Sesuatu seperti : "Jangan tunjukkan kekesalan atau kamu akan kehilangan teman." adalah hal yang paling aku benci seumur hidup sekaligus hal yang membuatku ingin menemukan orang yang : saat bersamanya aku sangat transparan.
Aku ingin mengubah dari : kesal, diam, lalu bercanda lagi.
Menjadi : kesal, diam, merajuk.
Aku tidak ingin menjadi orang yang seakan semuanya baik-baik saja, tidak ingin menjadi orang yang mengalah demi terjalinnya kembali komunikasi, lalu melupakannya. Aku tidak ingin, setidaknya : lagi.
Katakanlah aku egois -meski sebenarnya aku tidak terima disebut begitu karena selama ini aku yang selalu mengalah.- karena ingin mendengar kata maaf dari orang lain, karena ingin dibujuk, karena ingin diajak bicara saat marah.
Well, terkadang aku selalu beranggapan kalau tidak apa-apa jika hanya aku yang mengalah, jika hanya aku yang peduli.
Tapi seringnya, saat melakukan itu aku merasa tidak menjadi diri sendiri.
Jujur saja aku adalah orang yang gampang sekali kesal, bosan, cerewet, ingin didengar, dan yang terpenting adalah ingin diperlakukan baik oleh orang sebagaimana aku melakukan sesuatu untuk mereka. Atau paling tidak, aku tidak ingin diperlakukan buruk karena aku pun tidak melakukannya pada orang lain.
Tapi bukan itu yang menjadi masalah, karena masalah justru datang dari status orang yang melakukan semua itu padaku. Pikiran seperti : kenapa dia tidak peduli padaku padahal aku peduli padanya, kenapa dia tidak memberitahu apapun padaku padahal aku selalu memberi tahu banyak hal padanya, kenapa dia tidak perhatian padaku padahal aku perhatian padanya.
Yah, semacam itu yang selalu menjadi topik utama dalam perdebatan batin.
Seringnya, seseorang memendam perasaan bukan untuk menutupi. Tetapi karena dengan begitu semua terasa baik-baik saja. Dengan begitu mata masih bisa melihat tanpa ragu, telinga bisa mendengar dengan jelas, bibir masih bisa berucap lugas, dan hati... tentu saja bisa merasakan dengan tenang. Karena ada kalanya menutupi adalah cara ampuh untuk membatasi luka.
Seseorang pernah datang padaku dengan senyum paling indah saat aku remaja. Aku tentu saja tidak bodoh untuk mengenali getaran yang hatiku kirim ke otak bernama 'perasaan suka'. Hanya saja bodohnya aku membiarkan perasan itu terpupuk seiring dengan berjalannya waktu, tanpa mewanti-wantinya lebih dulu bahwasannya itu hanya perasaan satu pihak.
Rasanya seperti buta, saat aku menyadari hatiku sudah mengenali perasaannya. Dan setelahnya aku dengan bangga mengklaim bahwa hatiku adalah miliknya tanpa peduli apakah hatinya pun memilihku atau tidak. Menyedihkan memang jika dilihat dari masa kini. Tapi dulu saat aku merasakannya, itu adalah perasaan paling menyenangkan.
Kamu tahu, berangkat pagi-pagi dan suka rela mengambil jatah piket teman tidak pernah semenyenangkan saat itu. Dimana saat melakukannya, aku akan punya alasan untuk menunggunya datang dengan sapu dan serok di tangan meski pada nyatanya aku hanya menyapu bagian-bagian terdepan dekat pintu dan mengabaikan bagian lain.
Aku ingin menyapamu saat datang dalam sunyi.
Hingga akhirnya waktu pun berjalan sambil memberi ujian demi ujian yang membuat aku berproses. Tidak seperti saat itu, kini logika ikut andil dalam semua tindakan. Caranya mengingatkanku akan beberapa tahun silam yang menampar dengan kenyataan bahwa... dia tidak pernah melihatku membuatku hiatus cukup lama untuk menggunakan hati.
Dan ini membuatku bertanya-tanya. Bukannya dari dulu aku sudah tahu dia tidak mungkin melirikku, tapi kenapa baru sekarang aku merasakan patah? saat melihatnya sudah mulai memperkenalkan gadis pilihannya pada dunia. Dunia yang berisikan teman-teman yang melihat bagaimana dirinya berusaha mendapatkan gadis impiannya, yang memang pada nyatanya jauh lebih pantas untuk didapatkan.
Yah, aku memang tahu. Aku tahu aku sedang berusaha menerima itu, dan aku juga tahu kalau sebenarnya otak diam-diam memerintahkan hati untuk mengalihkan fokus. Baguslah, itu bekerja dengan baik. Asalkan tidak bertemu dengannya, aku akan baik-baik saja.
Namun tanpa sadar aku pun lupa, bahwa tujuan pengalihan itu sendiri adalah juga untuk menutupi hatiku yang berbisik : mungkin aku pernah menyukainya untuk waktu yang lama, tapi bukan mencintai. Sebab aku masih baik-baik saja, sebab dari awal aku membatasi hanya untuk menyukai, dan sebab aku tahu semua perasaan punya waktunya masing-masing.
Kamu tidak perlu tersenyum kalau tidak ingin. Tidak perlu tertawa saat sedih, dan tidak perlu sendiri saat sepi. Kenapa sulit sekali untuk jujur pada diri sendiri? Apa salahnya berhenti mengelak dan menerima, kalau kamu sedang tidak baik-baik saja?
Dunia terlalu baik untuk menghakimimu, dia terlalu cerah untuk menutupi mendungmu. Kamu hanya perlu menangis. Bahkan, untuk hal-hal kecil sekalipun. Karena, jika tidak pada dirimu, mau dengan siapa lagi?
Tubuhmu yang sudah kamu atur untuk menutupi sedih terkadang berbisik lewat mimpi. Dalam bisiknya dia berkata, kamu hebat.
Semua memang rumit sampai kamu tidak bisa berkelit. Luka yang kamu pupuk akan membusuk. Mau berapa lama?
Mari menangis bersama. Dukamu yang entah untuk keluarga, teman, maupun kekasih, tidak akan hilang oleh waktu. Kamu hanya perlu jujur dan menangis.
Sekarang aku sudah beberapa tahun lebih tua darimu. Sedikit lebih banyak pula yang telah aku lalui.
Sedikit berpesan, jangan terlalu banyak memendam. Sebab sekarang aku menyesali karena tidak bisa mengutarakannya saat itu.
Kamu tahu? saat dewasa semua kesalahan atau rasa malu terhadap teman akan terasa seperti angin lalu. Karena semakin dewasa seseorang, dia akan menganggap masa lalu hanya sebuah kenangan.
Bisa saja yang kamu yakini buruk, ternyata membawa baik. Seperti saat itu, saat kamu memilih untuk mengutarakan perasaanmu padanya. Meski pada nyatanya, dia tidak menerimamu.
Namun sayangnya, kamu tidak mengutarakan hatimu luka. Sehingga sampai sekarang dia menganggapmu sahabat terbaiknya.
Membuatmu menyaksikan jalan hidupnya yang entah kapan akan menemukan pendamping. Membiarkanmu melihat semua perjalanan dan ceritanya dengan orang lain. Lalu kemudian memaksamu mengangguk saat dirinya bertanya 'apa kamu tidak apa-apa?'
Dan... membiarkanmu tertawa palsu.
