Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Mei 2020

, , ,

[BOOK REVIEW] Stillhouse Lake by Rachel Caine - Tidak bisa tidak parno!!!



Judul : Stillhouse Lake
Penulis : Rachel Caine
Penerjemah : Anggun Prameswari
Penyunting : Prisca Primasari
Penyelaras aksara : Seplia
Desain sampul : Herdiyani (ANIMAJI)
Penerbit : Spring
Terbit : Maret 2018 
Tebal : 364 halaman


                                                                            BLURB

Gina Royal, seorang ibu dengan dua anak, tidak pernah menyangka dia menikahi seorang pembunuh berantai. Sampai akhirnya sebuah kecelakaan mengungkap identitas suami aslinya, dan Gina harus memulai hidupnya lagi dari awal sebagai Gwen Proctor.

Dengan mantan suaminya di penjara, Gwen akhirnya menemukan suakanya di danau Stillhouse, di sebuah rumah yang nyaman. Meski dia masih menjadi target penguntit dan bajungan internet, dia kira dia bisa membesarkan kedua anaknya dalam damai.

Sampai suatu ketika... ada mayat ditemukan di danau, dibunuh dengan cara yang sama dengan korban suami-suaminya. Saat itulah Gwen tahu, suaminya sedang memburu dirinya dan anaknya. 


REVIEW

Kali ini aku mencoba baca novel thriller karya Rachel Caine. Awalnya aku tidak tahu tentang keberadaan novel Stillhouse Lake, aku baru tahu novel Stillhouse Lake saat melihat daftar judul buku diskon ramadhan penerbit Spring. Selain judulnya yang membuat penasaran, cover dan blurb dari buku ini juga sangat persuasif. Meski hanya ada gambar perkakas dan senjata, itu sudah mampu memberikan aku bayangan tentang novel Stillhouse Lake. Jadi selain karena diskon, aku juga tertarik dengan bukunya. Hahah!

Dan saat aku mencari lebih jauh tentang novel Stillhouse Lake, aku dapat info ternyata novel ini adalah novel series. Itu artinya masih ada kelanjutan dari novel Stillhouse Lake. Yeay!

Masuk ke bagian cerita, seperti yang sudah aku bahas di postingan menuju tuntas, awalnya aku mengira kisah dalam prolog itu akan berlanjut di bab satu. Sebenarnya aku berharap itu dilanjutkan ke bab satu karena aku penasaran sekali dengan proses selanjutnya. Tapi ternyata tidak, di bab satu aku disuguhkan kisah Gina Royal dan anaknya beberapa tahun kemudian.

Di bab satu, aku diberi lihat bagaimana sosok Gina -atau mungkin sekarang Gwen- yang berubah 180 derajat dari sebelumnya. Aku bisa bilang begitu karena di prolog, Gwen dikisahkan sebagai ibu dua orang anak yang hidup bahagia dengan suami dan kedua anaknya. Yang dimana ketimbang berada di arena tembak, dia lebih memilih berada di dapur untuk menyiapkan makanan. Tidak perlu merasa cemas akan terjadi apa-apa karena ada suami yang akan siap sedia melindungi.

Arena tembak. Memegang pistol dan membidik tepat sasaran, juga bau mesiu selalu menemani Gwen sehari-harinya. Saat membacanya, aku langsung berpikir betapa bahayanya siatuasi yang menimpa Gwen dan anak-anaknya.

Gwen menjadi pribadi yang paranoid, selalu berpikir berlebih dan juga overprotective pada anak-anaknya. Sejujurnya aku berpikir itu wajar setelah apa yang dialaminya, tapi dibeberapa scene aku juga merasa tindakan Gwen sedikit keterlaluan(?)

Anak-anak Gwen yang sudah beberapa kali pindah dan berganti identitas pun acapkali mengutarakan pendapatnya tentang sikap Gwen yang sekarang. Mereka protes dan melakukan hal-hal yang membuat Gwen semakin diliputi rasa cemas.

Sampai sebuah surat berisikan umpatan-umpatan kasar dan ancaman dari sang mantan suami datang, anak-anaknya sadar bahwa semua yang dilakukan ibunya tidaklah berlebihan. 

Selain melakukan berbagai tindakan perlindungan diri, Gwen juga melarang anak-anaknya menggunakan ponsel cerdas seperti teman-temannya yang lain. Gwen benar-benar menjauhkan anak-anaknya dari dunia luar. 

