Aku terdiam setelah kejadian beberapa menit yang lalu. Jantungku masih saja bertalu cepat sampai sekarang. Bahkan saat makan tadi, sepertinya sup tidak langsung mengalir begitu saja. Bahkan rasanya, aku tak ingat sama sekali.
Semua ini membuatku resah dan bingung harus bersikap bagaimana bilamana bertemu dengannya. Ini baru untukku setelah sekian lamanya. Maka dari itu kalian tak bisa menyebutku berlebihan.
Sehari setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk melupakannya. Ralat. Maksudku berusaha untuk melupakannya. Karena bagaimanapun aku tak menampik bahwa sebagian kecil diriku menikmatinya.
Hanya sebagian kecil, ya! Karena seperti yang kalian tahu, semua itu terlalu cepat dan mendadak. Jadi rasa terkejut lebih mendominasi ketimbang menikmati.
Ah sudahlah.
Ah sudahlah.
Aku memperhatikan bayanganku dicermin sambil sesekali tersenyum entah pada siapa. Aku menghentikan kegiatan menyisir yang entah sudah berapa lama aku lakoni. Dan lagi-lagi aku tersipu malu.
Jujur saja aku merasa geli sendiri, sampai aku bisa melihat dicermin perlahan tapi pasti pipiku memerah. Mungkin karena tidak bekerja aku begini, sehingga tak ada pikiran lain selain tentangnya.
Jujur saja aku merasa geli sendiri, sampai aku bisa melihat dicermin perlahan tapi pasti pipiku memerah. Mungkin karena tidak bekerja aku begini, sehingga tak ada pikiran lain selain tentangnya.
Aku bertanya-tanya, 'Bagaimana wajahku saat itu?' atau 'Bagaimana reaksinya? Apa dia tertarik padaku?' bahkan sampai pertanyaan paling keramat akhirnya kutujukan pada diri sendiri, 'Apa aku menyukainya?'
"Tak boleeeeeeh! Kenapa jadi begini?!" aku melompat keatas kasur dengan brutal, menarik selimut dan membenamkan wajah pada bantal yang baru saja kudapat dari teman. Tapi mari kita lupakan temanku itu, karena sekarang aku sedang terancam depresi.
Andai saja kasur bisa aku jadikan tempat bertanya, mungkin saja aku sudah bertanya dari tadi tentang apa yang terjadi sebenarnya padaku. Dan dengan begitu kalian bisa menganggapku gila.
Ah! Mungkinkah aku.... Puber? Lagi? Diusiaku yang sekarang sudah menginjak 25 tahun? Rasanya tidak mungkin. Terlebih lagi aku sudah menutup hatiku rapat-rapat dari hal-hal yang berbau cinta.
Meskipun perasaan seperti ini persis dengan yang kurasakan delapan tahun lalu, tapi aku tak mau tergesa-gesa untuk menyimpulkan. Aku bukan takut apalagi korban patah hati. Aku hanya ingin berhati-hati.
Meskipun perasaan seperti ini persis dengan yang kurasakan delapan tahun lalu, tapi aku tak mau tergesa-gesa untuk menyimpulkan. Aku bukan takut apalagi korban patah hati. Aku hanya ingin berhati-hati.
Biarlah perasaan ini aku terima, tapi tak akan kupedulikan. Aku hanya berniat mengambil pelajaran dari yang sudah-sudah agar tidak terulang kembali. Agar jika datang lagi orang yang begitu mudahnya menganggap prinsipku permainan, aku bisa mencincangnya lebih dulu sebelum dia yang mencabik-cabik perasaanku.
Ngomong-ngomong tentang prinsip, harus kuakui aku adalah pemegang teguh prinsip satu untuk selamanya. Terserah percaya atau tidak. Tapi yang jelas apapun prinsipnya, aku hanya tak ingin terjebak dalam genangan kenangan yang perlahan menenggelamkan.
"Lagi-lagi aku mengingatnya." gumamku seraya beranjak dari kasur menuju meja rias yang sempat kutinggalkan tadi.
Inilah penyebab aku tak ingin sama sekali tersentuh oleh yang namanya asmara. Apapun jenisnya aku tak ingin mendekatinya, aku ingin lupa.
Meski belum selesai dengan semua pemikiran sendiri yang berkecamuk, tapi aku sudah tak ingin berurusan lagi dengan semua itu. Aku ingin keluar rumah sebentar, sekedar menghirup udara segar atau mencari pekerjaan tambahan.