Untuk aku yang sekarang masih diliputi rasa penasaran, aku di sini sekarang tengah diliputi rasa cemas ; memilih untuk datang ke perayaannya atau tidak.
Tapi sekarang aku bahagia untuknya. Kamu juga harus, ya.
Karena tidak ada yang salah dengan mencintai selagi di waktu yang tepat tahu cara merelakan.
Merajut kisah yang sudah aku tahu penyelesaiannya, apa boleh?
Aku, ingin kita mengulang tanpa harus menghilang
Seperti sesuatu yang tidak mungkin untuk ku ulang, menyukaimu lagi.
Namun tidak terucap, aku biarkan saja terbawa arus hening sampai hilang tertelan malam.
Benar, setelah malam, kini siang memuntahkan terang yang membuatku jelas berpikir, ternyata aku salah paham. Yang ingin aku ulang adalah perasaan riang yang pada nyatanya hanya aku ciptakan sendiri. Tidak peduli kamu tahu, pikir kita sama atau tidak, atau mungkin rasa kita singkron atau tidak. Mungkin seharusnya aku bilang... mengulang waktu saat aku bersamamu.
Saat kita mentertawakan hal-hal remeh yang tak lucu, kita saling mendiamkan diri masing-masing karena mempermalahkan petunjuk peta yang tak jelas, saat kamu ingin tidur tapi aku ingin berbincang, saat aku marah karena kamu memberi jawaban yang salah, saat kamu kesal karena aku jahili, atau mungkin saat kamu sembunyi-sembunyi menjemputku hanya untuk bertemu.
Rindu yang kumaksud adalah tawa yang aku tularkan padamu. Kisah yang kamu tawarkan padaku untuk kita rajut. Dan dari beberapa kisah yang terjadi, yang terukir dalam catatan semesta dan kita jalani suka rela, aku hanya ingin kamu tahu bahwa tidak ada satu hari pun yang aku sesali.
Dan jika memang hari ini kamu sudah merangkainya dengan yang lain, aku akan merayakannya lebih dari siapapun. Akan aku sambut dengan meriah melebihi siapapun, aku akan menjadi orang pertama yang memberi selamat lebih dulu, lalu kemudian aku kembali menarik diri tanpa dengar hingar bingar suaranya. Merayakan kesendirian.
Keterangan : Tanda kutip satu (' ') untuk memulai Nisti yang sedang mengetik atau menyampaikan sesuatu dengan bahasa isyarat.
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Kamu benar, Kistain. Mereka tidak layu, melainkan memulai sebuah kehidupan baru. Dengan kisah baru dan juga tempat baru.
Akan tetapi tidak dengan kenangan dan perasaan yang belum berlalu.
***
Posted by Penasunyi
Manusia hanya bisa merencanakan, tapi tidak dengan menentukan sesuatu akan terwujud atau tidak dengan pasti. Kata-kata mutiara itulah yang sedang susah payah aku sampaikan pada sahabatku, Rita.
Waktu itu adalah hari pengumuman SBMPTN. Kami -Aku, Kistain dan Rita menjadi beberapa dari mereka yang menanti-nanti sebuah kabar penting saat itu.
Rita yang tidak ingin membuka pengumuman sendiri akhirnya mengajak aku dan Kistain untuk menemaninya membuka hasil.
Sore itu aku dan Kistain baru saja pulang dari taman baca. Aku habis menemani Kistain yang katanya ingin mencari series komik kesukaannya disana. Untung saja tidak ketemu. Karena jika ketemu, aku yakin tidak akan pulang secepat ini.
Rita menungguku di depan pintu gerbang rumahku. Lengkap dengan ponsel ditangan kirinya dan sepasang cengiran antusias dibibirnya.
"Lho, bukannya ini teman Nisti?" Tanya Kistain.
Aku baru sadar kalau Kistain belum pulang dan masih setia mengekoriku dari belakang.
"Iya. Kamu cucuknya Pak Danu kan?"
"Bukan, aku cucuk Kakekku." Jawab Kistain sekonyong-konyong.
Rita mengulurkan tangan kanannya, mengajak Kistain bersalaman sebagai tanda perkenalan resmi. "Rita Yudia."
"Kistain Mahendra."
Kami terdiam beberapa detik. Setelah perkenalan lalu apa?
Tentu saja maksud kedatangan Rita. Harusnya Rita segera menjelaskan, tapi sore itu Rita hanya sibuk menggulung lengan baju panjang nya yang menutupi jari sambil tersenyum tipis.
Aku rasa cukup tipis.
Aku memegang pundaknya, masih dengan tatapan bertanya.
"Oh iya. Aku datang kesini untuk mengajakmu melihat hasil SBMPTN bersama-sama. Aku terlalu tegang untuk melihatnya sendiri."
"Aku?" Kistain menunjuk dirinya dengan jari telunjuk.
"Iya, kamu juga." Kata Rita.
Aku mengajak Rita dan Kistain untuk menungguku di ruang tamu selagi aku membersihkan diri. Tapi mereka menolak dengan dalih suasana di teras lebih sejuk.
Tiga cangkir teh, setoples biskuit, dan pembahasan paling serius sejagat raya anak sekolah adalah hal yang tengah tersuguhkan dihadapan kami. Aku tidak sabar sekaligus takut untuk mengetahui hasilnya nanti.
Tapi Rita tidak. Dia tampak lebih santai dari sebelumnya.
"Bismillahirrahmanirrahim, aku buka ya." Rita mulai mengetikkan link pengumuman.
Aku dan Kistain mengintip sambil ikut merasakan tegang. Ini benar-benar menegangkan! Rasanya seperti sedang merumuskan Pancasila ditengah serangan penjajah.
Ah mungkin tidak.
Mungkin lebih dari itu. Rasanya seperti disuruh membuka isi raport dihadapan orang tua.
Kistain yang kini duduk sila mulai terlihat tak tenang. Matanya terus memandangi biskuit dan teh yang masih belum disentuh dengan alis berkerut.
"Kenapa aku jadi mulas?" tanyanya polos.
Sontak aku dan Rita tertawa lepas dan kencang.
Aku menyodorkan biskuit pada Kistain selagi menunggu halaman yang cukup lama memproses. Sepertinya satu Indonesia tengah membukan halaman itu. Tapi Kistain justru menggeleng sambil berkata bahwa dirinya tidak ingin biskuit.
Sekarang aku paham.
Kistain memandang lantai, bukan biskuit atau teh.
Kistain mulas karena tegang, bukan karena-
"Kurasa rasa asam sambal yang aku makan tadi bukan dari cuka, tapi sepertinya sambal itu memang sudah basi." Ujar Kistain.
Aku mencoba mengingat kejadian tadi pagi. Sejak hari itu aku dan Kistain memang jadi lebih sering jalan-jalan pagi. Agenda kami setelah jalan santai adalah makan bubur mang Juju di pengkolan kompleks. Tapi tadi memang rasa sambalnya sedikit berbeda. Sedikit masam.
Padahal Kistain sudah terlanjur memasukkan banyak sambal di buburnya.
"Yasudah sana kamu ke wc dulu. Kasian sekali seperti akan lahiran. Hahaha!" kini Rita yang menimpali.
Kistain segera bangkit, topinya terjatuh saat dirinya akan berdiri.
"Aku pamit dulu, ya. Nanti jika masih sempat aku kesini lagi. Semoga berhasil, Rita!" Seru Kistain sambil berlari.