Coba bayangkan, hidup dalam pelarian, berganti-ganti identitas dan hidup dalam kecemasan, semua itu dialami Gwen dan anak-anaknya bertahun-tahun. Dan ternyata, bukan itu saja, ibu Gwen sendiri bahkan tidak tahu dimana keberadaan putri dan cucuknya.

Secara keseluruhan, dari awal sampai akhir cerita aku tidak pernah bisa tenang saat membaca novel Stillhouse Lake. Kalian tahu saat-saat menegangkan saat melihat film horror, dimana musik menyeramkan mulai diputar dan kalian menunggu-nunggu kemunculan hantu? seperti itulah yang aku rasakan, parno.

Seiring berjalannya cerita Stillhouse Lake, selain parno, aku juga jadi ikut waspada dan menerka-nerka siapa dalang dari semua 'kejadian menyeramkan itu' saat tokoh-tokoh baru mulai muncul. Beberapa pertanyaan seperti :

Siapa yang menjadi kaki tangan Malvin untuk melakukan semua itu?

Apa dia orang yang baik?

Sampai, apa itu semua sikap asli mereka?

Aku ucapkan dalam hati saat tokoh itu mulai memainkan peran masing-masing.

Iya! sepenasaran dan parno itu aku saat membacanya!

Dari cerita , sekarang masuk ke gaya bahasa atau gaya penceritaan. Sebenarnya aku tidak perlu memaparkan banyak-banyak tentang ini, dilihat dari siapa yang menciptakan novel Stillhouse Lake ini. Yaitu penulis bernama Rachel Caine yang sudah banyak menciptakan novel-novel fiksi ilmiah, fantasi, horror dan misteri. (Sumber : wikipedia)

Yang aku rasakan, cerita dengan suasana menegangkan dan cukup mengerikan ini dikemas dengan gaya bahasa yang ringan. Sehingga membacanya tidak terlalu rumit atau berat seperti tema novel Stillhouse Lake. Dari awal aku membaca novel Stillhouse Lake, rasanya sangat mudah untuk dipahami dan masuk lebih dalam ke dalam kisahnya. Penggambaran tokoh, situasi dan suasananya sangat detail dan rapih. Dunia yang ingin diperlihatkan pada pembaca pun dapat terbayang dengan mudahnya.

Selain itu, pesan yang ingin disampaikan juga dapat tersampaikan begitu saja. Tentu saja pesan itu tersampaikan melalui Gwen dengan segala perilakunya. Aku juga merasa bukan hanya kisah menegangkan saja yang diceritakan disini, ada kisah tentang kekeluargaan yang tak kalah lekat. Aku tersentuh dengan tindakan Gwen yang totalitas dalam menjaga anaknya -meski aku tahu semua orang tua seperti itu -tapi dalam cerita ini berbeda!

Ada satu scene Stillhouse Lake yang membuatku kagum akan ketangkasan Gwen dalam melindungi anak-anaknya. Tapi aku tidak ingin menceritakannya disini karena takut akan menjadi spoiler. Haha! 

Intinya, tingkat parno Gwen ini diatas rata-rata, bisa hanya karena lupa mengunci pintu saja semua berakhir dengan acungan pistol.

Namun, di balik semua kelebihan dan kecintaanku pada novel Stillhouse Lake, ada sedikit kekurangan seperti kalimat rancu atau beberapa kata yang kurang di novel Stillhouse Lake ini, seperti yang pernah ku bahas di postingan sebelumnya. Sebenarnya tidak terlalu mengganggu karena kalimat selanjutnya bisa menjelaskan apa maksudnya, tapi tetap saja saat membacanya aku perlu berpikir keras lebih dulu.

Kenapa? karena aku tipe pembaca lamban yang memperhatikan setiap detail dari kalimat sebelum melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. Itu juga yang membuat aku butuh waktu lama untuk membaca sebuah novel.

Dan terakhir, aku ingin memberi novel Stillhouse Lake 4.5/5 bintang.

Sukses terus penerbit Spring. Karena kalian, aku jadi bisa membaca novel sebagus Stillhouse Lake ini.










Continue reading [BOOK REVIEW] Stillhouse Lake by Rachel Caine - Tidak bisa tidak parno!!!

