Tampilkan postingan dengan label Intuition of Love. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Intuition of Love. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 April 2020

, ,

Intuition of Love 4

Aku terdiam setelah kejadian beberapa menit yang lalu. Jantungku masih saja bertalu cepat sampai sekarang. Bahkan saat makan tadi, sepertinya sup tidak langsung mengalir begitu saja. Bahkan rasanya, aku tak ingat sama sekali.
Semua ini membuatku resah dan bingung harus bersikap bagaimana bilamana bertemu dengannya. Ini baru untukku setelah sekian lamanya. Maka dari itu kalian tak bisa menyebutku berlebihan.
Sehari setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk melupakannya. Ralat. Maksudku berusaha untuk melupakannya. Karena bagaimanapun aku tak menampik bahwa sebagian kecil diriku menikmatinya.
Hanya sebagian kecil, ya! Karena seperti yang kalian tahu, semua itu terlalu cepat dan mendadak. Jadi rasa terkejut lebih mendominasi ketimbang menikmati.

Ah sudahlah.
Aku memperhatikan bayanganku dicermin sambil sesekali tersenyum entah pada siapa. Aku menghentikan kegiatan menyisir yang entah sudah berapa lama aku lakoni. Dan lagi-lagi aku tersipu malu.

Jujur saja aku merasa geli sendiri, sampai aku bisa melihat dicermin perlahan tapi pasti pipiku memerah. Mungkin karena tidak bekerja aku begini, sehingga tak ada pikiran lain selain tentangnya.
Aku bertanya-tanya, 'Bagaimana wajahku saat itu?' atau 'Bagaimana reaksinya? Apa dia tertarik padaku?' bahkan sampai pertanyaan paling keramat akhirnya kutujukan pada diri sendiri, 'Apa aku menyukainya?'
"Tak boleeeeeeh! Kenapa jadi begini?!" aku melompat keatas kasur dengan brutal, menarik selimut dan membenamkan wajah pada bantal yang baru saja kudapat dari teman. Tapi mari kita lupakan temanku itu, karena sekarang aku sedang terancam depresi.
Andai saja kasur bisa aku jadikan tempat bertanya, mungkin saja aku sudah bertanya dari tadi tentang apa yang terjadi sebenarnya padaku. Dan dengan begitu kalian bisa menganggapku gila.
Ah! Mungkinkah aku.... Puber? Lagi? Diusiaku yang sekarang sudah menginjak 25 tahun? Rasanya tidak mungkin. Terlebih lagi aku sudah menutup hatiku rapat-rapat dari hal-hal yang berbau cinta.