Aku mengambil topinya dan menyimpannya diantara kakiku dan Rita.
"Bagaimana jika tidak lolos?" Tanya Rita.
Aku membalas dengan bahasa isyarat, 'Berarti Tuhan sudah menyiapkan rencana yang lebih baik buat kamu.'
"Benar juga." Rita kembali memperhatikan ponselnya.
"Ah! Kebuka. Nisti... Ya ampun aku takut! Aduh gimana ini... Oke tarik nafas... Buang. Aku bisa!"
Aku tersenyum geli melihat Rita yang sibuk dengan dirinya sendiri.
Dan beberapa saat kemudian aku pun harus mengeluarkan kata-kata mutiara yang sering aku baca di internet untuk Rita.
Hasilnya tidak terlalu buruk, Rita lulus di pilihan kedua. Itu artinya salah satu universitas di kota ini. Tapi mimpinya dari awal yang ingin ke universitas disana harus pupus seketika.
Kalau boleh hanya memilih satu, Rita hanya akan memilih pilihan nomor satunya saja. Karena dari awal hanya memiliki tujuan dan harapan ke satu universitas berlambang gajah itu, akhirnya membuat Rita tidak tahu tentang universitas yang lain. Tepatnya tidak berminat.
Alhasil sisanya dia hanya asal pilih.
Rita menangis terisak-isak. Pundaknya bergetar dan suara tangisnya tertahan. Aku memeluknya tanpa kata. Semua kata-kata yang sudah kusiapkan melebur begitu saja. Tergantikan dengan sebuah pelukan penenang.
Melihat sahabat menangis adalah hal yang sangat menyakitkan untukku. Setidaknya saat itu. Aku yang tahu bagaimana visi itu masih jadi sebuah mimpi, saat Rita berkata : "Sepertinya seru." Sampai "Aku harus bisa masuk kesana."
Dan sore itu berakhir dengan Rita yang menangis.
Aku menyodorkan teh hangat untuk Rita.
"Terimakasih ya. Maaf aku cengeng dihadapanmu."
Aku menggeleng.
'Minum saat masih hangat. Itu akan menenangkanmu.' Aku tersenyum bangga dengan teori yang kupinjam tanpa ijin dari Kistain.
"Hem... Benar. Rasanya sedikit membaik. Jadi... Nisti sudah bisa menghibur, ya." Rita mengatakannya sambil tertawa pelan dan mengusap air matanya.
Aku mengangguk, tanganku menepuk dada pelan. Membanggakan diri.
"Siapa yang mengajari?"
Aku menjawab bahwa Kistain yang mengajari. Lebih tepatnya aku yang belajar dari tingkah lakunya yang perhatian dan pengertian disaat-saat yang tidak terduga.
Aku jadi teringat cup di dapur.
Kepala Rita tiba-tiba menyandar dipundakku. Membuat lamunanku tentang Kistain sore itu buyar.
"Sepertinya Kistain orang yang baik, ya? Tapi sedikit konyol. Haha!"
Aku mengangguk membenarkan perkataan Rita.
"Membuat orang dengan mudah mengenal dan tidak canggung. Rasanya seperti sudah lama kenal."
Lagi, aku mengangguk membenarkan.
"Coba kamu lihat keluar. Dia sedang berlari kesini." Rita mengangkat kepalanya dari pundakku.
Benar saja, gerbang yang tertutup sudah terbuka lebar. Sangat lebar karena Kistain membuka dua buah sisi pagar sekaligus. Dia yang masuk tapi rasanya seperti akan ada mobil yang masuk.
Kantong merah yang pernah kulihat itu seperti terisi oleh sesuatu yang tidak cukup besar. Aku mengamatinya diam-diam.
"Assalamualaikum. Gimana hasilnya? Maaf ya aku telat. Syukurlah belum terlalu sore, jd masih bisa kesini." Kistain masih mengatur nafas.
"Waalaikumsalam... Hehe coba lagi." Jawab Rita.
"Hah? Padahal aku yakin kamu bisa. Tapi memang ya, manusia hanya bisa berencana. Pilihan kedua dan ketiga bagaimana?"
"Sebenarnya aku lolos di pilihan kedua. Tapi rasanya tidak sama, aku gagal." Suara Rita bergetar saat mengatakannya.
Tangannya terkepal menahan tangis. Kistain yang melihat itu langsung mengeluarkan sesuatu dari tas merahnya.
"Makan saat masih dingin. Aku ragu kamu suka kalau makanannya sudah jadi hangat. Hehe."
Aku dan Rita tertawa lagi. Perkataan Kistain memang benar, dan selalu benar. Tapi entah kenapa aku selalu ingin tertawa jika Kistain sudah memulai teorinya yang selalu mendefinisikan sesuatu yang tidak perlu.
Naik itu keatas.
Turun itu kebawah.
Dan es krim lebih enak dimakan saat dingin.
Semua orang tahu!
"Terimakasih, Kistain. Dingin memang lebih enak." Kata Rita sambil tertawa.
Aku membuka es krim rasa vanilla kesukaanku, sedangkan Rita rasa strawberry dan Kistain rasa cokelat.
Kami tidak lagi membicarakan tentang SBMPTN. Kistain mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih seru. Sambil memakan es krim di sore hari, kami bercakap tentang liburan ke tempat wisata yang sedang hangat dibicarakan saat itu.
Entah apa yang akan dipilih Rita untuk kedepannya. Kita lihat saja nanti. Sekarang aku mau menceritakan buku yang kutulis bersama Kistain padamu. Juga tumbuhan kering yang menjadi pembatas kenangan hari itu.
Kami memutuskan untuk pergi bersama di hari Minggu. Meski tahu tempatnya akan ramai tapi kami tetap memutuskan untuk berangkat. Saat pergi kami diantar Paman Sani -Ayah Rita. Tapi untuk pulangnya kami akan naik bus saja. Saat itu bus adalah tempat ternyaman dan harganya pas dikantong.
Aku dan Kistain duduk dikursi penumpang, sedangkan Rita duduk disamping Ayahnya yang sedang menyetir. Sepanjang perjalanan aku dan Kistain saling bertukar candaan.
Tentu saja didominasi oleh Kistain.
"Kenapa rambutnya harus diikat?" Tanya Kistain sambil berbisik.
Aku mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu.
'Gerah.'
"Nanti disana mending dibuka." Kistain memainkan rambut yang aku kuncir pendek.
'Kenapa?' ketikku lagi.
"Panas. Aku gak bawa payung."
'Tenang... Aku bawa lotion anti belang haha'
Kistain tertawa.
Dan Rita sedang curi-curi pandang padaku dan Kistain. Sepertinya tawa Kistain terlalu kencang.
Sesampainya di tempat wisata, Paman Sani langsung pamit untuk pulang. Betapa baik hatinya Paman Sani ini. Tahu saja kami butuh liburan tapi tidak punya uang. Semuanya dibiayai oleh beliau.
Kami jalan beriringan. Aku dibelah kanan, Rita ditengah dan Kistain kiri.
Sepanjang perjalanan kami dikelilingi oleh pohon pinus dan payung-payung cantik warna-warni yang menjadi pelindung kami dari sinar matahari.
Kami datang pagi hari, jadi belum terlalu panas. Tapi kalau boleh dibilang tempat ini justru tidak ada panas-panasnya sama sekali. Udaranya sejuk dan pohon-pohonnya rindang. Khas aroma hutan yang dipercantik.
