Tampilkan postingan dengan label Penerbit Haru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbit Haru. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Agustus 2020

, ,

[BOOK REVIEW] You Are the Apple of My Eye by Giddens Ko || “Aku suka pada diriku yang menyukaimu saat itu hingga sekarang.”

 


Judul : You are The Apple of My Eye
Penulis : Giddens Ko Genre : Drama, Romance.
Tebal : 350 halaman
Kategori : Novel semi-biografi, Novel remaja.
Harga : Rp. 63.000



“Aku suka pada diriku yang menyukaimu saat itu hingga sekarang.”


SINOPSIS

Kau sangat kekanak-kanakan - Shen Jiayi

Sedikit pun kau tidak berubah, nenek yang keras kepala - Ke Jingteng


Semua berawal saat Ke Jingteng, seorang siswa pembuat onar, dipindahkan untuk duduk di depan Shen Jiayi, supaya gadis murid teladan itu bisa mengawasinya. Ke Jingteng merasa Shen Jiayi sangat membosankan seperti ibu-ibu, juga menyebalkan. Apalagi, gadis itu selalu suka menusuk punggungnya saat ia ingin tidur di kelas dengan pulpen hingga baju seragamnya jadi penuh bercak tinta. Namun, Ke Jingteng menyadari, kalau Shen Jiayi adalah seorang gadis yang sangat spesial untuknya. 


Karena masa mudaku, semua adalah tentangmu...



A/N

Hai readers, senang sekali akhirnya aku bisa menulis review novel lagi setelah satu bulan lebih tidak membuka blog karena kesibukan kuliah online ini, euh! Ah iya, sebelum review lebih jauh aku mau kasih tahu kalian kalau sekarang, aku sangat-sangat antusias membahas novel ini. Kenapa? 

Karena You are The Apple of My Eye adalah novel kesukaanku sepanjang masa! yang kemudian disusul oleh The Lunar Chronicles series tentunya, hahaha. 

Jadi, ada beberapa tahapan yang aku jalani sebelum akhirnya tuntas membaca novel You are The Apple of My Eye. Yang pertama, aku tahu kabar novel You are The Apple of My Eye dari google karena saat itu filmnya sedang digarap. Karena penasaran akhirnya aku pun mencari lebih jauh tentang You are The Apple of My Eye. Dan ternyata... ada novelnya! 

Ya, begitulah. Aku selalu antusias dengan novel ketimbang filmnya. Biasanya.

Tapi waktu itu aku masih sekolah, dan harga novel tentunya tidak murah untukku waktu itu yang uang tabungannya hanya cukup untuk beli pulsa saja. Jadi, singkat cerita aku memilih alternatif lain ; download film-nya.

Aku tidak menyesal, sungguh. Filmnya bagus, apalagi tema yang diangkat adalah kisah favoritku, love story. Tapi aku tidak akan review filmnya di sini, jadi aku cuma mau bilang kalau setelah menonton film-nya, aku langsung membayangkan pasti novelnya jauuuuh lebih bagus.

Dan pada akhirnya, aku membeli novel ini di tahun 2019. Tentunya bukan perjalanan yang singkat.



REVIEW

You Are the Apple of My Eye adalah novel Mandarin karangan Giddens Ko, yang pertama kali diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Penerbit Haru pada tahun 2014. Novel You are The Apple of My Eye menceritakan tentang laki-laki bernama Ke Jingteng yang menyukai gadis teladan di kelasnya bernama Shen Jiayi. 

You Are the Apple of My Eye adalah novel semi-biografi yang berkonsentrasi pada pengalaman cinta dan persahabatan Ke Jingteng sebagai peran utama. Sudut pandang yang digunakan dalam novel You are The Apple of My Eye adalah sudut pandang orang pertama, sehingga penyampaian narasi dan deskripsi yang disuguhkan terasa sangat nyata dan mudah dibayangkan.

Berbeda dengan film, You are The Apple of My Eye versi novel lebih kompleks dan rasanya lebih mendalam menurutku. Mungkin karena di film banyak sekali kisah yang dipotong bahkan dihilangkan, jadi saat membaca novel You are The Apple of My Eye terasa sekali perbedaannya. Sangat-sangat banyak, saking banyaknya aku sampai merasa membaca kisah baru.

Di novel You are The Apple of My Eye semuanya diceritakan secara runtut, begitu juga dengan kisah Ke Jingteng dengan Li Xiaohua yang saat itu terjalin sebelum hubungan Ke Jingteng bersama dengan Shen Jiayi. Selain kisah cinta, novel ini juga menyuguhkan cerita persahabatan yang sangat seru dan kocak tentunya.