Meskipun perasaan seperti ini persis dengan yang kurasakan delapan tahun lalu, tapi aku tak mau tergesa-gesa untuk menyimpulkan. Aku bukan takut apalagi korban patah hati. Aku hanya ingin berhati-hati.
Biarlah perasaan ini aku terima, tapi tak akan kupedulikan. Aku hanya berniat mengambil pelajaran dari yang sudah-sudah agar tidak terulang kembali. Agar jika datang lagi orang yang begitu mudahnya menganggap prinsipku permainan, aku bisa mencincangnya lebih dulu sebelum dia yang mencabik-cabik perasaanku.
Ngomong-ngomong tentang prinsip, harus kuakui aku adalah pemegang teguh prinsip satu untuk selamanya. Terserah percaya atau tidak. Tapi yang jelas apapun prinsipnya, aku hanya tak ingin terjebak dalam genangan kenangan yang perlahan menenggelamkan.
"Lagi-lagi aku mengingatnya." gumamku seraya beranjak dari kasur menuju meja rias yang sempat kutinggalkan tadi.
Inilah penyebab aku tak ingin sama sekali tersentuh oleh yang namanya asmara. Apapun jenisnya aku tak ingin mendekatinya, aku ingin lupa.
Meski belum selesai dengan semua pemikiran sendiri yang berkecamuk, tapi aku sudah tak ingin berurusan lagi dengan semua itu. Aku ingin keluar rumah sebentar, sekedar menghirup udara segar atau mencari pekerjaan tambahan.
Aku mengenakan mantel yang cukup tebal untuk menghalau udara dingin yang mungkin saja akan dengan mudah masuk ketubuhku. Mengingat sekarang musim hujan. Rambut kubiarkan tergerai dan menjuntai menyentuh punggung yang sudah lama tak merasakan relaksasi.
Ah.. Tak lupa tas yang sudah mulai buluk termakan waktu.
Sepanjang jalan aku hanya berkeliling mengitari kota yang ramai, dimana kerlap kerlip malam terpadu dengan hingar bingar dunia. Dengan harapan keberuntungan sudi memilihku untuk sasarannya.
Siapa tau aku tiba-tiba bertemu seseorang yang dapat mengubahku nantinya, mungkin?
Aku terkekeh akibat pemikiranku sendiri, yang terkadang mengundang tatapan heran para pejalan kaki. Tak ambil pusing, aku hanya membalas mereka dengan cengiran spontan, yang ternyata malah membuat mereka bergidik ngeri.
"Cantik, tapi tak waras." bisik seorang pemuda pada temannya. Memalukan.
Ku percepat langkahku karena tak ingin mendengar hinaan lebih jauh lagi.
Angin tenang yang berhembus lembut membuatku seakan dapat merasakan gas yang baru saja keluar dari stomata daun, dan disetiap ujung ranting aku bahkan melihat banyak air peninggalan hujan. Membuatku tak menyesal karena memilih untuk keluar.
Tiba-tiba saja satu helai daun jatuh mengenai pundakku saat sedang mendongak untuk memperhatikan keindahannya yang lain. Aku mengambil daun itu dan memperhatikannya seksama, daun yang masih muda namun sudah gugur. Entah nasib atau takdirnya yang membuat dia gugur sebelum waktunya. Atau bisa saja ia menggugurkan dirinya saat angin lewat?
Daripada berlama-lama jalan tak jelas, mencari tempat berteduh adalah pilihan terbaik. Karena perlahan tapi pasti, langit sudah mengirimkan kembali pasukan airnya untuk menyerang bumi.
Membuatku dan seluruh penduduk sini kocar kocir mencari tempat persinggahan sementara.
Aku berlari dengan tangan diatas kepala. Berusaha melindungi dari hujan yang meskipun aku tahu itu percuma saja. Sampai aku melihat ada caffe diujung jalan dengan tihang lampu didekat pintunya. Tak perlu pikir panjang lagi untuk aku mendatanginya.
Setelah mengambil posisi senyaman mungkin, barulah aku melepas mantelku yang sudah basah dari tadi. Ternyata caffe ini dekat dengan sekolah, aku yakin caffe akan lebih ramai dihari-hari sekolah.
Aku memanggil pelayan untuk mencatat pesananku yang hanya mampu membeli secangkir kopi paling murah disini.
Menurutku tak usah lihat harga, cukup nikmati. Toh pelayan tak akan menolak untuk membuatkannya. Dan kurang dari sepuluh menit, aku bisa bersantai dengan kepulan hangat kopi yang kupesan.
Cafe ini didominasi dengan warna coklat muda khas kayu yang dipadukan dengan warna merah bata. Aku tak perlu bertanya kenapa warnanya seperti ini, karena memang mulai dari kursi dan meja semuanya terbuat dari kayu asli.
Dan untuk dinding, mereka menempelkan banyak batu bata yang membuat cafe ini terlihat klasik dengan lampu kuningnya yang memberi kesan hangat.
Pintu cafe terbuka dan menampakkan seorang nenek tua saat aku baru saja akan memejamkan mata. Langkahnya yang ringkih membuat semua orang yang melihatnya tahu bahwa dirinya sulit untuk berjalan lancar.
Aku beranjak dari dudukku untuk membantunya berjalan, namun batu saja dua langkah, aku mengurungkan niatku. Karena tiba-tiba saja seorang pemuda dengan pakaian kerjanya telah membantu nenek itu berjalan. Akupun duduk kembali.
"Kenapa belum ada panggilan juga ya, padahal Lusi bilang aku akan dapat panggilan setelah tiga hari." tanyaku pada diri sendiri.
Baru-baru ini aku mendapatkan kabar ada pekerjaan yang cocok untukku, meskipun pekerjaan kecil setidaknya aku bisa dapat uang dari sana. Aku tak boleh pilih-pilih pekerjaan, bukan? Ingat, aku bukan orang kaya lagi sekarang. 
Aku terkejut, pegangan pada gagang cangkir kopi hampir saja terlepas tatkala wanita tua itu kini sudah duduk manis dihadapanku. Dan aku tidak tahu kapan dia disana, karena setahuku nenek itu duduk ditempat yang lumayan jauh dari tempat dudukku.
Nenek itu terkekeh melihatku bingung, seolah reaksiku sudah dapat ia tebak sebelumnya.
"Boleh aku duduk disini?" tanyanya denga suara khas wanita tua.
Tentu saja aku tak mungkin menolak, hanya orang jahat saja yang mampu mengusir wanita tua.
"Tentu." jawabku kemudian.
Aku bingung harus bicara apa, aku tak suka situasi canggung. Aku lebih baik pergi dan seolah tak menganggap hal penting sekalipun jika sudah diberi situasi seperti ini.
"Apa aku membuatmu tak nyaman?"