Aku menawarkan diri untuk memfoto Rita yang tidak bisa lepas dari foto diri.
Ini adalah gaya potret ke-sepuluh yang aku ambil untuk Rita. Kistain sampai bosan dan menggelar kain di seberang jalan sambil menikmati salad yang kubuat.
"Masih lama tidak? Aku lapaaaar..." Kistain mengatakannya sambil memasukkan suapan ke-tiga ke mulutnya yang penuh.
"Sebentar! Satu lagi, ya Nistiku sayaaang. Coba sekarang aku ambil posisi sedikit tinggi deh."
Setelah melewati jalanan berpayung, akan ada tempat untuk orang yang ingin menyewa ayunan kain. Tempatnya ada di sisi-sisi jalan utama. Hanya saja, tanahnya tidak datar. Untuk kesana harus sedikit melalui undakan tanah yang cukup menanjak dan licin karena banyak buah pinus yang kering.
Aku tetap dijalan utama, menunggu Rita selesai menanjak dan mengambil pose indah.
Kistain?
Tanpa rasa malu dia masih melanjutkan makannya dengan lahap. Tapi meski begitu aku suka jika Kistain selalu menyukai salad buatanku.
Saat lari pagi waktu itu aku dan Kistain bertukar nomor telepon. Rasanya aneh baru bertukar nomor masing-masing setelah cukup lama kenal. Dan sebelum pergi berlibur, Kistain memintaku untuk membuatkan salad buah kesukaannya.
Pantas saja saat itu dia membawa kantung merah. Ternyata isinya buah-buahan untuk dijadikan salad.
"Saking enaknya aku tidak rela berbagi." Ujar Kistain saat aku memasukan salad ke ransel.
Memangnya kapan dia berbagi salad pada orang lain selain padaku? Itupun dia yang menghabiskan lebih banyak.
Saat tengah diam-diam memotret Kistain, tiba-tiba objek yang sudah ku potret terlihat panik dan spontan berlari kencang.
Aku menurunkan kamera. Disana, aku melihat Kistain yang tengan membantu Rita untuk bangun yang tertatih-tatih.
Tanah yang menanjak membuat Kistain kesusahan menarik tangan Rita yang posisinya berada diatas Kistain.
"Ayo turun pelan-pelan. Kamu bisa pegangan ke tanganku." Ucap Kistain sambil terus membujuk Rita yang takut-takut mengambil uluran tangan Kistain.
Ternyata Rita terjatuh saat akan turun. Kakinya menginjak buah pinus kering dan membuat kakinya terkilir.
Aku hanya diam tanpa berbuat apa-apa. Takut jika ingin membantu malah jadi menyusahkan.
Dalam satu tarikan tangan Kistain, Rita sudah berhasil turun. Sebelum Kistain memutuskan untuk menarik tangan Rita dari bawah alih-alih dia yang naik, aku melihat matanya melirik padaku.
Seakan bingung harus naik dan meninggalkanku dibawah atau membawa Rita ke bawah dan mengobati lukanya bersamaku.
Tapi meski tahu, hal itu tidak membuatku senang. Aku tahu aku jahat karena masih sempat merasakan hal seperti itu disaat seperti ini.
Aku menghampiri keduanya sambil membantu Rita duduk. Sedangkan Kistain menyerahkan Rita sepenuhnya padaku.
'Sakit?' tanyaku. Aku lihat matanya sudah berkaca-kaca.
Rita mengangguk. Perjalanan tidak lagi dapat dinikmati jika sudah begitu. Aku pun memutuskan untuk melihat Kistain yang tengah membereskan makanannya.
"Nisti, tolong hubungin Ayah, ya. Aku mau pulang saja."
"Kasihan Paman Sani kalau harus putar arah. Pasti belum sampai juga kan. Kita makan disini saja gimana?" Tanya Kistain.
"Daripada disini lebih baik jalan sedikit lagi. Tempatnya bagus buat gelar tikar. Ada yang menyewakan tikar juga disana." Jawab Rita.
Aku setuju.
Aku berjalan sambil menuntun Rita berjalan, dan disisi satunya lagi ada Kistain yang juga menuntun Rita dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan membawa bekal yang kami bawa.
Jalan kami terhenti, Kistain tiba-tiba berjongkok dihadapan Rita dan aku. Aku dan Rita memandangnya bingung.
"Kugendong sajalah. Kalau jalan seperti ini lama. Keburu siang juga kan nanti tidak kebagian tempat bagus."
Rita dan Kistain melirikku.
Aku?
Aku mendorong pelan tangan Rita agar dapat diraih Kistain. Tak perlu waktu lama Kistain pun mengambil tangan Rita dan mengalungkannya di lehernya. Dalam sekejap Rita sudah berada diatas punggung Kistain.
Kami pun bersenang-senang sampai Paman Sani memutuskan untuk menjemput saat mendengar kabar puterinya yang terluka.
Setelah perjalanan panjang hari itu Kistain tidak banyak bicara. Kini gantian Rita yang lebih banyak bercerita. Aku tertawa sesekali saat Rita yang antusias menceritakan kejadian saat aku dan dirinya masih sekolah.
Paman Sani juga ikut tertawa. Kistain memejamkan matanya alih-alih ikut tertawa bersama. Kepalanya disandarkan pada kaca mobil.
Aku yang melihat itu jadi kehilangan selera humor. Sepanjang perjalanan aku jadi mengikuti Kistain. Terdiam tanpa minat untuk cerita.
'Terimakasih paman.' aku menunjukkan tulisan yang aku ketik di ponsel pada paman Sani.
"Sama-sama Nisti... Makasih juga tadi Rita-nya sudah ditolongin. Makasih juga nak Kistain. Nanti paman bawakan koyo kerumah. Pasti punggungnya pegal." Paman Sani berkata sambil menepuk punggung Kistain pelan. Senyumnya tak lepas dari Kistain yang saat itu hanya tersenyum kikuk.
"Tidak kok, paman. Santai saja. Terimakasih untuk liburannya." Jawab Kistain.
"Sama-sama. Ya sudah, saya pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku dan Kistain pun melambaikan tangan pada Rita yang tidak ikut keluar mobil.
Kini hanya ada aku dan Kistain. Sebenarnya aku bingung harus bersikap bagaimana saat itu. Tapi aku lebih bingung lagi dengan situasi yang tiba-tiba jadi canggung.
"Maaf." Ujar Kistain tiba-tiba saat aku membuka pintu gerbang.
'Untuk apa?' tanyaku.
"Untuk hari ini."
Tidak perlu penjelasan untuk mengungkap perasaan yang terasa saat itu. Aku tahu apa maksudnya, dan aku menghargai niat tulusnya.
Aku bilang tidak apa-apa dan menyuruhnya segera pulang dan istirahat. Tapi Kistain justru menahan tanganku dan memberikan buku beserta buah pinus yang sudah kering.
Aku menerimanya dengan heran.
"Marah saja. Tapi jangan menjadi diam. Tulis semua keluhan kamu di buku itu. Nanti aku baca, kok. Dan ini, buah pinus kering ini aku kasih agar kamu tahu alasanku melakukannya dan jawaban atas marahmu. Ini salah si buah pinus kering." Penjelasan panjang lebar Kistain tak mampu menahan senyum dibibirku.
Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Kistain membalas senyumku dan mengambil tempat yang berisi wadah bekal kami.
"Aku yang cuci ya. Besok aku kembalikan. Aku pandai cuci piring! Dijamin bersih dan wangi."
Kistain segera berlari dan sesekali berbalik untuk melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya sebelum masuk kerumah.
Mulai hari itu, aku ataupun Kistain akan menuliskan semua keluhan dibuku itu.
Salah satu dari kita yang merasa bersalah akan memberikan buku itu pada pihak yang dirasa marah. Begitu seterusnya.
Sampai lambat laun seiring berjalannya waktu, buku itu tidak hanya berisikan keluhan saja, melainkan ikut terisi dengan ungkapan-ungkapan terimakasih untuk waktu yang dilalui bersama.
Untuk rasa hangat yang tercipta disetiap aku mengenang waktu kebersamaan kita.
A/n : Hai! Terimakasih untuk waktu yang kalian luangkan untuk membaca kisahku. Aku hanya ingin memberitahu kalian agar tetap membacanya sampai akhir. Banyak sekali yang ingin aku sampaikan pada Kistain. Kuharap kalian mau membantuku menyampaikan padanya, bahwa aku rindu.
Kistain si raja Salad.
Share : || IG || Twitter ||Fb ||
Enter your comment...
PUBLISH PREVIEW
Postingan ini dibuat untuk tujuan promosi naskah Senandika yang sedang diikutsertakan lomba. Apabila beruntung, naskah ini bisa naik cetak. Jika kamu ingin membaca cerita ini versi lengkap, kamu bisa mengunjungi halaman ini https://www.wattpad.com/user/Poetess05
Hari ini kelas tidak begitu menyenangkan. Ah, kuliah online memang tidak selamanya menyenangkan.
Benar, aku memilih untuk mengambil kelas online. Bukan karena tidak bisa bergaul dengan yang lain melainkan karena kekuranganku. Aku hanya nyaman jika tidak terlalu sering berinteraksi dengan orang yang tidak aku kenal. Dan aku malas untuk bertemu dengan orang baru. Jadi selain tidak perlu membuang-buang tenaga untuk bicara, aku juga tidak perlu keluar rumah.
Mereka tidak akan tahu suaraku dan kekuranganku, mereka hanya tahu aku pendiam. kebanyakan orang diluar sana mengira jika aku tuli, aku juga bisu. Mereka salah, aku tidak bisu hanya saja sulit untuk bicara. Jika kalimat sederhana biasanya aku akan memilih untuk bicara ketimbang menulis. Seperti saat itu bersama orang yang sangat aku rindukan, aku bicara banyak hal dan tertawa.
***

Hari itu aku sedikit terburu-buru sampai kotak yang kubawa terguncang dan hampir membuat isinya tak berbentuk. Aku ingin datang lebih awal. Kami janji untuk bertemu pukul sebelas, tapi aku datang sepuluh menit sebelumnya. Tidak perlu bertanya dimana meja yang harus ditempati, karena jauh dari pertemuan hari itu aku sudah mengenalnya secara sepihak.
Aku melihat laki-laki bertopi dengan celana selutut dan baju lengan panjang tak lama setelah aku duduk. Laki-laki itu membuka pintu kedai, matanya menyusuri setiap meja yang ada. Namun aku hanya memperhatikannya sambil memasang senyum.
Dan pandangan kami bertemu.
"Kamu datang lebih awal? tanyanya setelah mendapatkan posisi nyaman di kursi.
Kistain membuka topinya dan menyimpan topi itu di sebelah siku sebelah kanan. Tangan kanannya menopang dagu sambil menatapku. Tubuhnya sedikit condong kedepan membuatku bisa melihat dengan jelas rambutnya yang seperti baru dikeramas.
Aku ikut menopang dagu dengan tangan kiri, tubuh kami condong ke satu sama lain. Alih-alih menjawab aku justru hanya tersenyum, bedanya sekarang sedikit lebar. Kami saling menatap, menjelajahi kedalaman mata masing-masing sebelum sama-sama tertawa kemudian tertunduk karena malu.
"Khem. Jadi... aku yang datang telat atau kamu yang datang lebih awal?" tanya Kistain dengan sisa tawanya.
Aku menggendikkan bahu dan memasang senyum geli. Aku tidak tahu kenapa itu begitu penting untuknya.
"Jadi kamu tidak mau menjawab?"
Aku bergumam pelan. Sengaja ingin membuatnya penasaran.
"Oke kalau begitu terserah." ucap Kistain pada Akhirnya.
Sepertinya Kistain merajuk. Karena alih-alih memandangku Kistain justru memilih untuk memesankanku kopi susu hangat saat pegawai kedai menghampiri.
Setelah dua kopi susu diantarkan, Aku mengeluarkan kotak yang kubawa tanpa sepengetahuan Kistain yang tengah memandang keluar jendela. Tangannya yang tidak dipakai menopang dagu mengetuk-ngetuk meja seolah tengah berpikir.
Dengan keberanianku saat itu aku menahan tangannya agar berhenti mengetuk meja, dan berhasil. Kistain mengalihkan pandangannya.
Aku meletakkan kotak tadi keatas meja, tepatnya dihadapan Kistain agar membuatnya menoleh. Diluar dugaan Kistain langsung menatap intens jauh kedalam isi kotak yang tampak dari luar karena transparan.
Matanya melebar antusias dan bibirnya melengkungkan senyum.
"Waaah! kapan bikinnya?" tanya Kistain sambil mengambil kotak itu dan membukanya cukup tergesa.
Untuk sesaat aku terlupakan.
'Tadi malam.' aku menyodorkan kertas berisi jawaban.
"Hem... begitu. Pasti rasanya enak. Aku mau coba!" ujar Kistain.
Tangannya sudah siap untuk mengambil potongan buah sebelum aku memukul punggung tangannya dan membuatnya meringis.
"Ssss... Sakit! tanganmu itu Nis..."
Aku memelototinya sambil menaikkan dagu menantang, "Apa?"
Kistain memajukan bibirnya sambil mengelus-elus punggung tangannya. Sambil menunggu aku mengambil sendok, Kistain meminum kopi yang dipesan tanpa minat.
Aku mengeluarkan dua sendok yang sudah aku siapkan dari rumah. Tentu saja karena aku tahu Kistain tidak mungkin membawa sendok sendiri dan aku tidak mau jika harus meminta sendok pada pegawai kedai.
"Enak sekali... buahnya segar. Aku suka sekali. Oh iya, kamu juga harus makan."
Kistain langsung menyuapiku tanpa memberiku waktu untuk menolak. Kini potongan buah segar bercampur mayonaise, keju dan susu itu sudah memenuhi mulutku.
Waktu terus berjalan tanpa meminta persetujuan, kini salad buah yang kubawa tinggal setengah. Kami menikmatinya sambil berbincang-bincang ringan, yah... seperti yang kalian tahu Kistain-lah yang mendominasi pembicaraan.
Setelah lari pagi saat itu, Kistain membelikanku buah dan sayur untuk kumakan secara rutin. Aku yang tidak terlalu suka buah dan sayur mengusulkan ide untuk menyantap salad buah bersama-sama di kedai kopi langganan Kistain. Usulku diterima dan kami berjanji untuk bertemu esok harinya.