Ada pun teman-teman Ke Jingteng yang aku ingat diantaranya ; Tsao Kuo Sheng,  Liao Ying Hung, Xu Bochun, dan Hu Chia Wei. Diantara semuanya, kalau tidak salah ingat nama, hanya Xu Bochun yang tidak mengejar Shen Jiayi dan menjadi saingan Ke Jingteng. Maka dari itu Ke Jingteng lebih dekat dengan Xu Bochun ketimbang dengan yang lain. 

Yoko punya Bibi Lung, aku punya Shen Jiayi. Yoko punya Dragon Flower, aku punya xiaoerduo. Yoko punya elang, aku punya Xu Bochun. Semua ini memang sudah ditakdirkan! 

Penceritaan karakter sampingan seperti sahabat-sahabat Ke Jingteng yang diceritakan secara detail mampu memberi nilai tambah untuk novel You are The Apple of My Eye. Bayangkan, penulis berhasil membuat semua karakter yang ada di novel You are The Apple of My Eye terasa sangat-sangat hidup!

Banyak sekali tingkah mereka yang membuat aku susah lupa dengan novel You are The Apple of My Eye, selain karena kisahnya yang menarik untuk diikuti, cara penulis mengemasnya juga tidak kalah bagus. Mulai dari gaya bahasa yang dekat dengan pembaca, penjabaran yang jelas dan pemikiran-pemikiran yang keren juga disisipkan di novel You are The Apple of My Eye

Selama membaca novel You are The Apple of My Eye, sering kali aku menandai kata-kata atau pemikiran-pemikiran Ke Jingteng yang 'selalu benar' , kritis dan penuh semangat. Seakan yang diucapkannya adalah perwakilan dari perasaanku saat di usia-usia mereka. Semua terasa benar dan apa adanya. Intinya penulis pandai sekali mengolah kata-katanya. AKU SUKAAA!

Secara teknis menulis, Giddens Ko memang tidak usah diragukan lagi. Maka dari itu, aku akan lebih banyak membahas tentang perasaanku saja saat membaca novel You are The Apple of My Eye ya, haha. Fyi, aku sering tertawa karena tingkah mereka yang aneh-aneh untuk mencuri perhatian Shen Jiayi. Banyak tingkah, banyak cara dan banyak kekonyolan. Ada yang menggunakan puisi, cara bicara yang intelek, sampai secara terang-terangan tanpa strategi. Tapi kurasa, dari mereka semua cara yang paling ampuh adalah caranya Ke Jingteng. 

Menurutku bukan karena dia tokoh utama, tapi karena Ke Jingteng berbeda. Disaat semua berlomba membuat Shen Jiayi terkesan, Ke Jingteng justru membuat Shen Jiayi merasa tertantang dan acapkali merasa kesal dengan tingkahnya. Ke Jingteng sadar, Shen Jiayi akan merasa risih jika didekati dengan cara seperti memberi surat atau pun bunga, karena Shen Jiayi adalah gadis pintar dewasa yang menyukai tantangan. Maka dari itu dirinya seolah mencari mati dengan mengajak Shen Jiayi bersaing dengannya dalam beberapa mata pelajaran.

Dari novel You are The Apple of My Eye aku mengakui sekaligus baru menemukan kebenaran istilah 'pacaran untuk penyemangat belajar.' 

Meski awalnya Ke Jingteng merasa terganggu dengan paksaan belajar dari Shen Jiayi, tapi akhirnya Ke Jingteng menyadari bahwa dirinya sebenarnya bisa jika ada kemauan. 

Begitu juga kita, readers :) 

Apalagi saat dirinya mulai dekat dengan Li Xiaohua yang selalu menanyakan soal-soal sulit, semangat belajar Ke Jingteng semakin bertambah karena merasa malu jika tidak bisa menjawab.

Tapi entah kenapa aku merasa hubungan mereka berat sebelah jika dibandingkan dengan Shen Jiayi. Ibaratnya jika dengan Shen Jiayi, Ke Jingteng tidak hanya memberi tapi juga diberi. Saling menguntungkan sekaligus saling bersaing. Sampai pada akhirnya belajar seakan menjadi kebutuhan pokok keduanya untuk bisa melengkapi satu sama lain.

Ke Jingteng adalah pengamat yang baik, hati-hati sekaligus romantis. Selain belajar, Ke Jingteng juga punya cara lain yang tak kalah ampuh, salah satunya menemani Shen Jiayi yang selalu memilih tinggal di sekolah sampai malam hari untuk belajar. 

“Pulang bersama”, entah muncul di kehidupan mana pun, kedua kata ini memiliki arti yang romantis. “Bersama” mewakili hal  yang tidak bisa dilakukan sendiri, “pulang” berarti kembali ke kehangatan.