apa dia bisa baca pikiran? Perasaan daritadi wajahku biasa saja.
"Tidak, Nek. Tenang saja, aku tidak apa-apa. Hm... Apa nenek sudah memesan minuman?" tanyaku.
"Belum."
"Baiklah aku pesankan teh. Nenek suka?" tanyaku sambil beranjak dari duduk.
Sepertinya aku harus memesan sendiri, pelayannya entah kemana.
"Tidak usah, aku hanya sebentar. Duduklah nak."
Aku mengangguk, membatalkan niatku dan memilih duduk kembali.
"Nak, aku hanya ingin memberitahumu sesuatu." aku mengernyit, mencoba menerka apa yang akan diberitahukannya padaku.
"Jangan memilih untuk bahagia sesaat, sepahit apapun itu kau harus melepasnya." ucap wanita tua itu dengan kalimat yang ambigu menurutku.
"Maaf? Apa maksud nenek? Aku tak mengerti."
"Biarkan dia pergi. Jangan buat dia bertahan lebih lama disampingmu lagi, dia masih punya cahaya. Kembalikanlah dia sebelum cahaya itu redup dihari ke empat puluh."
Apa maksudnya dengan melepaskan, cahaya, hari ke empat puluh? Juga dia, siapa dia yang wanita tua itu maksud?
Suara benda terjatuh terdengar nyaring didekatku. Seperti suara gelas yang pecah sekaligus kaca yang retak. Suaranya terdengar sangat jelas sampai membuatku refleks menoleh untuk mencari tahu.
Semuanya berhenti bergerak. Bahkan jarum jam tak lagi berdenting. Semua orang yang sedang melakukan kegiatannya terhenti begitu saja, seperti sebuah video yang sengaja di jeda.
Dan saat akan memastikan sesuatu, aku justru tak menemukan nenek itu lagi dihadapanku. Belum juga mengerti dengan semuanya, suara itu kembali kudengar. Dan beriringan dengan itu, semuanya bergerak. Kembali normal.
Setelah menyimpan uang pembayaran di meja, aku segera bergegas dari tempat itu. Ada yang tak beres, untuk memikirkannya aku harus tenang. Mungkin aku terlalu stres akhir-akhir ini sampai-sampai berkhayal terlalu jauh. Ya, aku menganggap yang tadi itu hanya ilusi, hayalan, halusinasi, atau apapun istilahnya aku tak peduli.
Kupercepat langkahku seakan tengah dikejar sesuatu tak kasat mata. Tapi bukan itu yang terjadi, aku hanya ingin cepat-cepat pulang.
Yang tadi itu masih saja terngiang dikepalaku. Dan satu pertanyaan yang selalu kuucapkan dalam kepasrahanku tatkala berusaha memahaminya. Bagaimana bisa...?
Saat berada di pertigaan jalan pulang, mataku menangkap sebuah kertas yang sepertinya sengaja ditempel untuk mencari perhatian para pejalan kaki atau siapa saja yang melewatinya.
Disana tertulis satu kata yang membuatku berasa memenangkan lotre. 'lowongan' begitulah yang tertulis didalamnya.
Secepat kilat kusambar kertas tadi, melepasnya dari kaca dan membuangnya. 'ini untukku' ucapku dalam hati.
"Permisi... Apa benar disini sedang dibutuhkan tukang antar pesanan?" tanyaku pada gadis manis yang tengah bekerja dikasir.
"Ya benar. Apa kau minat?" tanyanya tepat sasaran.
"Hm... Kalau boleh tahu apa saja syaratnya?"
"Tidak sulit, hanya harus bisa menggunakan motor." yap! Sudah kuduga pekerjaan ini untukku.
"Aku bisa. Kapan aku mulai bekerja?"