Saat itu aku dengan setia mendengarkan celotehan Kistain tentang anak ayam Pak RT yang sudah dirinya ceritakan beberapa kali. Tapi anehnya aku tidak pernah merasa bosan dan tetap tertawa dengan selingan lolucon yang Kistain lontarkan.
Tidak terasa salad yang kubuat sudah habis tak bersisa. Kistain terlihat sangat menikmatinya sekali sampai bertanya apa aku membawa kotak kedua. Aku hanya tertawa dan geleng-geleng kepala mendengarnya.
Setelah tawa kami reda, Kistain mulai bertanya-tanya tentang diriku. Kistain mulai bertanya hal-hal sederhana seperti ; apa makanan kesukaanku, apa hobiku, hewan apa yang paling kusuka dan kubenci. Sampai bertanya ke hal yang lebih mendalam seperti : apa kamu keberatan kalau aku ingin lebih mengenalmu?
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Pipiku memanas dan Kistain melihatnya. Kistain ikut tersenyum sampai menunjukkan lesung pipinya yang dalam.
Tentu saja aku tidak menjawab dengan ucapan, karena rasanya susah sekali untuk berkata-kata disaat seperti itu. Saking senangnya aku hanya bisa tersenyum dan tersenyum.
Ah... aku seperti orang gila saat itu. Dan Kistain menganggap itu sebagai jawaban 'iya.'
Mungkin saat itu Kistain berpikir dialah orang pertama yang ingin mengenalku, namun jauh dari hari dimana kita bertemu saat itu, akulah yang pertama kali ingin mengenalnya.
Dia bicara tentang aku yang memiliki selera sama dengannya dalam memilih tempat duduk. Dia tidak menyangka jika tempat yang kupilih adalah tempatnya duduk di saat datang ke kedai. Dan ternyata benar dugaanku, Kistain selalu minta pada pegawai kedai untuk mengosongkan tempat yang satu itu untuk dirinya. Kistain juga bahkan mengenalkanku pada pegawai kedai yang ternyata sudah membantunya mendapatkan tempat itu.
Namanya Anto Cahyadi. Kami saling berkenalan, dan dari yang kulihat saat itu Anto bukanlah penduduk asli. Dia bilang dirinya perantau dari pulau Kalimantan. Pantas saja logatnya sedikit berbeda dengan logat asli penduduk sini yang mayoritas dari suku Sunda.
"Nisti, aku hampir lupa. Aku juga punya sesuatu buat kamu." ujar Kistain bersemangat.
Dari awal Kistain masuk aku tidak melihatnya membawa apa-apa, tapi tiba-tiba saja sekarang tas kain berwarna merah sudah ada didekat sepatunya.
Apa aku kurang memperhatikan?
"Ini dia." Kistain menyodorkannya ke hadapanku.
Aku menatapnya heran.
"Ini ambil. Aku susah-susah sembunyikan jambu ini dibalik kaos waktu itu. Sekarang sudah matang total, jadi kita bisa makan ini bareng-bareng."
Aku segera mengambil kertas dan pena, 'Dapat dari mana?'
"Dari pohon jambu yang waktu itu." jawabnya dengan cengiran tak berdosa.
'Tapi gimana ambilnya? kok bisa?'
"Bisa dong! kan aku sembunyikan dibalik kaos, pas aku masukin ke kaos aku menutup kaosnya dengan topi, jadi tidak terlihat menonjol. Hahaha!" Kistain tertawa kencang sampai membuat pengunjung lainnya melirik kami.
Ternyata aku baru ingat dan sadar sesuatu. Kistain yang membuka topi, Kistain yang memeluk topinya dengan erat dan tatapan matanya yang selalu memandang sandal tak lain dan tak bukan adalah untuk menyembunyikan jambu yang dirinya ambil.
Aku tertawa saat menyadarinya.
Kistain yang mendengarku tertawa akhirnya tertawa lagi, terus saja sampai kami kelelahan tertawa.
"Eh tapi kamu tenang saja, aku sudah memberi Pak RT jambu air milik kakek, kok. Jadi impas. Yah meski Pak RT tahunya aku memberi jambu itu untuk permintaan maaf, sih. Hahaha!"
Untuk hari penuh tawa dan cerita hari itu, aku mengerti. Hati tidak butuh alasan untuk jatuh.
Kistain, kini tempat itu tak lagi sama. Ayunan mulai rapuh dimakan usia. Tapi pohon semakin tumbuh kian lebat. Seakan berkata dalam sunyi, kenangan bersamamu akan selalu tersimpan bersamanya.
...
Waktu itu hari Selasa pukul sembilan. Pekerjaan rumah sedang banyak-banyaknya. Menumpuk, tercecer, dimana-mana ada, padahal ini bukan hari Minggu. Oh iya, apa aku pernah bilang kalau hari Minggu itu hari bersih-bersih satu rumah? Sepertinya aku baru saja bilang.
"Nisti! jemur selimut ini dulu." Yah, padahal membereskan baju saja belum selesai.
Aku bergegas menghampiri Ibu setelah sedikit menyimpan kembali baju yang sudah ku lipat sebagian. Ibu menyerahkan selimut yang siap untuk dijemur dalam ember begitu aku sampai.
Aku mengangkat ember berisi selimut itu hati-hati, takut jika aku salah langkah sedikit saja semuanya akan jatuh. Dan tentu saja jika semua terjadi, itu akan menambah daftar pekerjaanku. Atau mungkin yang lebih parahnya lagi Ibu dan aku akan terpeleset, kita berdua jatuh dan kaki kita terkilir. Lalu Ibu tidak bisa masak dan aku tidak bisa hilir mudik di dapur untuk mengambil makanan lagi.
Matahari di pagi hari memang belum terasa panas, tapi tetap saja saat membenarkan selimut sambil mendongak, sinarnya sudah bisa membuatku menyipitkan mata. Selesai dengan tugas menjemur selimut, aku pun bergegas untuk melakukan tugas yang lain. Tapi tidak jadi karena rasa malas terlanjut menyerang.
Kepalaku melihat kiri, kanan, luar dan dalam rumah. Memastikan Ibu sibuk di dapur atau dimana saja. Aku ingin curi-curi kesempatan untuk tidur lebih lama lagi atau mungkin hanya sekedar bermalas-malasan.
Ayolah, ini bukan hari Minggu!
Ayunan yang sengaja Ibu buat untukku menjadi pilihanku untuk bersantai. Aku mengayunkan kaki, mendorong tubuh agar ayunan itu bergerak. Sambil mendongak menatap ke arah daun yang subur, aku jadi teringat bagaimana Ibu waktu itu berjuang untuk naik ke atas pohon demi mengikatkan tambang ayunan ke batang pohon yang paling kuat. Waktu itu aku masih kelas empat SD.
Waktu itu aku sangat suka sekali bermain ayunan. Rasanya seperti terbang dan melayang. Hampir setiap hari aku pergi ke taman dekat rumah hanya untuk bermain ayunan disana. Saking seringnya aku kesana Ibu sampai harus menyusulku untuk menyuruh pulang.
Kalau sudah begitu, Ibu pasti memberiku ceramah tentang pentingnya mengingat waktu. Dan mungkin karena itu juga Ibu jadi memilih untuk membuatkanku ayunan di halaman belakang rumah. Agar aku betah dirumah dan Ibu tidak usah lagi setiap hari menjemputku yang lupa waktu di taman.