Manis, sederhana, polos dan membuat susah lupa. Itulah kisah dalam novel You are The Apple of My Eye.

Mengingat novel You Are the Apple of My Eye ini memiliki alur maju-mundur, jadi selain kisah remaja mereka, penulis juga acapkali menceritakan tentang Ke Jingteng di masa kini. Mulai dari kisahnya yang menulis ceritanya bersama Shen Jiayi, sampai menyampaikan perasaan yang selama ini selalu untuk Shen Jiayi.

Delapan tahun menyukai membuat kami memiliki hubungan yang dalam.
Mungkin tidak sedekat pasangan, tetapi lebih dekat dari seorang teman.
Itu adalah belenggu. 

Semakin menuju bab akhir, konflik mulai berdatangan. Salah satunya mereka yang harus menjalani hubungan jarak jauh karena beda Universitas dan komunikasi yang kadang terkendala. Tidak sering bertemu dan membagi kisah membuat keduanya lebih mudah mengalami salah paham satu sama lain, sebelum akhirnya mereka harus mengambil keputusan besar.

Bisa dibilang, aku hanya pembaca. Tapi saat membaca bagaimana kisah mereka yang putus nyambung, perasaan Shen Jiayi yang tidak tersampaikan dengan benar, dan Ke Jingteng yang ragu-ragu membuat aku kesal sekaligus ikut patah hati. Pesannya tersampaikan dengan sangat baik.

Kurasa aku sudah jatuh cinta dengan novel You are The Apple of My Eye sampai ikut tertawa dan menangis bersama para tokoh :)

Meskipun pada akhirnya cinta itu tidak membuahkan hasil, tetapi selama pernah berkembang, warnanya tetap cerah. 

Dan untuk kekurangan, aku hanya merasa terganggu dengan beberapa hal kecil yang menurutku lebih pada pendapat pribadi. Seperti yang sudah aku bilang di atas, aku sudah lebih dulu menonton versi film, jadi saat aku membaca You are The Apple of My Eye versi novel aku terkadang membayangkan aktor dan artis di dalam film, membuaku merasa sedang membaca fan-fiction. 

Jujur, biasanya aku paling tidak suka membaca cerita yang sudah divisualisasikan oleh orang lain sebelumnya, karena aku lebih suka menggunakan visual yang aku bayangkan sendiri ketimbang ditentukan. Tapi karena terlanjur suka, jadi aku mencoba untuk menikmatinya.

Oh iya, ada satu lagi. Aku kurang suka dengan kenyataan bahwa Shen Jiayi juga dibuat pernah menjalin hubungan dengan sahabat-sahabat Ke Jingteng yang lain. Rasanya sedikit tidak rela saja :P

Akhir kata, terima kasih untuk penulis juga Penerbit Haru dan tim yang sudah mengemas novel You are The Apple of My Eye dengan sangat apik.


Meski kurasa tidak mungkin, tapi aku berharap bisa membaca sudut pandang Shen Jiayi.


Sampai jumpa...



 


Continue reading [BOOK REVIEW] You Are the Apple of My Eye by Giddens Ko || “Aku suka pada diriku yang menyukaimu saat itu hingga sekarang.”

Jumat, 12 Juni 2020

,

[Book Review] When the Star Falls by Andry Setiawan || Bintang terjatuh karena ia mengejar orang yang dicintainya.

    

Judul : When the Star Falls
Penulis : Andry Setiawan
Penerbit : Penerbit Haru
Halaman : 204
Terbit : Oktober 2015


"Aku rasa, aku bisa bertahan untuk mendengarkan kelanjutan kisahku."

Hal. 48



Blurb

Tahu tidak, bintang itu cahaya masa lalu?
Bintang itu, adalah orang yang mati yang meninggalkan seseorang yang ia cintai di bumi.

Lynn, boleh kan aku mengingatkanmu sekali lagi tentang kita?
Tentang bagaimana kita bertemu.
Juga tentang bagaimana kita bertengkar dan berbaikan.
Lalu tentang ciuman pertama kita, dan juga tentang perjalanan kita selama ini.

Aku hanya berharap, besok kau tidak melupakannya lagi.
Karena itu, aku tulis semuanya di buku ini.
Agar saat kau lupa, kau bisa membukanya lagi dan membacanya.
Tentang kita.

Sampai salah satu dari kita menjadi bintang.
Sampai bintang itu jatuh dan menjemput salah satunya.

Bintang terjatuh karena ia mengejar orang yang dicintainya, yang sudah menyusul dirinya.