Rabu, 29 April 2020

, , ,

[BOOK REVIEW] A untuk Amanda by Annisa Ihsani - Cerdas itu HANYA KEBERUNTUNGAN

                                                                                       


Judul buku: A Untuk Amanda
Penulis: Annisa Ihsani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-605-03-2631-3
Jumlah halaman : 264 halaman
Harga : 60.000



Sinopsis 
Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.

Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang bisa beruntung setiap saat, kan?

Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.

Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya, Amanda harus menerima bahwa dia tidak bisa mendapatkan nilai A untuk segalanya.

Review
A untuk Amanda adalah novel kedua karya Kak Annisa Ihsani. Novel yang mengangkat tema depresi pada anak SMA ini adalah novel bertema depresi pertama yang aku baca sebelum Under Water karya MarisaReichardt. Awalnya aku kira novel young adult bagus itu cuma dari luar negeri saja, ternyata Indonesia juga punya penulis hebat seperti Annisa Ihsani ini.

Sangat antusias dan tidak sabar membaca saat aku menonton review booktuber tentang novel ini. Apalagi tema yang diambil juga sangat jarang kan? 


“Tadinya kukira orang mengalami depresi ketika ada sesuatu yang salah dengan hidup mereka. Tapi bagiku, depresi datang ketika segala hal dalam hidupku berjalan dengan sempurna.”



Saat aku baca sinopsisnya, sedikit dari dalam diriku ikut menyetujui pemikiran Amanda tentang kepintaran itu hanyalah keberuntungan. Dan kalian tahu, aku bisa langsung ikut merasakan apa yang Amanda rasakan setelah membaca kutipan ini.


“Jadi, kurasa guru-guru cuma menilaiku berdasarkan reputasi. Seperti… aku cuma beruntung beberapa kali di awal dan dapat nilai bagus… lalu mereka terus memberiku A, bahkan di saat aku tidak pantas mendapatkannya. Kau mengerti maksudku?"


Aku paham Amanda gemas dengan orang-orang yang selalu menganggap dirinya pintar karena selalu mendapatkan nilai A, aku juga paham apa yang Amanda rasakan saat sahabat sekaligus pacarnya, Tommy menganggap Amanda ini haus pujian atau perhatian. Rasanya aku ingin teriak didepan Tommy bahwa pacarmu ini hanya perlu teman yang memahami pemikirannya. Atau Tommy seharusnya bisa kah, cukup mengangguk sambil berkata bahwa dirinya mengerti apa yang Amanda maksud dan rasakan? setidaknya itu akan menunjukkan bahwa dia adalah pacar yang pengertian. Ah kesalku masih tersisa ternyata.

Bicara tentang Tommy, biar aku ulas sedikit tentang Tommy. Tommy adalah sahabat dari kecilnya Amanda yang sudah naik pangkat menjadi pacar, dan Tommy tidak menyukai M&M's warna kuning. Sebenarnya Tommy ini cukup mengerti Amanda, dia adalah pacar yang baik dan juga sahabat yang baik. Akan tetapi ada kalanya Tommy tidak mengerti Amanda dan bertanya-tanya dengan pemikiran Amanda.


“Kau tidak butuh persetujuan saya, Amanda. Apa pun yang saya dan orang lain pikirkan, itu tidak penting. Satu-satunya hal yang berpengaruh adalah apa yang kaupikirkan tentang dirimu sendiri.”


Diawal halaman, aku diberitahu bahwa jenis depresi yang Amanda alami adalah Impostor Syndrome atau sindrom penipu. Amanda merasa dirinya hanya beruntung saat mendapatkan nilai A dan merasa semua yang orang lain pikirkan tentangnya adalah salah, dirinya menipu. Semua orang tertipu oleh keberuntungan yang dimilikinya. 

Semua itu berawal ketika salah satu guru yang sedang mengajar dikelasnya mengajukan sebuah pertanyaan, tapi tidak seperti biasanya, guru itu tidak menunjuk Amanda melainkan temannya. Amanda sudah tahu apa jawabannya, tapi temannya itu justru memiliki jawaban yang berbeda dengan Amanda. Amanda mengira dirinyalah yang benar, akan tetapi ternyata justru jawaban temannyalah yang benar. Amanda terkejut dan mencari tahu, dan memang benar dirinyalah yang salah. Dari saat itu dia merasa bahwa dia tidak pintar, selama ini dirinya hanya mendapatkan keberuntungan.

