Minggu, 19 April 2020

, ,

[Cerbung] SENANDIKA BAB 1 : PERTEMUAN SEPIHAK YANG BERUJUNG RESMI

 SENANDIKA




Posted by Penasunyi

Aku menulis kisah ini berdasarkan buku harian yang kusimpan sejak lama. Membagikan kisahku pada kamu yang mungkin bisa menyampaikan satu patah kata untuknya, lewat blog yang sedang kalian baca saat ini.
Sebelum memulai kisahku, aku ingin memberi tahu sesuatu padamu. Tentang sebuah kalimat sederhana yang tidak pernah sempat aku ucapkan padanya diawal pertemuan. Kata yang justru sekarang sangat ingin aku ucapkan namun tak bisa. Karena dari itu, tolong sampaikan padanya : "Kistain, senang bertemu denganmu lagi."

~~~

Pagi itu setelah hujan rintik-rintik yang memenuhi jendela kamar reda, aku bergegas keluar rumah sambil mengencangkan tali dipakaian hangatku. Buku dan pensil seadanya sudah kusiapkan bersamaan dengan earphone didalam tas. Paru-paruku cukup cepat beradaptasi dengan suhu yang lebih dingin dari sebelumnya saat aku melangkah pergi dari rumah.
Sebelum pergi, tak lupa aku menempelkan catatan kecil pada pintu kulkas guna memberitahu Ibu bahwa aku akan pergi sebentar. Langkah kaki yang membawa pada bangku taman membuatku memandang langit. Hujan sudah reda. Tanpa ragu aku duduk diatas bangku taman. Dan mulai mengeluarkan semua yang sebelumnya kumasukan kedalam tas.

Nada musik yang merdu itu bisa kutebak dari lirik yang kubaca. Merdu versiku adalah lirik yang indah, jika liriknya indah aku pasti akan menyebutnya merdu. Sedikit berbeda dengan kamu yang bisa mendengarnya langsung. Tapi ada satu hal yang tidak bisa aku tebak, yaitu keberadaan orang yang kini tengah membaca buku di kedai kopi. Sudah dua minggu aku tidak melihatnya, keberadaannya sulit ditebak. Terkadang aku melihatnya setiap minggu, kadang juga tidak. Tapi yang pasti, dia selalu memilih tempat duduk paling belakang didekat jendela. Ditemani kepulan hangat yang keluar dari cangkir putih.

Namanya Taman Kopi. Tempat yang selalu aku kunjungi setiap Sabtu jam sembilan pagi. Orang bilang alasan taman ini diberi nama Taman Kopi karena selain tamannya yang dekat kedai kopi juga karena filosofi dari kopi yang katanya selalu membuat nagih bagi pencintanya. Disinilah aku biasanya hanyut dalam dunia sendiri. Hanya ada aku dan gambarku. Juga dia yang aku lihat dari sudut Taman Kopi.

Cangkir kopi adalah objek terakhir yang aku gambar sebelum memutuskan untuk pulang. Untuk potongan ingatan yang hanya dimengerti olehku, aku hanya menggambar satu objek untuk setiap hal yang ingin aku kenang alih-alih mengambil gambarnya dengan kamera. Tapi khusus untuk dia, aku tidak pernah menggambar wajah. Aku sudah mengingat dan akan selalu berusaha untuk mengingatnya. Seseorang yang membuatku terbawa pada rasa sehangat kopi ditengah hujan.

Semuanya jatuh begitu saja, termasuk objek yang baru saja kugambar. Dengan cepat aku membereskan barang-barangku yang terjatuh begitu saja. Seseorang dihadapanku ikut berupaya dalam membereskan kekacauan yang baru saja terjadi. Aku tidak perlu bisa mendengar untuk tahu orang dihadapanku sedang mengatakan kata maaf berulang-ulang. Aku hanya perlu seseorang untuk menyadarkanku dari mimpi jika benar ini mimpi, lalu memberitahukan padaku untuk tidak terlihat bodoh dihadapan orang yang sudah menabrakku.

Aku membenarkan letak kacamataku untuk menutupi gugup. Pemilik cangkir yang baru saja aku gambar kini berdiri tepat dihadapanku. Aku terbawa lagi oleh perasaan aneh. Aku tersenyum kikuk sambil mengisyaratkan dengan tangan bahwa aku tidak apa-apa. Mata itu menatapku dalam tiga detik, lalu menyunggingkan senyum sekali lagi sebelum menepuk pundak kananku lantas berlalu.

Setelah pertemuanku dengannya hari itu, aku tidak lagi melihatnya di kedai kopi. Kursi yang jarang diminati orang itu dibiarkan kosong seakan hanya menerima dirinya. Dan setelahnya hari berlalu dengan kertasku yang tidak tercoret pensil sedikitpun.