Aku mengenakan mantel yang cukup tebal untuk menghalau udara dingin yang mungkin saja akan dengan mudah masuk ketubuhku. Mengingat sekarang musim hujan. Rambut kubiarkan tergerai dan menjuntai menyentuh punggung yang sudah lama tak merasakan relaksasi.
Ah.. Tak lupa tas yang sudah mulai buluk termakan waktu.
Sepanjang jalan aku hanya berkeliling mengitari kota yang ramai, dimana kerlap kerlip malam terpadu dengan hingar bingar dunia. Dengan harapan keberuntungan sudi memilihku untuk sasarannya.
Siapa tau aku tiba-tiba bertemu seseorang yang dapat mengubahku nantinya, mungkin?
Aku terkekeh akibat pemikiranku sendiri, yang terkadang mengundang tatapan heran para pejalan kaki. Tak ambil pusing, aku hanya membalas mereka dengan cengiran spontan, yang ternyata malah membuat mereka bergidik ngeri.
"Cantik, tapi tak waras." bisik seorang pemuda pada temannya. Memalukan.
Ku percepat langkahku karena tak ingin mendengar hinaan lebih jauh lagi.
Angin tenang yang berhembus lembut membuatku seakan dapat merasakan gas yang baru saja keluar dari stomata daun, dan disetiap ujung ranting aku bahkan melihat banyak air peninggalan hujan. Membuatku tak menyesal karena memilih untuk keluar.
Tiba-tiba saja satu helai daun jatuh mengenai pundakku saat sedang mendongak untuk memperhatikan keindahannya yang lain. Aku mengambil daun itu dan memperhatikannya seksama, daun yang masih muda namun sudah gugur. Entah nasib atau takdirnya yang membuat dia gugur sebelum waktunya. Atau bisa saja ia menggugurkan dirinya saat angin lewat?
Daripada berlama-lama jalan tak jelas, mencari tempat berteduh adalah pilihan terbaik. Karena perlahan tapi pasti, langit sudah mengirimkan kembali pasukan airnya untuk menyerang bumi.
Membuatku dan seluruh penduduk sini kocar kocir mencari tempat persinggahan sementara.
Aku berlari dengan tangan diatas kepala. Berusaha melindungi dari hujan yang meskipun aku tahu itu percuma saja. Sampai aku melihat ada caffe diujung jalan dengan tihang lampu didekat pintunya. Tak perlu pikir panjang lagi untuk aku mendatanginya.
Setelah mengambil posisi senyaman mungkin, barulah aku melepas mantelku yang sudah basah dari tadi. Ternyata caffe ini dekat dengan sekolah, aku yakin caffe akan lebih ramai dihari-hari sekolah.
Aku memanggil pelayan untuk mencatat pesananku yang hanya mampu membeli secangkir kopi paling murah disini.
Menurutku tak usah lihat harga, cukup nikmati. Toh pelayan tak akan menolak untuk membuatkannya. Dan kurang dari sepuluh menit, aku bisa bersantai dengan kepulan hangat kopi yang kupesan.
Cafe ini didominasi dengan warna coklat muda khas kayu yang dipadukan dengan warna merah bata. Aku tak perlu bertanya kenapa warnanya seperti ini, karena memang mulai dari kursi dan meja semuanya terbuat dari kayu asli.
Dan untuk dinding, mereka menempelkan banyak batu bata yang membuat cafe ini terlihat klasik dengan lampu kuningnya yang memberi kesan hangat.
Pintu cafe terbuka dan menampakkan seorang nenek tua saat aku baru saja akan memejamkan mata. Langkahnya yang ringkih membuat semua orang yang melihatnya tahu bahwa dirinya sulit untuk berjalan lancar.
Aku beranjak dari dudukku untuk membantunya berjalan, namun batu saja dua langkah, aku mengurungkan niatku. Karena tiba-tiba saja seorang pemuda dengan pakaian kerjanya telah membantu nenek itu berjalan. Akupun duduk kembali.
"Kenapa belum ada panggilan juga ya, padahal Lusi bilang aku akan dapat panggilan setelah tiga hari." tanyaku pada diri sendiri.
Baru-baru ini aku mendapatkan kabar ada pekerjaan yang cocok untukku, meskipun pekerjaan kecil setidaknya aku bisa dapat uang dari sana. Aku tak boleh pilih-pilih pekerjaan, bukan? Ingat, aku bukan orang kaya lagi sekarang.
