin.
Semua orang tahu!
"Terimakasih, Kistain. Dingin memang lebih enak." Kata Rita sambil tertawa.
Aku membuka es krim rasa vanilla kesukaanku, sedangkan Rita rasa strawberry dan Kistain rasa cokelat.
Kami tidak lagi membicarakan tentang SBMPTN. Kistain mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih seru. Sambil memakan es krim di sore hari, kami bercakap tentang liburan ke tempat wisata yang sedang hangat dibicarakan saat itu.
Entah apa yang akan dipilih Rita untuk kedepannya. Kita lihat saja nanti. Sekarang aku mau menceritakan buku yang kutulis bersama Kistain padamu. Juga tumbuhan kering yang menjadi pembatas kenangan hari itu.
Kami memutuskan untuk pergi bersama di hari Minggu. Meski tahu tempatnya akan ramai tapi kami tetap memutuskan untuk berangkat. Saat pergi kami diantar Paman Sani -Ayah Rita. Tapi untuk pulangnya kami akan naik bus saja. Saat itu bus adalah tempat ternyaman dan harganya pas dikantong.
Aku dan Kistain duduk dikursi penumpang, sedangkan Rita duduk disamping Ayahnya yang sedang menyetir. Sepanjang perjalanan aku dan Kistain saling bertukar candaan.
Tentu saja didominasi oleh Kistain.
"Kenapa rambutnya harus diikat?" Tanya Kistain sambil berbisik.
Aku mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu.
'Gerah.'
"Nanti disana mending dibuka." Kistain memainkan rambut yang aku kuncir pendek.
'Kenapa?' ketikku lagi.
"Panas. Aku gak bawa payung."
'Tenang... Aku bawa lotion anti belang haha'
Kistain tertawa.
Dan Rita sedang curi-curi pandang padaku dan Kistain. Sepertinya tawa Kistain terlalu kencang.
Sesampainya di tempat wisata, Paman Sani langsung pamit untuk pulang. Betapa baik hatinya Paman Sani ini. Tahu saja kami butuh liburan tapi tidak punya uang. Semuanya dibiayai oleh beliau.
Kami jalan beriringan. Aku dibelah kanan, Rita ditengah dan Kistain kiri.





Sepanjang perjalanan kami dikelilingi oleh pohon pinus dan payung-payung cantik warna-warni yang menjadi pelindung kami dari sinar matahari

Sepanjang perjalanan kami dikelilingi oleh pohon pinus dan payung-payung cantik warna-warni yang menjadi pelindung kami dari sinar matahari.
Kami datang pagi hari, jadi belum terlalu panas. Tapi kalau boleh dibilang tempat ini justru tidak ada panas-panasnya sama sekali. Udaranya sejuk dan pohon-pohonnya rindang. Khas aroma hutan yang dipercantik.
Aku menawarkan diri untuk memfoto Rita yang tidak bisa lepas dari foto diri.
Ini adalah gaya potret ke-sepuluh yang aku ambil untuk Rita. Kistain sampai bosan dan menggelar kain di seberang jalan sambil menikmati salad yang kubuat.
"Masih lama tidak? Aku lapaaaar..." Kistain mengatakannya sambil memasukkan suapan ke-tiga ke mulutnya yang penuh.
"Sebentar! Satu lagi, ya Nistiku sayaaang. Coba sekarang aku ambil posisi sedikit tinggi deh."
Setelah melewati jalanan berpayung, akan ada tempat untuk orang yang ingin menyewa ayunan kain. Tempatnya ada di sisi-sisi jalan utama. Hanya saja, tanahnya tidak datar. Untuk kesana harus sedikit melalui undakan tanah yang cukup menanjak dan licin karena banyak buah pinus yang kering.
Aku tetap dijalan utama, menunggu Rita selesai menanjak dan mengambil pose indah.
Kistain?
Tanpa rasa malu dia masih melanjutkan makannya dengan lahap. Tapi meski begitu aku suka jika Kistain selalu menyukai salad buatanku.