Baca dan ikuti versi lengkap Intuition of Love disini


Continue reading Intuition of Love 4

Jumat, 17 April 2020

, ,

Intuition of Love 3

Tapi memang tak ada yang terlihat buruk disini, kondisinya sama seperti gudang lainnya. Hanya ada tumpukkan barang tak terpakai berselimutkan kain warna putih. Lalu apa yang ayah bilang berbahaya benar-benar tak terbukti adanya.
Tunggu dulu, aku penasaran dengan barang yang disimpan di sudut ruangan itu. Seperti peti harta karun yang sering kulihat di acara tv mingguanku. Tak ada salahnya kan sekedar untuk melihat, toh tak ada ayah. Pikirku saat itu.
Langkah kecil ku perlahan tapi pasti membuka peti itu. Berdebu. Tapi tak mengurungkan niatku untuk membukanya lebih jauh. Dan benar saja, tak ada yang salah disini. Peti itu hanya berisi bungkusan bubuk putih seperti NaOH yang dihaluskan dengan sedikit kilapan disana. Waktu itu aku pikir ayah menyimpan gula-gula putih. 
Dan aku bersyukur kala itu pikiranku masih sangat sederhana.
Oke kembalilah pada kehidupan nyatamu, Yuna. Dan berhentilah memikirkan itu. Aku akui aku tak pandai menyembunyikan perasaan dan sebenarnya aku juga tak ingin berpisah dengan mereka. Aku sayang mereka sebagai orang tua yang membesarkanku, bukan orang tua yang tulus merawatku. Sudah lama rasanya aku tak mengenang mereka, cukup dikenang kan? Walau sebenarnya aku tak ingat apalagi yang terjadi saat itu, seingatku aku menjadi tahu yang sebenarnya setelah masuk ke dalam sana.
Tak terasa ternyata matahari sudah merangkak ke singasananya yang agung diatas sana. Tak ada waktu lagi, mari bereskan rumah.
Aku ingin menyanyi, ingin sekali. 
"Sapu-sapu ayo sapu yang kotor~ cuci-cuci marilah cuci yang bersih... Oh sungguh sibuknya~"
"Berisik! Suaramu itu jelek. Kupingku nyaris sobek mendengarnya. Aduuh!" ujar Adnan setengah membentak. 
Hey bahkan aku ragu dia punya kuping, heh. Seenaknya mengatai suaraku jelek.
"Oh aku paham, kau ingin aku menyanyi lebih keras lagi kan? Baiklaaaahh..." baru saja aku membuka mulut, tapi dia sudah menjejaliku dengan kertas yang tak tahu darimana asalnya. Aargh!
"Begitu lebih baik. Haha." 
"Dasar jahaaat tak akan ku beri izin kau mendekatiku lagi. Rasakan ini-" 
"Bagaimana bisa aku tak mendekatimu, kau bahkan selalu memintanya." Adnan menyeringai saat mengatakan itu, lama-lama ia mempersempit jarak diantara kita.
Sapu yang kupegang mau tak mau menjadi sasaranku sekarang, aku mencekramnya begitu kuat sampai buku kukuku menjadi putih. Tapi dia tak juga menjauhkan badannya,aku tak suka kondisi seperti ini... Aku bahkan belum sikat gigi. Apa sekarang...
TAKKK!
"Arrghh... Sakit. Aduduh duh sakit." 
Aw. Aku tak sengaja memukulnya dengan sapu, aku hanya panik. Tapi aku rasa dia tak akan mau mendengar penjelasanku. Lebih baik aku menyelinap saja, ya menyelinap. Benar. 
Maaf ya, hhe.
::::::::
Ah lelahnya, seharian membersihkan rumah dengan gangguan si bodoh ternyata tak mudah. Lihat, bajuku basah semua sekarang. Dan itu semua karena dirinya yang bersikukuh untuk menggantikanku mencuci pakaian, tapi ternyata itu tidak membantuku sama sekali. Dengan seenak jidat ia menambahkan pewangi pakaian sebelum detergent pada baju yang masih kotor dan merendamnya sangat lama. Saat kuberitahu, dia selalu berkata bahwa dirinya mengerti.
Tapi lihatlah apa yang terjadi, dia tak menggubrisnya. Pakaianku yang malang. Saat kutegur dia hanya memberikan puppy eyes-nya membuatku ingin sekali mencubitnya, namun siapa tahu saat aku pergi dirinya justru mengumpat. Dasar.
Bodohnya aku malah membiarkannya tetap mencuci, karena saat dekati dirinya malah menarikku masuk kedalam ember yang berisi cucian bersama dengan kakinya yang sudah masuk dan menginjak-injak pakaian lebih dulu. Membuatku tersipu disaat-saat sudah hampir meledak dalam jarak sedekat ini.
Kakiku dapat merasakan saat kakinya dengan sengaja memainkan jari kakiku didalam air, dan itu terasa geli hingga membuatku ingin tertawa. Saat akan kubalas dengan menginjaknya, ternyata dia terlalu cepat untuk sadar sehingga dengan mudah dia menghindar. Tapi saat kakinya menghindar itu justru membuatku tersandung sekaligus tergelincir karena cucian licin yang kita injak.