Dari narasi yang dibawakan, penulis seolah mengajak pembaca untuk tahu perjalanan Amanda, bagaimana Amanda yang tidak bisa berhenti berpikir sampai Amanda yang men-cap dirinya sebagai penipu. Pemikiran-pemikiran Amanda yang kelewat pintar itu ternyata tidak selamanya berdampak baik, terkadang menjadi biasa-biasa saja justru lebih baik. Itu yang aku simpulkan saat membaca pikiran Amanda.

Amanda tinggal dengan Ibunya yang merupakan seorang janda, Ayahnya sudah meninggal saat Amanda masih kecil. Tapi meskipun begitu kenangan-kenangan akan sang Ayah masih melekat dalam ingatannya. Meskipun Ibu Amanda ini cukup sibuk dengan pekerjaanya sebagai akuntan, Amanda masih mendapat perhatian penuh darinya.

Aku suka dengan sikap Ibu Amanda yang selalu sabar ketika menghadapi pemikiran Amanda yang seperti itu. Bagaimana dirinya yang mencoba menyuruh Amanda untuk tidak diam dikamar dan selalu memutar musik yang sama berulang-ulang, itu terasa sangat manis sekaligus memprihatinkan. 


“Aku sangat lelah dan merasa seperti karet yang direntangkan melebihi batas elastisitasnya. Yang ingin kulaku-kan hanyalah berbaring di tempat tidur dan tidak memikirkan apa-apa lagi.”


Selain menceritakan proses yang dilalui Amanda untuk depresinya, penulis juga membuatku flashback dengan menceritakan kebingungan Amanda saat akan memilih Universitas. Bedanya Amanda bisa masuk universitas mana saja dengan mudah sedangkan aku tidak, haha! 

Yah, sedikit disayangkan memang, dengan semua yang Amanda miliki dirinya masih berpikir bahwa dirinya itu penipu. Namun, aku mendapatkan banyak sekali pembelajaran dari buku ini. Pesan yang ingin disampaikan penulis bisa dengan mudah tersampaikan pada pembaca. Meskipun ini kisah yang cukup berat, tapi penulis membuat semuanya mudah dipahami karena pengulis mengemasnya dengan ringan.

Membaca novel ini kalian akan diajak menjadi orang yang teoritis, cerdas, sarkas dan berhati-hati dalam mengambil tindakan. Narasinya yang mengalir dan dialognya yang keren membuatku sangat menyukai novel ini. Sampai-sampai aku berani memberi 5 bintang dari 5 untuk novel ini.

Oh iya, kak Annisa Ihsani ini orangnya ramah loh! kenapa aku bisa bilang begitu? karena aku pernah menemukan IG-nya dan mencoba untuk menyapa beliau di DM. Aku pikir tidak akan dibalas, tapi ternyata dibalas dengan ramahnya. 

Aku juga pernah memposting buku ini di Instagramku, tapi baru sempat posting sekarang. Maafkan :''

Jadi, siapkah kalian menyelami pemikiran Amanda yang rumit dan cerdas ini? 


Synopsis 

Amanda has one small problem: she's convinced that she's not as smart as she appears. His report card contained all A grades, he believed because luck was on his side. It seemed the teachers only asked him questions he happened to know the answer to.

But of course, it's impossible for anyone to be lucky all the time, right?

After thinking about it, it didn't seem like a small matter. Especially considering that his life is filled with a series of psychotherapy appointments. When she came home with a prescription for antidepressants, Amanda knew the problem was more complicated than she was ready to admit.

Amidst complications with her boyfriend, family, and school, Amanda must accept that she can't get A's in everything.

Review

A for Amanda is the second novel by Ms. Annisa Ihsani. This novel, which deals with the theme of depression in high school students, was the first depression-themed novel that I read before Under Water by Marisa Reichardt . At first I thought that good young adult novels only came from abroad, but it turns out that Indonesia also has great writers like Annisa Ihsani.

Very enthusiastic and can't wait to read when I watched the booktuber's review of this novel. Moreover, the themes chosen are also very rare, right? 

“I thought people got depressed when there was something wrong with their lives. But for me, depression comes when everything in my life is going perfectly.”

When I read the synopsis, a little part of me agreed with Amanda's idea that intelligence is just luck. And you know, I could immediately feel what Amanda felt after reading this quote.