Saat lari pagi waktu itu aku dan Kistain bertukar nomor telepon. Rasanya aneh baru bertukar nomor masing-masing setelah cukup lama kenal. Dan sebelum pergi berlibur, Kistain memintaku untuk membuatkan salad buah kesukaannya.
Pantas saja saat itu dia membawa kantung merah. Ternyata isinya buah-buahan untuk dijadikan salad.
"Saking enaknya aku tidak rela berbagi." Ujar Kistain saat aku memasukan salad ke ransel.
Memangnya kapan dia berbagi salad pada orang lain selain padaku? Itupun dia yang menghabiskan lebih banyak.
Saat tengah diam-diam memotret Kistain, tiba-tiba objek yang sudah ku potret terlihat panik dan spontan berlari kencang.
Aku menurunkan kamera. Disana, aku melihat Kistain yang tengan membantu Rita untuk bangun yang tertatih-tatih.
Tanah yang menanjak membuat Kistain kesusahan menarik tangan Rita yang posisinya berada diatas Kistain.
"Ayo turun pelan-pelan. Kamu bisa pegangan ke tanganku." Ucap Kistain sambil terus membujuk Rita yang takut-takut mengambil uluran tangan Kistain.
Ternyata Rita terjatuh saat akan turun. Kakinya menginjak buah pinus kering dan membuat kakinya terkilir.
Aku hanya diam tanpa berbuat apa-apa. Takut jika ingin membantu malah jadi menyusahkan.
Dalam satu tarikan tangan Kistain, Rita sudah berhasil turun. Sebelum Kistain memutuskan untuk menarik tangan Rita dari bawah alih-alih dia yang naik, aku melihat matanya melirik padaku.
Seakan bingung harus naik dan meninggalkanku dibawah atau membawa Rita ke bawah dan mengobati lukanya bersamaku.
Tapi meski tahu, hal itu tidak membuatku senang. Aku tahu aku jahat karena masih sempat merasakan hal seperti itu disaat seperti ini.
Aku menghampiri keduanya sambil membantu Rita duduk. Sedangkan Kistain menyerahkan Rita sepenuhnya padaku.
'Sakit?' tanyaku. Aku lihat matanya sudah berkaca-kaca.
Rita mengangguk. Perjalanan tidak lagi dapat dinikmati jika sudah begitu. Aku pun memutuskan untuk melihat Kistain yang tengah membereskan makanannya.
"Nisti, tolong hubungin Ayah, ya. Aku mau pulang saja."
"Kasihan Paman Sani kalau harus putar arah. Pasti belum sampai juga kan. Kita makan disini saja gimana?" Tanya Kistain.
"Daripada disini lebih baik jalan sedikit lagi. Tempatnya bagus buat gelar tikar. Ada yang menyewakan tikar juga disana." Jawab Rita.
Aku setuju.
Aku berjalan sambil menuntun Rita berjalan, dan disisi satunya lagi ada Kistain yang juga menuntun Rita dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan membawa bekal yang kami bawa.
Jalan kami terhenti, Kistain tiba-tiba berjongkok dihadapan Rita dan aku. Aku dan Rita memandangnya bingung.
"Kugendong sajalah. Kalau jalan seperti ini lama. Keburu siang juga kan nanti tidak kebagian tempat bagus."
Rita dan Kistain melirikku.
Aku?
Aku mendorong pelan tangan Rita agar dapat diraih Kistain. Tak perlu waktu lama Kistain pun mengambil tangan Rita dan mengalungkannya di lehernya. Dalam sekejap Rita sudah berada diatas punggung Kistain.
Kami pun bersenang-senang sampai Paman Sani memutuskan untuk menjemput saat mendengar kabar puterinya yang terluka.
Setelah perjalanan panjang hari itu Kistain tidak banyak bicara. Kini gantian Rita yang lebih banyak bercerita. Aku tertawa sesekali saat Rita yang antusias menceritakan kejadian saat aku dan dirinya masih sekolah.