Takut dan terkejut menelungkupi diriku saat itu. Rasanya aku tak bisa apa-apa lagi selain merasakan kerasnya lantai. Terpejam. Dan saat kutunggu-tunggu waktunya datang, justru aku tak merasakan apa-apa. Hanya saja tubuhku seperti melayang dan aku dapat merasakan jemari kokoh yang tengah memeluk pinggangku. Aku membuka mata refleks. Dan yang kulihat pertama kali adalah wajah terkejut darinya. Huuuhh aku tak jadi jatuh ternyata.
Adnan menarikku lagi ke posisi semula, dan menegakkan tubuhku didepannya. 
"Maaf." ucapnya dengan nada rendah. 
Aku terkesiap saat Adnan mengatakan kata keramat yang selalu ia tolak untuk diucapkan. Tapi justru sekarang dengan lancarnya keluar dari mulut Adnan.
Aku gugup. 
Dan aku tak nyaman dengan suasananya. Karena sekarang aku bisa melihat wajahnya sangat dekat. Tanpa ada raut jahil, cemberut, atau seringaian di wajahnya. Ini wajahnya yang asli, yang memang ku akui sangat tampan. 
Apa-apaan ini, aku merasa sangat malu saat mengingat kejadian tadi. Seharusnya tadi aku marah padanya, bukan malah terpaku seperti orang bodoh. Atau jangan-jangan ini karena aku masih menggunakan baju basah ya, sehingga secara tak langsung aku mengingat riwayat baju basah ini. Lebih baik aku berganti pakaian saja.
"Masih terkejut, atau masih terpesona padaku?" ah orang ini selalu ada dimana saja. 
"Apa maksudmu? Aku tidak terpesona padamu, minggir." aku berjalan melewatinya begitu saja,
 "Aku akan berganti pakaian." lanjutku saat Adnan seakan bertanya apa yang akan kulakukan.
"Tak usah diganti Yuna, kau tampak errrr.... Seperti itu."
Aku segera melempar lap tangan yang ada dimeja tak jauh darinya, "Buang pikiran anehmu jauh-jauh!" ucapku sambil setengah berlari.  
Aku bisa mendengar jelas tawa Adnan pecah setelah aku mengatakannya. Aku bisa gila.
Setelah semua ritualku selesai, sekarang tibalah saatnya untuk mengisi perut. Aku berjalan kearah dapur dan mengambil beberapa ikat sayuran yang sengaja aku beli tadi pagi ditukang sayur langganan ibu-ibu. Bukan menu sayuran mewah seperti menu saat aku dirumah ayah dan ibu yang akan kumasak, hanya menu sederhana tapi bergizi.
Ada kentang, wortel, brokoli, romat, dan bawang. Sepertinya aku akan memilih sup untuk menu hari ini.
Pertama-tama aku mengupas terlebih dulu sayuran tadi dan mencucinya dengan air bersih, kemudian kupotong sayurannya dengan ukuran sedang. Selesai dengan itu, aku menyiapkan air untuk merebusnya. Tapi aku tidak melihat tempat untuk merebus, dimana sebelumnya aku simpan ya? Batinku.
Dibawah meja kompor, didalam rak piring, dan tempat lainnya, tapi aku masih belum menemukannya. Sampai aku menengakkan kepala dan tersenyum saat melihat disana ternyata pancinya. Tergantung manis dipaku atas, berdampingan dengan wajan dan yang lainnya.
"Uhh tempatnya tinggi sekali." gumamku. 
Aku menatapnya lama sekalian berpikir bagaimana menurunkannya tanpa cara menggunakan kursi. Karena itu bisa mengingatkanku akan hari itu
Lebih baik aku mencari wadah lain, pikirku saat akan berbalik dan sebelum menabrak tubuh seseorang dibelakang. 
Adnan entah dari kapan berada disana, dan mungkin sudah berada disana sejak tadi. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil wadah dan masih dengan aku yang sekarang merasa terhimpit oleh tubuhnya.
"Apa kau bisu? Untuk yang seperti ini kau seharusnya memanggilku." ucap Adnan seraya menyerahkan wadahnya padaku. 
Aku terkekeh melihat Adnan yang seperti merajuk. Melihatnya berekspresi begitu membuatku ingin mengelus rambutnya.
Melihat sayuran yang cukup lama terbengkalai, aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tadi, tapi siapa sangka Adnan justru telah menahan lenganku lebih dulu, dan kini tengah membalikkan tubuhku agar membelakanginya.
Tangannya menyentuh rambut panjang sekaligus tebalku dan kemudian menyisirkan dengan jarinya, mengangkatnya dan terakhir mengikatkan karet pada rambutku.
Aku memegang erat pinggiran wadah berbahan aluminium itu, terdiam kaku dengan pikiran yang sudah tak jelas kemana perginya. Tapi yang jelas, aku merasakan hal aneh saat Adnan selesai mengikat rambutku dan tersenyum padaku yang sudah tak tahan ingin berbalik sejak tadi. 
Aku merasakan hal aneh lagi.