Sinopsis

Novel When the Star Falls menceritakan tentang Sam, laki-laki berumur 21 tahun yang tinggal di Jawa Timur. Sam diceritakan sebagai pemuda yang selalu mengasihani diri sendiri dan senang berada dalam keraguan. Selain itu Sam juga mempunyai pacar bernama Lynn yang menderita tumor otak. Setelah menjalani operasi, Lynn terbangun dalam kondisi lupa ingatan sebagian atau selective amnesia. Dan salah satu yang dilupakan oleh Lynn adalah Sam dan kenangan bersamanya. Namun meskipun begitu Sam tidak menyerah untuk membantu Lynn dalam mengingat semuanya. Sam menceritakan semua yang terjadi selama ini kepada Lynn dengan suka rela. Semua usaha Sam berhasil, karena Lynn jatuh cinta kembali kepada Sam.


Review

Sebelumnya aku mau teriak dulu : Aaaaaakk!

Lalu memperingatkan kalian bahwa : Novel ini mengandung bombay!!! 

Sedikit cerita, awalnya aku tidak tahu novel When the Star Falls sama sekali dan sekalinya tahu pun tidak dari siapa-siapa. Aku murni menemukannya sendiri di toko buku online penerbit Haru. Dan aku beruntung. 

Aku menulis review When the Star Falls dengan cepat. Serius, aku tidak ingin rasa ini terlanjur hilang. Rasanya... melekat erat. Aku suka novel  When the Star Falls, dan sebelumnya aku sudah bilang di postingan menuju tuntas When the Star Falls alasannya.

Aku tertarik beli When the Star Falls karena kata-kata di bagian blurb-nya manis dan soft, sekaligus sedih. Banyak sekali harapan disetiap kalimat-kalimat manis yang ditulis. Seperti paradoks. Bagaimana mengemas ungkapan-ungkapan menyedihkan menjadi untaian kata yang indah adalah salah satu keunggulan novel When the Star Falls.

Novel When the Star Falls ini ringan, mudah dipahami oleh siapa saja dan tentunya romantis disini cukup aman.

Aman?

Iya, aman. Novel When the Star Falls memperlihatkan bahwa berbagi kasih sayang tidak melulu dengan menunjukkan kemesraan. Jadi, buat kalian yang mungkin belum boleh cinta-cintaan bisa membaca When the Star Falls dengan tenang. Tapi tolong sediakan tissue.

Novel When the Star Falls mengambil sudut pandang pertama, yaitu Sam. Sejauh aku membaca novel When the Star Falls, jujur aku kurang suka dengan sikap Sam. Hem... bukan karena membencinya atau dia yang punya peran antogonis, bukan! Melainkan karena sikapnya yang selalu mengasihani diri sendiri. 

Kalau menonton film dengan tokoh pria seperti ini sih aku pernah, tapi kalau untuk membaca, ini yang pertama kali. Dan yah, membaca lebih gereget tentunya. Semakin aku masuk ke dalam ceritanya, aku semakin gemas dan ingin menyadarkan Sam bahwa yang selama ini dirinya pikirkan itu terlalu berlebihan. Sebenarnya kamu yang membuat semua kesedihan kamu sendiri, karena pada nyatanya Lynn baik-baik saja. Kurang lebih itu yang akan aku katakan jika bertemu dengan Sam.

Oke, aku mulai merasa seperti Billy sekarang.

Oh iya, Lynn. Semangat dan sikapnya yang ceria ternyata bisa membuat aku senyum-senyum sendiri saat membaca tingkahnya. Dan aku merasa semua ini tidak adil karena kamu harus mengalami semua ini. 

Untuk Leon, tolong berhenti membuat Sam menjadi menyalahkan dirinya. Kamu tidak akan menjadi keren dengan cara seperti itu :P

Argh banyak yang ingin aku proteskan, kenapa semua harus terjadi pada Lynn? Kenapa Sam harus begitu? Nanti kalau Lynn diambil Billy gimana?

Sedih.

Tapi tolong jangan berpikiran negatif dulu. Protesku itu karena aku terlanjur menyukai mereka dan ingin mereka bahagia. Hahaha!

Secara menyeluruh, novel When the Star Falls bagus karena soft dan menyentuh, maka dari itu aku rekomendasikan novel When the Star Falls buat kalian yang suka dengan novel sick-lit yang ringan. Gaya penulis dalam When the Star Falls pun tidak buat alisku mengerut aneh apalagi sampai membuat tidak jadi untuk baca sampai akhir, aku suka gaya penulisannya. Apalagi dengan gaya menulis yang seakan-akan menjadikan pembaca itu Lynn, berhasil membuat karakternya terasa begitu hidup. 

Tidak ada konflik yang dahsyat apalagi membuat gereget sampai mau gigit novelnya di sini, hanya ada konflik ringan antara Sam dan teman-temannya dan tentu saja konflik batin Sam dengan dirinya sendiri. 