“So, I guess the teachers just judged me based on reputation. Like… I just got lucky a few times in the beginning and got good grades… then they kept giving me A's, even when I didn't deserve them. Do you understand what I mean?"

I understand that Amanda is annoyed by people who always think they are smart because they always get A grades. I also understand what Amanda feels when her best friend and boyfriend, Tommy, thinks that Amanda is hungry for praise or attention. I feel like screaming in front of Tommy that your boyfriend just needs a friend who understands his thoughts. Or should Tommy be able to just nod and say that he understands what Amanda means and feels? at least it will show that he is an understanding boyfriend. Ah, my annoyance still remains.

Talking about Tommy, let me tell you a little about Tommy. Tommy is Amanda's childhood friend who has been promoted to boyfriend, and Tommy doesn't like yellow M&M's. Actually, Tommy understands Amanda quite well, he is a good boyfriend and also a good friend. However, there were times when Tommy didn't understand Amanda and wondered what Amanda was thinking.

“You don't need my approval, Amanda. Whatever I and others think, it doesn't matter. The only thing that matters is what you think about yourself.”

At the beginning of the page, I was told that the type of depression Amanda was experiencing was Impostor Syndrome . Amanda felt that she was just lucky when she got an A and felt that everything other people thought about her was wrong, that she was cheating. Everyone is deceived by the luck they have. 

It all started when one of the teachers who was teaching in his class asked a question, but unlike usual, the teacher didn't point to Amanda but his friend. Amanda already knew what the answer was, but her friend had a different answer to Amanda. Amanda thought she was right, but it turned out that her friend's answer was the right one. Amanda was shocked and found out, and it was true that she was in the wrong. From that moment on he felt that he was not smart, all this time he had only had luck.

From the narrative presented, the author seems to invite readers to know Amanda's journey, how Amanda couldn't stop thinking until Amanda branded herself as a fraud. Amanda's overly clever thoughts don't always have a good impact, sometimes being mediocre is actually better. That's what I concluded when reading Amanda's thoughts.

Amanda lives with her mother who is a widow. Her father died when Amanda was little. But even so, the memories of his father still linger in his memory. Even though Amanda's mother is quite busy with her work as an accountant, Amanda still gets her full attention.

I like Amanda's mother's attitude, who is always patient when dealing with Amanda's thoughts like that. How he tried to tell Amanda not to stay in the room and always play the same music over and over again, it felt very sweet and worrying at the same time. 

“I was so tired and felt like rubber had been stretched beyond its elastic limit. All I want to do is lie in bed and not think about anything else.”

Apart from telling about the process that Amanda went through for her depression, the author also gave me flashbacks by telling about Amanda's confusion when choosing a university. The difference is that Amanda can enter any university easily while I can't, haha! 

Well, it's a bit unfortunate, with everything Amanda has, she still thinks she's a fraud. However, I learned a lot from this book. The message the author wants to convey can easily be conveyed to the reader. Even though this is a quite heavy story, the author makes everything easy to understand because the author packages it lightly.

Reading this novel you will be invited to become a person who is theoretical, intelligent, sarcastic and careful in taking action. The flowing narrative and cool dialogue made me really like this novel. So much so that I dare to give 5 stars out of 5 for this novel.

Oh yes, Sis Annisa Ihsani is a friendly person! why can I say that? because I once found his IG and tried to greet him in DM. I thought there would be no reply, but it turned out to be a friendly response. 

I've also posted this book on my Instagram , but I've only had time to post it now. Sorry :''

So, are you ready to dive into Amanda's complicated and intelligent thoughts? 





Continue reading [BOOK REVIEW] A untuk Amanda by Annisa Ihsani - Cerdas itu HANYA KEBERUNTUNGAN

Kamis, 09 April 2020

, ,

[BOOK REVIEW] People Like Us by Yosephine Monica


Penulis : Yosephine Monica
Penerbit : Haru
Genre : Romance
Kategori : Young Adult
Terbit : Juni 2014
Tebal : 330 halaman
ISBN : 978-602-7742-35-2
Harga : Rp. 54.000


 “Aku lebih menyukai hidupku sekarang. Mungkin jika semuanya tidak serumit ini, aku takkan mengenalmu. Tapi jika aku bisa memilih, aku akan memilih untuk bisa mengenalmu sejak dulu –jauh sebelum penyakit ini datang.” (hlm. 288)


BLURB

Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu. Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan dalam hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.

Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan kehidupan mereka.
Tentang impian mereka,
Tentang cinta pertama,
Tentang persahabatan,
Tentang keluarga,
Juga tentang... kehilangan.

Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin, kau sudah tahu begaimana cerita ini akan tamat.

Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.

Kalau begitu, kita mulai dari mana?


SINOPSIS

Amelia Collins (Amy), gadis lima belas tahun yang jatuh cinta pada teman satu sekolahnya, Benjamin Miller (Ben). Amy adalah gadis biasa-biasa saja di sekolahnya, akan tetapi dirinya cukup terkenal dikalangan teman-temannya karena dua hal. Pertama, dia senang menulis cerita fiksi roman di blog-nya. Ceritanya bagus dan banyak disukai teman-temannya, namun semua cerita yang dia tulis tidak memiliki ending sehingga membuat semua penasaran. Kedua, dia menyukai Ben.

Berawal dari pengakuan Amy pada temannya dan berujung dengan tersebarnya berita itu ke seluruh sekolah, Ben tahu keberadaan Amy. Amy menyukai Ben saat usianya dua belas tahun. Saat itu dirinya bertemu dengan Ben di kelas musik saat middle school. Mereka berada di kelas yang sama, akan tetapi Ben yang selalu menghindari dunia tidak menyadari itu.

Benjamin Miller (Ben), pemuda yang sudah menjalani hidupnya dengan begitu cuek karena sudah mengalami berbagai kejadian pahit di keluarganya. Ayahnya meninggal karena mengidap penyakit kanker, orang tuanya bercerai dan Ben menjadi anak yang tidak cukup dianggap di keluarganya yang membuat dirinya menjadi pribadi yang cuek dan sinis. Ben yang awalnya ingin menjadi penulis kini berganti keinginan dan memilih untuk menggeluti bidang olahraga, khususnya sepak bola. Saat mendengar kabar Amy menyukainya, Ben tidak peduli. Namun setelah cukup sering berpapasan dengan gadis itu akhirnya Ben menganggap bahwa Amy adalah penguntit.

Poetess : “Hai readers, apa kabar? Gimana masa karantinanya? Kalau bosan baca buku aja yuk!”


REVIEW

Novel  People Like Us merupakan pemenang 100 Days of Romance yang diadakan oleh Penerbit Harus’s Writing Competition 2013. Jujur aku tidak tahu kalau novel ini adalah pemenang 100 days of romance, tapi setelah membaca novel ini aku baru paham kenapa novel ini menjadi pemenang.

Sudah lama novel People Like Us ini hilir mudik di beranda situs online tempatku membeli buku. Awalnya aku acuh karena dari judulnya aku sudah menebak, ini adalah novel romantis ala remaja. Akan tetapi, setelah membaca blurb di belakang buku ini, aku langsung jatuh hati. Novel ini membuatku jatuh hati pada paragraf pertama.

Blurb-nya unik, seperti mengajak bicara pembaca sekaligus provokatif tentang ending yang sudah tertebak. Meski aku tahu temanya klise, tapi penulis membungkus kisah klisenya dengan sangat apik sehingga menjadi menarik. Selain itu penulis tidak membiarkan aku membaca sendiri karyanya karena dia juga mengajakku bicara lewat novelnya. Itu yang aku rasakan, sih. Rasanya seperti sedang mendengarkan kisah bukannya membaca.


"Apakah menyukai seseorang butuh alasan?" (hlm. 250)
 

Meski penulis menekankan bahwa cerita ini biasa saja dan endingnya sudah tertebak, aku justru merasa tambah penasaran. Aku ingin tahu memangnya seperti apa kisah yang mudah ditebak itu, apa bisa membuatku bosan dan meninggalkan buku ini sebelum sampai ke ending atau justru sebaliknya?

Dan saat memasuki cerita, aku dibuat kaget dengan gaya bahasanya yang kaku, puitis dan sedikit mengayun. Dan menurutku membuat gaya bahasa seperti itu cukup sulit, tapi penulis yang konon saat menulisnya masih berusia belasan tahun ini membuatku mengacungkan dua jempol sekaligus. Ngomong-ngomong gaya bahasa seperti ini jadi mengingatkanku dengan penulis Annisa Ihsani yang menulis ‘A untuk Amanda’ .