Paman Sani juga ikut tertawa. Kistain memejamkan matanya alih-alih ikut tertawa bersama. Kepalanya disandarkan pada kaca mobil.
Aku yang melihat itu jadi kehilangan selera humor. Sepanjang perjalanan aku jadi mengikuti Kistain. Terdiam tanpa minat untuk cerita.
'Terimakasih paman.' aku menunjukkan tulisan yang aku ketik di ponsel pada paman Sani.
"Sama-sama Nisti... Makasih juga tadi Rita-nya sudah ditolongin. Makasih juga nak Kistain. Nanti paman bawakan koyo kerumah. Pasti punggungnya pegal." Paman Sani berkata sambil menepuk punggung Kistain pelan. Senyumnya tak lepas dari Kistain yang saat itu hanya tersenyum kikuk.
"Tidak kok, paman. Santai saja. Terimakasih untuk liburannya." Jawab Kistain.
"Sama-sama. Ya sudah, saya pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku dan Kistain pun melambaikan tangan pada Rita yang tidak ikut keluar mobil.
Kini hanya ada aku dan Kistain. Sebenarnya aku bingung harus bersikap bagaimana saat itu. Tapi aku lebih bingung lagi dengan situasi yang tiba-tiba jadi canggung.
"Maaf." Ujar Kistain tiba-tiba saat aku membuka pintu gerbang.
'Untuk apa?' tanyaku.
"Untuk hari ini."
Tidak perlu penjelasan untuk mengungkap perasaan yang terasa saat itu. Aku tahu apa maksudnya, dan aku menghargai niat tulusnya.
Aku bilang tidak apa-apa dan menyuruhnya segera pulang dan istirahat. Tapi Kistain justru menahan tanganku dan memberikan buku beserta buah pinus yang sudah kering.
Aku menerimanya dengan heran.
"Marah saja. Tapi jangan menjadi diam. Tulis semua keluhan kamu di buku itu. Nanti aku baca, kok. Dan ini, buah pinus kering ini aku kasih agar kamu tahu alasanku melakukannya dan jawaban atas marahmu. Ini salah si buah pinus kering." Penjelasan panjang lebar Kistain tak mampu menahan senyum dibibirku.
Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Kistain membalas senyumku dan mengambil tempat yang berisi wadah bekal kami.
"Aku yang cuci ya. Besok aku kembalikan. Aku pandai cuci piring! Dijamin bersih dan wangi."
Kistain segera berlari dan sesekali berbalik untuk melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya sebelum masuk kerumah.
Mulai hari itu, aku ataupun Kistain akan menuliskan semua keluhan dibuku itu.
Salah satu dari kita yang merasa bersalah akan memberikan buku itu pada pihak yang dirasa marah. Begitu seterusnya.
Sampai lambat laun seiring berjalannya waktu, buku itu tidak hanya berisikan keluhan saja, melainkan ikut terisi dengan ungkapan-ungkapan terimakasih untuk waktu yang dilalui bersama.
Untuk rasa hangat yang tercipta disetiap aku mengenang waktu kebersamaan kita.
A/n :
Hai! Terimakasih untuk waktu yang kalian luangkan untuk membaca kisahku. Aku hanya ingin memberitahu kalian agar tetap membacanya sampai akhir. Banyak sekali yang ingin aku sampaikan pada Kistain. Kuharap kalian mau membantuku menyampaikan padanya, bahwa aku rindu.
Kistain si raja Salad.
Share : || IG || Twitter ||Fb ||
Enter your comment...
PUBLISH PREVIEW

Postingan ini dibuat untuk tujuan promosi naskah Senandika yang sedang diikutsertakan lomba. Apabila beruntung, naskah ini bisa naik cetak. Jika kamu ingin membaca cerita ini versi lengkap, kamu bisa mengunjungi halaman ini https://www.wattpad.com/user/Poetess05
Terimakasih yang sudah berkunjuuuung! 
Continue reading [Cerbung] SENANDIKA BAB 7 : PINUS KERING