Continue reading Intuition of Love 3
, ,

Intuition of Love 2

Sinar matahari sudah menembus ke sela-sela jendela kamar sekarang  dan membuatku terbangun. Aku mengerjapkan mata untuk membiasakan dengan cahaya yang memaksa masuk. Ternyata pagi datang begitu cepat, cahayanya seolah mengucapkan kata 'hallo' padaku.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, mencari sosok keberadaannya yang menemaniku akhir-akhir ini. Ternyata aku terbangun dengan kondisi yang cukup mengenaskan. Dimana ada kasur untuk ku tempati, tapi justru aku malah tertidur diatas lantai yang dingin. Bahkan rasa dingin itu merasuk ke setiap tulang dan seakan membekukannya.
Bulan ini memang bulan untuk koloni hujan berturunan. Disekitar rumah penuh dengan genangan air, membuat para pejalan kaki sedikit kesulitan untuk melaluinya. Dan aku menyadari sesuatu saat melihat itu semua dan dapat menyimpulkan bahwa dari semua fakta yang ku ketahui selama ini, hanya dialah fakta yang tak kuketahui kenyataannya.
KREK
Suara benda bergesekan itu mulai terdengar lagi. Gesekan tiap atom yang membentuk zat berwarna putih dengan media alas yang berwarna hitam. Tak ada siapa-siapa disini. Hanya ada  aku, tikus, kucing, dan masih banyak lagi hewan jelata yang menemaniku disini. Sesuai dengan keadaanku yang sebenarnya. Jelata dan tak layak.
Ingin aku menyalahi takdir yang menyebabkan semua ini. Uang menyebabkan aku bertemu dengan mereka yang memberi kebahagiaan semu.
Andai jika aku tak berlari menyusuri lorong rumah yang selalu ayah larang, mungkin aku tak akan berada disini. Semua itu salahku, salahku yang menguak semua ini.
Sore itu aku bermain ditaman belakang rumah milik keluargaku. Disana adalah tempat kesukaanku, luas dan rindang sejauh mata memandang. Menunggu teman ku yang berjanji akan bermain kerumah dan memperlihatkan mainan barunya lah alasan aku berdiam diri disana lebih lama. 
Satu jam... 
Dua jam... 
Temanku tak kunjung datang, aku yang memang pada dasarnya tak suka dibuat menunggu memutuskan untuk meninggalkan taman.
Sampai suatu ketika aku melihat kelinci yang berlari dihadapanku.
 “Wah~” ucapku sambil mengejarnya. Ingin tahu dari mana asal kelinci itu.
“Tunggu!” aku mengejarnya seraya tak henti-hentinya meneriakki kelinci itu untuk berhenti.
Tapi sepertinya telinga kelinci yang panjang itu tak mendengarkanku, ia lebih memilih berlari dan menjauh saat aku dekati. Mungkin kelinci itu menginginkan sayur.
Aku berlari dengan cepat menuju dapur dan mengambil sayuran yang tersedia dengan lengkapnya di jajaran paling atas rak kaca. Aku berjinjit untuk mengambilnya karena tinggi badanku tidaklah cukup untuk menjangkaunya.
 ‘kurasa aku butuh kursi’ batinku. 
Tapi disekitar sini tak ada kursi yang bisa diandalkan.
Hanya saja aku bisa melihat pintu yang sepertinya adalah pintu gudang. Aku melangkahkan kakiku menyusuri tempat itu, sampai telat ku sadari aku telah melanggar janjiku pada Ayah. 