"Kadang kau tidak butuh petualangan di hutan yang mendebarkan atau perjalanan menuju belahan dunia lain untuk merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kadang kau hanya perlu satu orang dan rasanya kau sudah bisa menggapai seluruh dunia dengannya. "(hlm. 259)
 
Novel ini mengambil dua sudut pandang, yaitu Amy dan Ben. Dari dua sudut pandang yang disuguhkan aku jadi mengenal sosok Amy dan Ben lebih cepat. Alur cerita yang katanya lambat tidak begitu terasa lambat karena aku bisa membacanya dengan cepat, saking serunya tiba-tiba saja aku sudah di pertengahan halaman. Semua kejadian yang aku baca terserap dengan sangat mudah dan membuat ketagihan.  Rasanya dalam beberapa lembar saja aku sudah banyak mendapat bayangan kejadian dan kisah mereka. Bagaimana bisa kisah sebanyak itu dituangkan hanya dalam beberapa lembar saja? Dan anehnya terasa seru dan tidak rancu.
               
Selain gaya bahasa dan alur, karakter tokohnya juga asik dan punya ciri khas masing-masing. Amy yang ramah, tabah pemalu dan optimis. Ben yang memiliki sifat dingin dan sinis namun kesepian. Karakter keduanya sangat bertolak belakang.  Dan aku berharap sambil membayangkan bahwa cerita ini bukan cerita sedih melainkan cerita romatis ala remaja yang bahagia, karena dengan begitu pasti Amy bisa mengajak Ben main kesana kemari dengan gembira, membiarkan Ben merasakan hal baru dan hal-hal seru lainnya sambil diselingi canda tawa. Akan tetapi novel ini tentang si tokoh utama yang sakit dan memiliki sifat optimis.

Tapi tenang saja, meski novel ini sudah diklaim menyedihkan bahkan sebelum aku membacanya, novel ini bukan menceritakan kesedihan dan keputusasaan Amy, justru sebaliknya, Amy begitu tabah dan optimis. Amy yang mencoba membuat semuanya tampak baik-baik saja dan menganggap bahwa sakit bukanlah akhir dari segalanya mampu menyentuh hatiku saat membacanya. Meskipun terkadang, terselip ucapan Amy yang menyiratkan kesedihan, semua itu langsung berubah menjadi tidak menyedihkan lagi karena ada Ben yang semakin dekat dengan Amy dan mulai memberikan perhatian-perhatian kecil.

Ketimbang teringat dengan novel ‘The Fault in Our Stars’ aku lebih teringat ke film ‘A Walk Remember’ yang aku tonton sambil banjir air mata. Aaaa semuanya menebarkan aura sedih, optimis sekaligus romantis.

Perkembangan karakter yang aku lihat juga tidak terburu-buru dan terkesan dipaksakan. Lambat tapi pasti semuanya berubah seperti cerita pada umumnya. Aku suka Ben yang cuek tapi perhatian, saat dirinya bercanda dengan Amy, juga saat menjaga Amy. Aku juga suka Amy yang penuh perhatian. Komunikasi keduanya sangat manis sekaligus menggemaskan.

Terimakasih penulis dan Penerbit Haru yang sudah menciptakan novel ini. Sebagai penutup review ini aku memberi 5 bintang dari 5 untuk buku ini. Apa kalian jadi tertarik membaca novel ini?

Akhir kata, selamat menjalankan masa karantina #dirumahaja! 




“I like my life better now. Maybe if things weren't this complicated, I wouldn't know you. But if I could choose, I would choose to know you long ago - long before this disease came." (p. 288)


BLURB

I'll tell you a story. About Amy, a girl who doesn't have many choices in her life.
And Ben, a young man who is always haunted by the past.

Throughout this story, you will be taken to visit pieces of their lives.
About their dreams,
About first love,
About friendship,
About family,
Also about... loss.

They will go through small adventures, before one of them has to say goodbye.

Maybe, you already know how this story will end.

I don't care.
I just hope you read it to the last page.

If so, where do we start?



SYNOPSIS

Amelia Collins (Amy), a fifteen year old girl who falls in love with her schoolmate, Benjamin Miller (Ben). Amy is an ordinary girl at school, but she is quite famous among her friends because of two things. First, she enjoys writing romance fiction stories on her blog. His stories were good and liked by many of his friends, but all the stories he wrote had no ending so they made everyone curious. Second, she likes Ben.