Aku terkejut, pegangan pada gagang cangkir kopi hampir saja terlepas tatkala wanita tua itu kini sudah duduk manis dihadapanku. Dan aku tidak tahu kapan dia disana, karena setahuku nenek itu duduk ditempat yang lumayan jauh dari tempat dudukku.
Nenek itu terkekeh melihatku bingung, seolah reaksiku sudah dapat ia tebak sebelumnya.
"Boleh aku duduk disini?" tanyanya denga suara khas wanita tua.
Tentu saja aku tak mungkin menolak, hanya orang jahat saja yang mampu mengusir wanita tua.
"Tentu." jawabku kemudian.
Aku bingung harus bicara apa, aku tak suka situasi canggung. Aku lebih baik pergi dan seolah tak menganggap hal penting sekalipun jika sudah diberi situasi seperti ini.
"Apa aku membuatmu tak nyaman?"
apa dia bisa baca pikiran? Perasaan daritadi wajahku biasa saja.
apa dia bisa baca pikiran? Perasaan daritadi wajahku biasa saja.
"Tidak, Nek. Tenang saja, aku tidak apa-apa. Hm... Apa nenek sudah memesan minuman?" tanyaku.
"Belum."
"Baiklah aku pesankan teh. Nenek suka?" tanyaku sambil beranjak dari duduk.
Sepertinya aku harus memesan sendiri, pelayannya entah kemana.
"Tidak usah, aku hanya sebentar. Duduklah nak."
Aku mengangguk, membatalkan niatku dan memilih duduk kembali.
"Nak, aku hanya ingin memberitahumu sesuatu." aku mengernyit, mencoba menerka apa yang akan diberitahukannya padaku.
"Jangan memilih untuk bahagia sesaat, sepahit apapun itu kau harus melepasnya." ucap wanita tua itu dengan kalimat yang ambigu menurutku.
"Maaf? Apa maksud nenek? Aku tak mengerti."
"Biarkan dia pergi. Jangan buat dia bertahan lebih lama disampingmu lagi, dia masih punya cahaya. Kembalikanlah dia sebelum cahaya itu redup dihari ke empat puluh."
Apa maksudnya dengan melepaskan, cahaya, hari ke empat puluh? Juga dia, siapa dia yang wanita tua itu maksud?
Suara benda terjatuh terdengar nyaring didekatku. Seperti suara gelas yang pecah sekaligus kaca yang retak. Suaranya terdengar sangat jelas sampai membuatku refleks menoleh untuk mencari tahu.
Semuanya berhenti bergerak. Bahkan jarum jam tak lagi berdenting. Semua orang yang sedang melakukan kegiatannya terhenti begitu saja, seperti sebuah video yang sengaja di jeda.
Dan saat akan memastikan sesuatu, aku justru tak menemukan nenek itu lagi dihadapanku. Belum juga mengerti dengan semuanya, suara itu kembali kudengar. Dan beriringan dengan itu, semuanya bergerak. Kembali normal.
Setelah menyimpan uang pembayaran di meja, aku segera bergegas dari tempat itu. Ada yang tak beres, untuk memikirkannya aku harus tenang. Mungkin aku terlalu stres akhir-akhir ini sampai-sampai berkhayal terlalu jauh. Ya, aku menganggap yang tadi itu hanya ilusi, hayalan, halusinasi, atau apapun istilahnya aku tak peduli.
Kupercepat langkahku seakan tengah dikejar sesuatu tak kasat mata. Tapi bukan itu yang terjadi, aku hanya ingin cepat-cepat pulang.
Yang tadi itu masih saja terngiang dikepalaku. Dan satu pertanyaan yang selalu kuucapkan dalam kepasrahanku tatkala berusaha memahaminya. Bagaimana bisa...?
Saat berada di pertigaan jalan pulang, mataku menangkap sebuah kertas yang sepertinya sengaja ditempel untuk mencari perhatian para pejalan kaki atau siapa saja yang melewatinya.
Disana tertulis satu kata yang membuatku berasa memenangkan lotre. 'lowongan' begitulah yang tertulis didalamnya.
Secepat kilat kusambar kertas tadi, melepasnya dari kaca dan membuangnya. 'ini untukku' ucapku dalam hati.
"Permisi... Apa benar disini sedang dibutuhkan tukang antar pesanan?" tanyaku pada gadis manis yang tengah bekerja dikasir.
"Ya benar. Apa kau minat?" tanyanya tepat sasaran.
"Hm... Kalau boleh tahu apa saja syaratnya?"
"Tidak sulit, hanya harus bisa menggunakan motor." yap! Sudah kuduga pekerjaan ini untukku.