Tidak terasa hari sudah sampai di Sabtu lagi. Aku menjalani rutinitas seperti sebelumnya. Memperhatikan orang hilir mudik sambil membaca lirik seperti biasanya. Aku tidak peduli jika orang lain akan bosan melihatku, kalau bisa aku sudah dijadikan maskot Taman Kopi.

Kebanyakan dari mereka adalah keluarga yang tengah berlibur. Ada yang berolahraga bersama, makan bersama, bahkan berdebat bersama ketika menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan lebih dulu. Ada juga pasangan muda-mudi dan anak-anak yang menghabiskan waktunya disini. Mereka semua sama, sama-sama tidak sendiri dan memiliki kegiatan. Tentu saja bukan membaca lirik seperti yang sedang aku lakukan.

Aku beranjak dari duduk, menepuk pelan celana yang kusut karena terlalu lama duduk. Kali ini aku tidak mengeluarkan pensil, untuk itu aku hanya perlu memasukan ponsel kedalam saku dengan earphone yang masih setia menggantung di telingaku.

Waktu itu sambil berjalan aku berhayal saat senja yang mulai redup setelah hujan reda, seperti mereka aku menghabiskan waktu bersama keluarga yang utuh. Bercakap-cakap riang, membahas banyak hal, sampai terlelap lagi dipangkuan Ayah. Dan lagi-lagi semua terasa menyalahkanku.

Aku baru saja akan keluar taman, saat sebuah tangan mengulurkan teh hangat dalam cup manis berwarna putih dengan aksen biru langit. Dia tersenyum sampai rasanya aku sulit mencerna keadaan macam apa yang sedang terjadi hari itu. Aku terkejut, tapi rasa senangku lebih mendominasi. Dia berkata dan aku memperhatikan, ternyata ingin aku menerima teh kemudian menunjuk kursi kosong disampingku. Rasanya hangat dan juga... manis.

Aku mengeluarkan pensil dan buku yang selalu aku bawa, aku menuliskan terima kasihku untuk teh yang dibawanya. Dia hanya mengangguk lalu menatap lurus kedepan. Membuatku hanya bisa melihatnya dari samping.

Apa aku sudah bilang padamu bahwa aku tidak menggunakan bantuan alat dengar?
Biasanya aku selalu menyimpannya, aku hanya ingin sama seperti kamu. Tapi pada hari itu, saat dia menghampiri dengan cup teh hangat aku ingin sekali memakainya.

Dia menoleh setelah lima menit berlalu tanpa kata. Aku sedang menyentuh alat dengar ditelingaku dengan tak nyaman saat dia menoleh. Aku ingin mendengar suaranya saat itu. Tapi butuh waktu lebih dari lima menit untuk mendengarnya bicara.

"Tidak usah dipakai kalau tidak nyaman. Oh ya, aku Kistain Mahendra. Maaf untuk yang waktu itu."

Namanya Kistain.

"Mumpung masih hangat, cepat diminum." Katanya sambil tersenyum

Anehnya tanpa bertanya apapun aku langsung meminumnya. Dia benar, memang sedang hangat-hangatnya.

Ingin sekali rasanya aku bertanya kemana saja belakangan ini, tapi urung. Saat itu aku merasa tidak berhak bertanya apapun yang terlalu detail seperti itu. Bagaimanapun aku dan dia hanya orang asing.

Saat itu lamunanku sempat terhenti karena obrolan ringan yang Kistain mulai. Dia menceritakan sedikit tentang kesehariannya dan rasa jenuh menunggu tahun depan. Pembicaraan itu membawaku sedikit tahu lebih tentangnya. Lelaki yang keberadaannya aku pertanyakan akhir-akhir ini.

Kistain bilang saat itu dia sedang berlibur, dia bilang hanya ingin mengisi waktu luangnya bersama sang Kakek yang tinggal di sekitar sini. Ternyata Kistain merupakan lulusan tahun kemarin. Jadi aku lebih muda satu tahun darinya, mengingat aku yang baru saja lulus tahun itu.

Sore itu saat angin menggerakan daun dan membuatnya lepas dari ranting, juga saat burung-burung berbondong mengantar kepergian matahari, aku menjadi pendengar paling setia lelaki itu.

Share : || IG || Twitter ||Fb ||
Enter your comment...
PUBLISH       PREVIEW


0 comments:

Posting Komentar

Tolong berkomentar yang baik dan sopan ya, readers! juga centang kolom 'Notify me' sebelum publish komentar untuk mendapat notif balasan.
^^