Starting from Amy's confession to her friend and ending with the news spreading throughout the school, Ben knew where Amy was. Amy had a crush on Ben when he was twelve. At that time, she met Ben in music class at middle school. They are in the same class, but Ben, who always avoids the world, doesn't realize that.

Benjamin Miller (Ben), a young man who has lived his life indifferently because he has experienced various bitter events in his family. His father died of cancer, his parents divorced and Ben became a child who was not well respected in his family, which made him an indifferent and cynical person. Ben, who initially wanted to be a writer, has now changed his desire and chose to pursue sports, especially football. When he heard the news that Amy liked him, Ben didn't care. However, after running into the girl quite often, Ben finally assumed that Amy was a stalker.


 "Hi readers, how are you? How is the quarantine period? If you're bored, let's just read a book!”



REVIEW

The novel People Like Us was the winner of the 100 Days of Romance held by the publisher Harus's Writing Competition 2013. Honestly, I didn't know that this novel was the winner of the 100 Days of Romance, but after reading this novel I just understood why this novel was the winner.

For a long time, the novel People Like Us has been back and forth on the home page of the online site where I bought the book. At first I was indifferent because from the title I already guessed, this is a teenage romance novel. However, after reading the blurb at the back of this book, I immediately fell in love. This novel made me fall in love in the first paragraph.

The blurb is unique, as if inviting the reader to talk and at the same time provocative about the predictable ending. Even though I know the theme is cliché, the author wraps up the cliche story very nicely so that it becomes interesting. Apart from that, the author didn't let me read his work myself because he also invited me to talk through his novel. That's what I feel, anyway. It felt like I was listening to a story instead of reading.


"Does liking someone need a reason?" (p. 250)
 

Even though the author emphasized that this story was ordinary and the ending was predictable, I actually felt even more curious. I want to know what a predictable story is like, can it make me bored and leave this book before I get to the ending or is it the opposite?

And when I entered the story, I was surprised by his stiff, poetic and slightly swinging language style. And I think creating a language style like that is quite difficult, but the author, who was said to have been in his teens when he wrote it, made me give two thumbs up at once. By the way, this style of language reminds me of the writer Annisa Ihsani who wrote 'A is for Amanda'.

"Sometimes you don't need a thrilling jungle adventure or a trip to another part of the world to feel true happiness. Sometimes you just need one person and it feels like you can reach the whole world with them." (p. 259)

This novel takes two points of view, namely Amy and Ben. From the two points of view presented, I got to know Amy and Ben more quickly. The story line which was said to be slow didn't feel so slow because I could read it quickly, it was so exciting that suddenly I was in the middle of the page. All the events I read were absorbed very easily and became addictive. It feels like in just a few pages I can already imagine a lot of their events and stories. How can such a large story be contained in just a few pages? And it feels strangely exciting and unambiguous.
               
Apart from the language style and plot, the characters are also fun and have their own characteristics. Amy is friendly, stoic, shy and optimistic. Ben has a cold and cynical nature but is lonely. The characters of the two are very opposite. And I hope while imagining that this story is not a sad story but rather a romantic story in the style of a happy teenager, because then Amy will definitely be able to invite Ben to play here and there happily, letting Ben experience new things and other exciting things while accompanied by laughter. However, this novel is about the main character who is sick and has an optimistic nature.

But don't worry, even though this novel was claimed to be sad before I even read it, this novel does not tell about Amy's sadness and despair, on the contrary, Amy is so steadfast and optimistic. Amy, who tries to make everything seem fine and thinks that pain is not the end of everything, was able to touch my heart when I read it. Even though sometimes there were moments in Amy's words that implied sadness, everything immediately changed and became less sad because Ben got closer to Amy and started to pay little attention to her.

Rather than remembering the novel 'The Fault in Our Stars', I am more reminded of the film 'A Walk Remember' which I watched while flooded with tears. Aaaa, everything gives off a sad, optimistic and romantic aura.

The character development that I saw was also not rushed and seemed forced. Slowly but surely everything changes like the story in general. I like Ben who is cool but caring, when he jokes with Amy, and also when he looks after Amy. I also like the caring Amy. The communication between the two is very sweet and adorable.

Thank you to the author and publisher Haru for creating this novel. In closing this review I give 5 stars out of 5 for this book.

Are you interested in reading this novel?

Finally, have a good quarantine period #stayathome! Hahaha!


Continue reading [BOOK REVIEW] People Like Us by Yosephine Monica