Sebenarnya, entah kenapa saat aku membaca When the Star Falls, aku malah merasa sedang menonton anime Shigatsu wa kimi no uso. Apalagi Sam yang menurutku mirip dengan Arima Kousei hahaha. Tapi Sam tetaplah Sam. Itu hanya ungkapanku tentang apa yang aku bayangkan untuk cast Sam. 

Oh iya, untuk ending, terima kasih karena sudah menusuk hatiku dengan begitu dalamnya. Aku sampai harus membuka halaman-halaman sebelumnya untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Yah meski aku sedikit curiga di bab satu sebelum tamat, tapi aku tidak menyangka bahwa endingnya dibuat tidak biasa. Dan aku rasa buku ini bukan tentang sudut pandang Sam saja, melainkan juga sudut pandang Billy.

Namun ada kekurangan yang ingin aku sampaikan di sini. Tentang aku yang tidak bisa masuk ke dalam dunia mereka. Maksudku, aku tidak mendapat penjabaran detail tentang tempat dan beberapa teman Sam. Contoh, Sam hanya menceritakan tentang tempat ini, tempat itu, tanpa memberi tahu kondisinya seperti apa. Dan meskipun ada itu sangat sedikit menurutku. Jadi aku sedikit kesulitan untuk masuk ke dalam tempat yang sedang di ceritakan dan aku merasa seperti diposisikan sebagai pembaca saja.

Aku harap kalian tahu maksudku.

Untuk tokoh, aku merasa Dani dan Evi hanya sebagai perantara untuk berjalannya kisah Sam dan Lynn saja. Mereka tidak punya porsi mereka sendiri di When the Star Falls. Bahkan, di cerita masa kecilnya pun mereka tidak banyak diceritakan. Keberadaanya seperti sedikit dipaksakan menurutku. 

Tapi secara menyeluruh novel When the Star Falls ini bagus. Aku paling suka dengan kata-kata yang sudah membahas bintang, dan juga kata-kata yang ada disetiap awal bab.

4/5 untuk When the Star Falls.

Semangat terus untuk penulis, semangat juga untuk penerbit Haru.




Continue reading [Book Review] When the Star Falls by Andry Setiawan || Bintang terjatuh karena ia mengejar orang yang dicintainya.

Kamis, 09 April 2020

, ,

[BOOK REVIEW] People Like Us by Yosephine Monica


Penulis : Yosephine Monica
Penerbit : Haru
Genre : Romance
Kategori : Young Adult
Terbit : Juni 2014
Tebal : 330 halaman
ISBN : 978-602-7742-35-2
Harga : Rp. 54.000


 “Aku lebih menyukai hidupku sekarang. Mungkin jika semuanya tidak serumit ini, aku takkan mengenalmu. Tapi jika aku bisa memilih, aku akan memilih untuk bisa mengenalmu sejak dulu –jauh sebelum penyakit ini datang.” (hlm. 288)


BLURB

Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu. Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan dalam hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.

Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan kehidupan mereka.
Tentang impian mereka,
Tentang cinta pertama,
Tentang persahabatan,
Tentang keluarga,
Juga tentang... kehilangan.

Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin, kau sudah tahu begaimana cerita ini akan tamat.

Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.

Kalau begitu, kita mulai dari mana?


SINOPSIS

Amelia Collins (Amy), gadis lima belas tahun yang jatuh cinta pada teman satu sekolahnya, Benjamin Miller (Ben). Amy adalah gadis biasa-biasa saja di sekolahnya, akan tetapi dirinya cukup terkenal dikalangan teman-temannya karena dua hal. Pertama, dia senang menulis cerita fiksi roman di blog-nya. Ceritanya bagus dan banyak disukai teman-temannya, namun semua cerita yang dia tulis tidak memiliki ending sehingga membuat semua penasaran. Kedua, dia menyukai Ben.

Berawal dari pengakuan Amy pada temannya dan berujung dengan tersebarnya berita itu ke seluruh sekolah, Ben tahu keberadaan Amy. Amy menyukai Ben saat usianya dua belas tahun. Saat itu dirinya bertemu dengan Ben di kelas musik saat middle school. Mereka berada di kelas yang sama, akan tetapi Ben yang selalu menghindari dunia tidak menyadari itu.

Benjamin Miller (Ben), pemuda yang sudah menjalani hidupnya dengan begitu cuek karena sudah mengalami berbagai kejadian pahit di keluarganya. Ayahnya meninggal karena mengidap penyakit kanker, orang tuanya bercerai dan Ben menjadi anak yang tidak cukup dianggap di keluarganya yang membuat dirinya menjadi pribadi yang cuek dan sinis. Ben yang awalnya ingin menjadi penulis kini berganti keinginan dan memilih untuk menggeluti bidang olahraga, khususnya sepak bola. Saat mendengar kabar Amy menyukainya, Ben tidak peduli. Namun setelah cukup sering berpapasan dengan gadis itu akhirnya Ben menganggap bahwa Amy adalah penguntit.