Lama-lama laju ayunan melambat, aku tidak lagi mendorong ayunan dengan kaki. Dalam hati aku takut, bajuku belum selesai aku bereskan. Tapi jika aku masuk dan bertemu dengan Ibu, pasti dia tidak akan membiarkanku bersantai. Jadi aku harus bersembunyi di suatu ruangan. Ah tidak, sepertinya aku akan tetap diam disini.
Bosan. Aku butuh sesuatu untuk dimainkan. Aku merogoh saku celana, dan menemukan fakta bahwa aku lupa membawa ponsel. Aku menimang dalam hati antara masuk untuk mengambil ponsel atau tidak. Dan pilihanku adalah masuk dan mengambil ponsel, setelah itu aku akan berjalan tanpa suara dan kembali ke halaman dengan selamat.
Aku mengangkat kaki dengan hati-hati, setiap derajat langkahnya aku perhitungkan. Baru saja menginjakkan kaki di lantai, langkah kakiku terhenti lagi. Mataku awas memperhatikan sekitar. Ternyata Ibu sedang di dapur tepatnya didepan kulkas sambil memilih-milih bahan makanan untuk menu hari ini. Aman, tidak ada tanda-tanda Ibu akan menoleh.
Dengan ringan kaki ini berlari tanpa suara menuju kamar, mengambil ponsel yang tergeletak diatas kasur lalu segera kembali ke halaman.
Cepat... cepat... cepat... Aku harus cepat.
Oh ya ampun hanya karena malas membersihkan kamar dan rumah aku sampai berbuat seperti ini. Karena ini hari Selasa.
Saat aku melewati dapur Ibu tengah memulai masaknya. Dia memotong-motong daging dan sayur dengan telaten. Membuatku membayangkan betapa lezatnya masakan Ibu setelah siap.
"Hoy! Kenapa jalannya jadi mirip keong sih?"
Aku menoleh dengan cepat, tubuhku refleks melompat saking kagetnya, jantungku berdetak kencang dan mataku melotot pada objek yang ada di atas benteng yang menjadi pemisah halaman belakang rumahku dengan jalan di gang. Dia menyebalkan! Untung aku tidak membanting ponselku. Dan tentu saja aku lebih takut kalau Ibu mendengar. Enak saja, setelah susah payah uji nyali aku tidak akan membiarkan semuanya gagal.
"Hehehe... kaget ya?" laki-laki itu menunjukkan giginya yang bersih dan rapi tanpa dosa.
Aku mengabaikannya, memilih jalan terus menuju ayunan. Dia mengikuti dengan berjalan di atas benteng sambil merentangkan tangan. Sesekali Kistain membenarkan letak topinya agar kembali nyaman.
Sekarang Kistain sedang menggapai batang pohon besar yang melewati benteng kemudian menjadikannya tumpuan saat akan berpindah dari atas benteng ke atas pohon. Aku geleng-geleng kepala saat melihatnya.
"Cemberut terus. Neng?" katanya saat sudah mantap memilih posisi duduk.
Aku yang tengah mengayun ayunan mau tak mau mendongak ke atas, menoleh ke arahnya yang sekarang berada tepat diatas kepalaku. Kistain dengan setelan kaos dan celana selututnya menatapku sambil tersenyum jahil dari atas sana. Aku pun membalas senyumnya kemudian mengetikkan sesuatu di catatan ponsel.
'Kamu ngapain sih? Habis dari mana?' tulisku kemudian memperlihatkannya pada Kistain.
"Aku sedang kabur dari Kakek, dia nyuruh ngasih makan Ayam. Terus tadi juga habis dari rumah Pak RT sebentar." Katanya. Lagi-lagi sambil tersenyum.
'Kamu takut ayam?'
"Mana ada! Aku cuma malas saja, kemarin aku ngajak main anaknya, eh taunya si induk Ayam malah mengejarku tanpa ampun." Keluh Kistain dengan raut wajah yang terlihat kesal.
'Terus ngapain ke rumah Pak RT?'
"Biasa, ngabsen. Siapa tahu dia ada rencana mau ijin atau sakit. Biar gak di alfa-in." Kistain kemudian tertawa.
Aku juga.
"Nistiii..." suara Ibu mengejutkanku dan Kistain.
Aku segera berdiri dari duduk santaiku lalu buru-buru memegang selimut di jemuran. Pura-pura merapihkan selimut yang dari tadi anteng di tempatnya.
Sedangkan Kistain, dia tergesa-gesa untuk naik ke bagian paling atas pohon. Tangan dan kakinya begitu lihai sampai membuatku tidak bisa membedakannya dengan kera andai dirinya tidak tersenyum manis.
"Ngapain masih disana? Kalau itu sudah selesai bantu Ibu pergi ke warung buat beli bawang goreng. Sup nya sudah mau matang."
Aku mengangguk cepat, lalu membalik tubuh Ibu agar tidak melihat ke arah halaman terutama pohon. Awalnya Ibu protes karena aku sedikit mendorongnya masuk, tapi akhirnya Ibu masuk juga setelah aku memberi isyarat masakannya gosong.
Sebelum benar-benar masuk, aku kembali melihat ke arah pohon. Melihat Kistain sedang garuk-garuk dan menepuk-nepuk badannya karena semut. Mata kami bertemu sebentar, dan setelah itu wajahnya kembali tegang dengan mata melotot dan bibir sedikit terbuka. Tanpa sadar sendalnya pun terjatuh.
Aku mengikuti arah pandang Kistain, dan raut wajahku tidak beda jauh dengan Kistain. Dibelakangku, Ibu tengah berdiri sambil memasang wajah menyelidik.
"Itu sendal siapa? Kok ada disitu? tanya Ibu heran."
Aku bernapas lega, itu artinya Ibu tidak lihat Kistain. Aku menaikkan bahu dan menurunkannya cepat sambil berjalan tergesa melewati Ibu. Melaksanakan perintahnya untuk membeli bawang goreng ke warung.
Aku menulis kisah ini berdasarkan buku harian yang kusimpan sejak lama. Membagikan kisahku pada kamu yang mungkin bisa menyampaikan satu patah kata untuknya, lewat blog yang sedang kalian baca saat ini.
Sebelum memulai kisahku, aku ingin memberi tahu sesuatu padamu. Tentang sebuah kalimat sederhana yang tidak pernah sempat aku ucapkan padanya diawal pertemuan. Kata yang justru sekarang sangat ingin aku ucapkan namun tak bisa. Karena dari itu, tolong sampaikan padanya : "Kistain, senang bertemu denganmu lagi."
~~~
Pagi itu setelah hujan rintik-rintik yang memenuhi jendela kamar reda, aku bergegas keluar rumah sambil mengencangkan tali dipakaian hangatku. Buku dan pensil seadanya sudah kusiapkan bersamaan dengan earphone didalam tas. Paru-paruku cukup cepat beradaptasi dengan suhu yang lebih dingin dari sebelumnya saat aku melangkah pergi dari rumah.
Sebelum pergi, tak lupa aku menempelkan catatan kecil pada pintu kulkas guna memberitahu Ibu bahwa aku akan pergi sebentar. Langkah kaki yang membawa pada bangku taman membuatku memandang langit. Hujan sudah reda. Tanpa ragu aku duduk diatas bangku taman. Dan mulai mengeluarkan semua yang sebelumnya kumasukan kedalam tas.