Baca juga : Intuition of Love 3
Continue reading Intuition of Love 2
, ,

Intuition of Love

Hari demi hari kujalani sepenuh hati. Aku gembira dengan kenyataan yang membawaku ke tempat ini. Tempat dimana sepanjang jalan aku hanya menemukan sekumpulan orang yang berkumpul tak jelas dengan alat musik masing-masing. Memperebutkan recehan yang orang lain lempar dan berikan cuma-cuma. Bahkan acapkali aku melihat persaingan tak sehat setiap harinya.
Tapi aku pertegas lagi, bahwa aku sangat menyukai tempat ini. Suara gesekkan biola dan petikkan gitar lebih baik daripada cacian. Wajah meminta belas kasih disinipun lebih indah dipandang ketimbang wajah manis mereka.
Disini semua berusaha semaksimal mungkin, tak ada yang mendapatkan segalanya dengan instan. Meski dikala logika meminta untuk kembali, aku tetap tak bisa. Apa daya jika hati memang sudah terluka. Bahkan pahitnya racun pun akan kalah rasanya jika dibandingkan dengan pahitnya kenyataan.
Ditempat sepi ini aku hanya memiliki gitar yang menjadi temanku. Pakaian kumal tanpa lengan, rambut yang sengaja kuurai, dan tak lupa jeans yang sudah tak layak pakai membuatku lebih pantas untuk disebut pengemis. 
Tak apa begini, meski penampilan tak menunjang yang penting bakatku sangatlah menunjang. Hah! Terdengar sombong sekali memang. Tapi itulah caraku menjadi kuat. Lebih baik aku dikatai sombong dan sok daripada harus dikasihani seperti orang-orang yang mengelilingiku.
Aku berjalan menyusuri gang kecil yang penuh genangan air dengan pikiran yang berkecamuk di setiap langkah. Dengan mengaitkan gitar pada pundak aku mulai meloncati genangan air itu secepat kilat. Aku tersenyum, jadi teringat masa lalu. Dulu ketika aku dan teman-teman melihat jalan yang seperti ini kami selalu menghina penduduknya yang bisa tahan dengan jalan seperti ini lalu memilih lewat jalan lain. Tapi itu dulu. Karena sekarang justru aku yang menjadi penduduk sini. Haaahh... permainan takdir.
"Aku pulang..." ucapku entah pada siapa. Lagi-lagi aku tersenyum, masih saja aku berhalusinasi tentang indahnya keluarga. Selanjutnya aku melangkahkan kakiku menuju dapur untuk meneguk segelas air, rasanya segar sekali. Aku lelah dan ingin sekali makan sesuatu, tapi aku tak bisa. Aku hanya punya gelas dengan air didalamnya saja.
TAP... TAP...
Aku mendengar langkah seseorang dalam kegelapan. Kuhampiri langkah itu dengan menajamkan indra pendengaranku untuk mengikuti asal suara. Disetiap detik aku melangkah suara langkah itupun kian mendekat. 
Aku berhenti untuk menajamkan telingaku, namun suara itupun hilang. Tak ada bayangan sama sekali dibelakangku saat kunyalakan saklar kamar, hanya ada diriku saat aku bercermin. Tapi aku mencium bau khas yang sudah kukenal belakangan hari ini tepat di belakang leherku.
"Ah! Kau. Kau membuatku kaget." ujarku pada sosok lelaki yang menggunakan pakaian tak jauh berbeda dariku saat ia meniup telingaku. Parasnya tampan dengan lesung pipi dan senyum hangatnya yang selalu ia tunjukkan hanya padaku.
"Kau pikir siapa? Apa ada orang lain yang kau tunggu?" tanyanya. Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, aku malu karena kebenaran yang ia ucapkan.
"Apa terlihat jelas, hah?" 
"Sangat." Jawabnya penuh penekanan. Aku membuang muka saat dirinya mulai menelisik setiap jengkal tubuhku. Dan aku tahu apa yang akan ia tanyakan lagi.
"Iya kau benar. Itu jawaban jika kau mengira aku lapar. Karena aku memang sangat lapar sekarang."
Aku tahu dan sudah hapal tabiatnya meski belum lama mengenal. Ia akan bertanya tentang hal yang sudah ia ketahui sebelumnya dan akan mengataiku pembohong jika aku tak berkata jujur. Harusnya dia tak usah bertanya jika sudah tau. 