Poetess : “Hai readers, apa kabar? Gimana masa karantinanya? Kalau bosan baca buku aja yuk!”


REVIEW

Novel  People Like Us merupakan pemenang 100 Days of Romance yang diadakan oleh Penerbit Harus’s Writing Competition 2013. Jujur aku tidak tahu kalau novel ini adalah pemenang 100 days of romance, tapi setelah membaca novel ini aku baru paham kenapa novel ini menjadi pemenang.

Sudah lama novel People Like Us ini hilir mudik di beranda situs online tempatku membeli buku. Awalnya aku acuh karena dari judulnya aku sudah menebak, ini adalah novel romantis ala remaja. Akan tetapi, setelah membaca blurb di belakang buku ini, aku langsung jatuh hati. Novel ini membuatku jatuh hati pada paragraf pertama.

Blurb-nya unik, seperti mengajak bicara pembaca sekaligus provokatif tentang ending yang sudah tertebak. Meski aku tahu temanya klise, tapi penulis membungkus kisah klisenya dengan sangat apik sehingga menjadi menarik. Selain itu penulis tidak membiarkan aku membaca sendiri karyanya karena dia juga mengajakku bicara lewat novelnya. Itu yang aku rasakan, sih. Rasanya seperti sedang mendengarkan kisah bukannya membaca.


"Apakah menyukai seseorang butuh alasan?" (hlm. 250)
 

Meski penulis menekankan bahwa cerita ini biasa saja dan endingnya sudah tertebak, aku justru merasa tambah penasaran. Aku ingin tahu memangnya seperti apa kisah yang mudah ditebak itu, apa bisa membuatku bosan dan meninggalkan buku ini sebelum sampai ke ending atau justru sebaliknya?

Dan saat memasuki cerita, aku dibuat kaget dengan gaya bahasanya yang kaku, puitis dan sedikit mengayun. Dan menurutku membuat gaya bahasa seperti itu cukup sulit, tapi penulis yang konon saat menulisnya masih berusia belasan tahun ini membuatku mengacungkan dua jempol sekaligus. Ngomong-ngomong gaya bahasa seperti ini jadi mengingatkanku dengan penulis Annisa Ihsani yang menulis ‘A untuk Amanda’ .

"Kadang kau tidak butuh petualangan di hutan yang mendebarkan atau perjalanan menuju belahan dunia lain untuk merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kadang kau hanya perlu satu orang dan rasanya kau sudah bisa menggapai seluruh dunia dengannya. "(hlm. 259)
 
Novel ini mengambil dua sudut pandang, yaitu Amy dan Ben. Dari dua sudut pandang yang disuguhkan aku jadi mengenal sosok Amy dan Ben lebih cepat. Alur cerita yang katanya lambat tidak begitu terasa lambat karena aku bisa membacanya dengan cepat, saking serunya tiba-tiba saja aku sudah di pertengahan halaman. Semua kejadian yang aku baca terserap dengan sangat mudah dan membuat ketagihan.  Rasanya dalam beberapa lembar saja aku sudah banyak mendapat bayangan kejadian dan kisah mereka. Bagaimana bisa kisah sebanyak itu dituangkan hanya dalam beberapa lembar saja? Dan anehnya terasa seru dan tidak rancu.
               
Selain gaya bahasa dan alur, karakter tokohnya juga asik dan punya ciri khas masing-masing. Amy yang ramah, tabah pemalu dan optimis. Ben yang memiliki sifat dingin dan sinis namun kesepian. Karakter keduanya sangat bertolak belakang.  Dan aku berharap sambil membayangkan bahwa cerita ini bukan cerita sedih melainkan cerita romatis ala remaja yang bahagia, karena dengan begitu pasti Amy bisa mengajak Ben main kesana kemari dengan gembira, membiarkan Ben merasakan hal baru dan hal-hal seru lainnya sambil diselingi canda tawa. Akan tetapi novel ini tentang si tokoh utama yang sakit dan memiliki sifat optimis.

Tapi tenang saja, meski novel ini sudah diklaim menyedihkan bahkan sebelum aku membacanya, novel ini bukan menceritakan kesedihan dan keputusasaan Amy, justru sebaliknya, Amy begitu tabah dan optimis. Amy yang mencoba membuat semuanya tampak baik-baik saja dan menganggap bahwa sakit bukanlah akhir dari segalanya mampu menyentuh hatiku saat membacanya. Meskipun terkadang, terselip ucapan Amy yang menyiratkan kesedihan, semua itu langsung berubah menjadi tidak menyedihkan lagi karena ada Ben yang semakin dekat dengan Amy dan mulai memberikan perhatian-perhatian kecil.