Nada musik yang merdu itu bisa kutebak dari lirik yang kubaca. Merdu versiku adalah lirik yang indah, jika liriknya indah aku pasti akan menyebutnya merdu. Sedikit berbeda dengan kamu yang bisa mendengarnya langsung. Tapi ada satu hal yang tidak bisa aku tebak, yaitu keberadaan orang yang kini tengah membaca buku di kedai kopi. Sudah dua minggu aku tidak melihatnya, keberadaannya sulit ditebak. Terkadang aku melihatnya setiap minggu, kadang juga tidak. Tapi yang pasti, dia selalu memilih tempat duduk paling belakang didekat jendela. Ditemani kepulan hangat yang keluar dari cangkir putih.
Namanya Taman Kopi. Tempat yang selalu aku kunjungi setiap Sabtu jam sembilan pagi. Orang bilang alasan taman ini diberi nama Taman Kopi karena selain tamannya yang dekat kedai kopi juga karena filosofi dari kopi yang katanya selalu membuat nagih bagi pencintanya. Disinilah aku biasanya hanyut dalam dunia sendiri. Hanya ada aku dan gambarku. Juga dia yang aku lihat dari sudut Taman Kopi.
Cangkir kopi adalah objek terakhir yang aku gambar sebelum memutuskan untuk pulang. Untuk potongan ingatan yang hanya dimengerti olehku, aku hanya menggambar satu objek untuk setiap hal yang ingin aku kenang alih-alih mengambil gambarnya dengan kamera. Tapi khusus untuk dia, aku tidak pernah menggambar wajah. Aku sudah mengingat dan akan selalu berusaha untuk mengingatnya. Seseorang yang membuatku terbawa pada rasa sehangat kopi ditengah hujan.
Semuanya jatuh begitu saja, termasuk objek yang baru saja kugambar. Dengan cepat aku membereskan barang-barangku yang terjatuh begitu saja. Seseorang dihadapanku ikut berupaya dalam membereskan kekacauan yang baru saja terjadi. Aku tidak perlu bisa mendengar untuk tahu orang dihadapanku sedang mengatakan kata maaf berulang-ulang. Aku hanya perlu seseorang untuk menyadarkanku dari mimpi jika benar ini mimpi, lalu memberitahukan padaku untuk tidak terlihat bodoh dihadapan orang yang sudah menabrakku.
Aku membenarkan letak kacamataku untuk menutupi gugup. Pemilik cangkir yang baru saja aku gambar kini berdiri tepat dihadapanku. Aku terbawa lagi oleh perasaan aneh. Aku tersenyum kikuk sambil mengisyaratkan dengan tangan bahwa aku tidak apa-apa. Mata itu menatapku dalam tiga detik, lalu menyunggingkan senyum sekali lagi sebelum menepuk pundak kananku lantas berlalu.
Setelah pertemuanku dengannya hari itu, aku tidak lagi melihatnya di kedai kopi. Kursi yang jarang diminati orang itu dibiarkan kosong seakan hanya menerima dirinya. Dan setelahnya hari berlalu dengan kertasku yang tidak tercoret pensil sedikitpun.
Tidak terasa hari sudah sampai di Sabtu lagi. Aku menjalani rutinitas seperti sebelumnya. Memperhatikan orang hilir mudik sambil membaca lirik seperti biasanya. Aku tidak peduli jika orang lain akan bosan melihatku, kalau bisa aku sudah dijadikan maskot Taman Kopi.
Kebanyakan dari mereka adalah keluarga yang tengah berlibur. Ada yang berolahraga bersama, makan bersama, bahkan berdebat bersama ketika menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan lebih dulu. Ada juga pasangan muda-mudi dan anak-anak yang menghabiskan waktunya disini. Mereka semua sama, sama-sama tidak sendiri dan memiliki kegiatan. Tentu saja bukan membaca lirik seperti yang sedang aku lakukan.
Aku beranjak dari duduk, menepuk pelan celana yang kusut karena terlalu lama duduk. Kali ini aku tidak mengeluarkan pensil, untuk itu aku hanya perlu memasukan ponsel kedalam saku dengan earphone yang masih setia menggantung di telingaku.
Waktu itu sambil berjalan aku berhayal saat senja yang mulai redup setelah hujan reda, seperti mereka aku menghabiskan waktu bersama keluarga yang utuh. Bercakap-cakap riang, membahas banyak hal, sampai terlelap lagi dipangkuan Ayah. Dan lagi-lagi semua terasa menyalahkanku.
Aku baru saja akan keluar taman, saat sebuah tangan mengulurkan teh hangat dalam cup manis berwarna putih dengan aksen biru langit. Dia tersenyum sampai rasanya aku sulit mencerna keadaan macam apa yang sedang terjadi hari itu. Aku terkejut, tapi rasa senangku lebih mendominasi. Dia berkata dan aku memperhatikan, ternyata ingin aku menerima teh kemudian menunjuk kursi kosong disampingku. Rasanya hangat dan juga... manis.
Aku mengeluarkan pensil dan buku yang selalu aku bawa, aku menuliskan terima kasihku untuk teh yang dibawanya. Dia hanya mengangguk lalu menatap lurus kedepan. Membuatku hanya bisa melihatnya dari samping.
Apa aku sudah bilang padamu bahwa aku tidak menggunakan bantuan alat dengar?
Biasanya aku selalu menyimpannya, aku hanya ingin sama seperti kamu. Tapi pada hari itu, saat dia menghampiri dengan cup teh hangat aku ingin sekali memakainya.
Dia menoleh setelah lima menit berlalu tanpa kata. Aku sedang menyentuh alat dengar ditelingaku dengan tak nyaman saat dia menoleh. Aku ingin mendengar suaranya saat itu. Tapi butuh waktu lebih dari lima menit untuk mendengarnya bicara.
"Tidak usah dipakai kalau tidak nyaman. Oh ya, aku Kistain Mahendra. Maaf untuk yang waktu itu."
Namanya Kistain.
"Mumpung masih hangat, cepat diminum." Katanya sambil tersenyum
Anehnya tanpa bertanya apapun aku langsung meminumnya. Dia benar, memang sedang hangat-hangatnya.
Ingin sekali rasanya aku bertanya kemana saja belakangan ini, tapi urung. Saat itu aku merasa tidak berhak bertanya apapun yang terlalu detail seperti itu. Bagaimanapun aku dan dia hanya orang asing.
Saat itu lamunanku sempat terhenti karena obrolan ringan yang Kistain mulai. Dia menceritakan sedikit tentang kesehariannya dan rasa jenuh menunggu tahun depan. Pembicaraan itu membawaku sedikit tahu lebih tentangnya. Lelaki yang keberadaannya aku pertanyakan akhir-akhir ini.
Kistain bilang saat itu dia sedang berlibur, dia bilang hanya ingin mengisi waktu luangnya bersama sang Kakek yang tinggal di sekitar sini. Ternyata Kistain merupakan lulusan tahun kemarin. Jadi aku lebih muda satu tahun darinya, mengingat aku yang baru saja lulus tahun itu.
Sore itu saat angin menggerakan daun dan membuatnya lepas dari ranting, juga saat burung-burung berbondong mengantar kepergian matahari, aku menjadi pendengar paling setia lelaki itu.
Hai, salam kenal. Sebut saja aku Ki agar tidak terlalu panjang.
Seorang mahasiswi jurusan Sistem Informasi yang tidak mahir ngoding. Punya hobi yang standar : baca, nulis, nonton.
For business and inquiries : rizkifauziah099@gmail.com