Selalu saja begitu.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan manis." Ujarnya tiba-tiba. Ya-ya dia memang selalu tahu.
"Kemari." ia menarik tanganku menuju sudut ruangan dirumahku. Ia mendudukkan dirinya dilantai dan tentunya menarikku untuk duduk disebelahnya.
 "Kau tahu?" itulah suara yang pertama kali ia ucapkan saat kami disini.
 "Dulu saat aku masih sepertimu aku juga pernah merasakannya. Saat aku lapar, ibu selalu melakukan ini padaku."
Tangannya perlahan menarik tubuhku kepelukannya kemudian meletakkan kepalaku dibawah dengan beralaskan pahanya. Jari-jari kekarnya mengusap lembut rambutku penuh perasaan. Sekarang, aku seolah ikut merasakan juga apa yang ia rasakan dulu.
"Aku tak tahu harus berlari kemana ketika semua orang justru memberiku kepedihan diatas senangku. Ibuku pergi tepat saat aku berhasil mewujudkan mimpiku yang selama ini ia dukung. Ibu pergi dan mengatakan sudah tak menyayangiku lagi, aku tak mengerti mengapa ibu melakukan itu. Tapi saat aku melihat ayah keluar sambil meneriakki ibu dengan sebutan yang sama sekali tak pantas didengar anak seusiaku saat itu, aku lalu mengerti. Ayah dan ibu bertengkar."
Aku bisa melihat dari bawah Adnan menarik nafasnya dalam-dalam saat menceritakannya padaku. Aku tertegun melihat raut wajahnya yang seperti menahan sedih mendalam.
"Kemudian aku pergi untuk mencari jalanku sendiri. Dengan modal kemampuanku dalam musik, aku berani turun kejalan untuk menjual suaraku pada mereka yang berlalu lalang sepanjang jalan. Mereka puas dan akupun mendapatkan receh dari mereka. Tapi... tak jarang aku kelaparan karena tak dapat uang. Haha... sama sepertimu sekarang." ucapnya seraya menertawaiku.
"Kau ini, senang sekali mengejekku!" aku mencubit pahanya dengan keras meski aku tahu ia tak akan merasakan sakit. Tapi setidaknya aku bisa menunjukkan padanya kalau aku marah. 
Kemudian Adnan terdiam. Aku bangun dari pangkuannya, mengusap kepalanya dan tersenyum saat Adnan menoleh padaku. "Kau tidak sendiri, aku bersamamu. Walaupun Ayah dan Ibumu meninggalkanmu, tapi aku tidak akan meninggalkanmu." ujarku.
"Dasar sok kuat. Aku tahu kau terharu dengan kisah yang ku karang tadi." ucapnya tanpa dosa. 
"Apa?!! Jadi cerita itu hanya-" belum sempat aku menuntaskan ucapanku, Adnan menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Seakan kisah tadi itu benar adanya, seakan semua yang ia ucapkan benar, seakan ia..... benar-benar merasakannya.
"Aku tak mengerti apa yang kalian pikirkan disaat seperti ini. Yang ku tahu hanyalah kehidupan yang tak kekal ini membuatku tersesat." dengan lembut aku menyentuh tangannya yang terasa dingin saat bersentuhan denganku. Ku sunggingkan senyum tulus untuk menjawab pertanyaannya selama ini.
"Boleh ku jawab pertanyaanmu?" tanyaku. Ia terperanjat dari lamunannya, iris kelamnya membesar tatkala aku menawarkan diri untuk menjawab.
"Aku mengerti sekarang. Kau ingin aku cepat-cepat pergi dari sini, eh?"
Aku terbahak mendengarnya. Aku rasa dirinya telah salah paham. Tapi biarlah, dengan begitu aku tak perlu susah payah memikirkan cara untuk membuatnya kesal. "Pergilah aku mau tidur." Ujarku.
Namun ia tak juga bergeming dari duduknya dan justru menarikku kembali kepelukannya. 
"Tidurlah, aku temani" sebenarnya apa yang ia katakan. Haruskah aku mencerna dan menganggap serius perkataannya tadi itu. Mungkin sekali saja, untuk malam ini saja biarkan aku menghilangkan ego ku untuk sementara.

Continue reading Intuition of Love