Ketimbang teringat dengan novel ‘The Fault in Our Stars’ aku lebih teringat ke film ‘A Walk Remember’ yang aku tonton sambil banjir air mata. Aaaa semuanya menebarkan aura sedih, optimis sekaligus romantis.

Perkembangan karakter yang aku lihat juga tidak terburu-buru dan terkesan dipaksakan. Lambat tapi pasti semuanya berubah seperti cerita pada umumnya. Aku suka Ben yang cuek tapi perhatian, saat dirinya bercanda dengan Amy, juga saat menjaga Amy. Aku juga suka Amy yang penuh perhatian. Komunikasi keduanya sangat manis sekaligus menggemaskan.

Terimakasih penulis dan Penerbit Haru yang sudah menciptakan novel ini. Sebagai penutup review ini aku memberi 5 bintang dari 5 untuk buku ini. Apa kalian jadi tertarik membaca novel ini?

Akhir kata, selamat menjalankan masa karantina #dirumahaja! 




“I like my life better now. Maybe if things weren't this complicated, I wouldn't know you. But if I could choose, I would choose to know you long ago - long before this disease came." (p. 288)


BLURB

I'll tell you a story. About Amy, a girl who doesn't have many choices in her life.
And Ben, a young man who is always haunted by the past.

Throughout this story, you will be taken to visit pieces of their lives.
About their dreams,
About first love,
About friendship,
About family,
Also about... loss.

They will go through small adventures, before one of them has to say goodbye.

Maybe, you already know how this story will end.

I don't care.
I just hope you read it to the last page.

If so, where do we start?



SYNOPSIS

Amelia Collins (Amy), a fifteen year old girl who falls in love with her schoolmate, Benjamin Miller (Ben). Amy is an ordinary girl at school, but she is quite famous among her friends because of two things. First, she enjoys writing romance fiction stories on her blog. His stories were good and liked by many of his friends, but all the stories he wrote had no ending so they made everyone curious. Second, she likes Ben.

Starting from Amy's confession to her friend and ending with the news spreading throughout the school, Ben knew where Amy was. Amy had a crush on Ben when he was twelve. At that time, she met Ben in music class at middle school. They are in the same class, but Ben, who always avoids the world, doesn't realize that.

Benjamin Miller (Ben), a young man who has lived his life indifferently because he has experienced various bitter events in his family. His father died of cancer, his parents divorced and Ben became a child who was not well respected in his family, which made him an indifferent and cynical person. Ben, who initially wanted to be a writer, has now changed his desire and chose to pursue sports, especially football. When he heard the news that Amy liked him, Ben didn't care. However, after running into the girl quite often, Ben finally assumed that Amy was a stalker.


 "Hi readers, how are you? How is the quarantine period? If you're bored, let's just read a book!”



REVIEW

The novel People Like Us was the winner of the 100 Days of Romance held by the publisher Harus's Writing Competition 2013. Honestly, I didn't know that this novel was the winner of the 100 Days of Romance, but after reading this novel I just understood why this novel was the winner.

For a long time, the novel People Like Us has been back and forth on the home page of the online site where I bought the book. At first I was indifferent because from the title I already guessed, this is a teenage romance novel. However, after reading the blurb at the back of this book, I immediately fell in love. This novel made me fall in love in the first paragraph.

The blurb is unique, as if inviting the reader to talk and at the same time provocative about the predictable ending. Even though I know the theme is cliché, the author wraps up the cliche story very nicely so that it becomes interesting. Apart from that, the author didn't let me read his work myself because he also invited me to talk through his novel. That's what I feel, anyway. It felt like I was listening to a story instead of reading.


"Does liking someone need a reason?" (p. 250)
 

Even though the author emphasized that this story was ordinary and the ending was predictable, I actually felt even more curious. I want to know what a predictable story is like, can it make me bored and leave this book before I get to the ending or is it the opposite?

And when I entered the story, I was surprised by his stiff, poetic and slightly swinging language style. And I think creating a language style like that is quite difficult, but the author, who was said to have been in his teens when he wrote it, made me give two thumbs up at once. By the way, this style of language reminds me of the writer Annisa Ihsani who wrote 'A is for Amanda'.

"Sometimes you don't need a thrilling jungle adventure or a trip to another part of the world to feel true happiness. Sometimes you just need one person and it feels like you can reach the whole world with them." (p. 259)

This novel takes two points of view, namely Amy and Ben. From the two points of view presented, I got to know Amy and Ben more quickly. The story line which was said to be slow didn't feel so slow because I could read it quickly, it was so exciting that suddenly I was in the middle of the page. All the events I read were absorbed very easily and became addictive. It feels like in just a few pages I can already imagine a lot of their events and stories. How can such a large story be contained in just a few pages? And it feels strangely exciting and unambiguous.
               
Apart from the language style and plot, the characters are also fun and have their own characteristics. Amy is friendly, stoic, shy and optimistic. Ben has a cold and cynical nature but is lonely. The characters of the two are very opposite. And I hope while imagining that this story is not a sad story but rather a romantic story in the style of a happy teenager, because then Amy will definitely be able to invite Ben to play here and there happily, letting Ben experience new things and other exciting things while accompanied by laughter. However, this novel is about the main character who is sick and has an optimistic nature.

But don't worry, even though this novel was claimed to be sad before I even read it, this novel does not tell about Amy's sadness and despair, on the contrary, Amy is so steadfast and optimistic. Amy, who tries to make everything seem fine and thinks that pain is not the end of everything, was able to touch my heart when I read it. Even though sometimes there were moments in Amy's words that implied sadness, everything immediately changed and became less sad because Ben got closer to Amy and started to pay little attention to her.

Rather than remembering the novel 'The Fault in Our Stars', I am more reminded of the film 'A Walk Remember' which I watched while flooded with tears. Aaaa, everything gives off a sad, optimistic and romantic aura.

The character development that I saw was also not rushed and seemed forced. Slowly but surely everything changes like the story in general. I like Ben who is cool but caring, when he jokes with Amy, and also when he looks after Amy. I also like the caring Amy. The communication between the two is very sweet and adorable.

Thank you to the author and publisher Haru for creating this novel. In closing this review I give 5 stars out of 5 for this book.

Are you interested in reading this novel?

Finally, have a good quarantine period #stayathome! Hahaha!


Continue reading [BOOK REVIEW] People Like Us by Yosephine Monica

Sabtu, 22 Februari 2020

, , ,

[BOOK REVIEW] Cafe Waiting Love by Giddens Ko



Judul : Cafe Waiting Love
Penulis : Giddens Ko
Penerbit : Haru
Tebal : 404 Halaman
Genre : Fiksi, Roman.
Harga Resmi : IDR 76.000



“Setiap orang sedang menunggu seseorangnya...”


BLURB

Dalam hidup ini, ada beberapa kali saat dimana jantung berdegup kencang, dan kata-kata tidak sanggup terucap. Aku belum pernah berpacaran,  tapi aku tahu bahwa seseorang yang percaya pada cinta, seharusnya menghargai momen setiap kali jantungnya berdebar, kemudian dengan berani mengejar kali berikutnya, kali berikutnya, dan kali berikutnya lagi.
Didalam sebuah Cafe kecil, setiap orang sedang menunggu seseorangnya.


Sinopsis
Cafe Waiting Love menceritakan tentang perjalanan cinta gadis supel dan penuh semangat bernama Li Siying. Dia adalah seorang siswi SMA kelas tiga yang sedang berusaha untuk menjadi pribadi yang mandiri. Li siying bekerja paruh waktu disebuah cafe bernama Cafe Waiting Love setiap pulang sekolah. Di tempatnya bekerja, dia memiliki rekan bernama Albus. Albus adalah penyuka perempuan sesama jenis yang terlihat berhati dingin, kendati begitu dirinya memiliki hati yang peka dan perhatian pada Li Siying. Ada juga pemilik cafe yang selalu disebut Nyonya Bos, dia lah yang memberi nama cafe ini dengan nama seperti itu. Dinamai Cafe Waiting Love karena Nyonya Bos berharap pengunjung akan menjadikan cafe-nya tempat untuk menemukan seseorang yang ditunggunya.



Review

Seperti biasa, aku selalu mengagumi karya Giddens Ko. Sudut pandang yang diambil dari novel ini adalah sudut pandang pertama, yang mana tokoh utama menjadi narator untuk kisahnya sendiri. Selain karena sudut pandang pertama yang membuatku suka, gaya penulis dalam menciptakan novel pun sangat sangat bagus dan menyentuh hati pembaca. Sederhana, penuh makna dan manis disaat yang bersamaan. Aku seperti mendengarkan kisah seseorang secara langsung, lalu aku terhanyut dibuatnya. Aku tidak pernah menemukan  novel dengan gaya penuturan yang sederhana namun sangat mengena di hati seperti karya-karyanya.

Selain itu, kata-kata dari masing-masing tokoh yang selalu benar dan menyentuh, sekaligus memberi pelajaran tentang cinta pada pembaca ini membuatku TERGILA-GILA! Bagaimana tidak, banyak kata-kata dan peristiwa yang manis di novel ini. Manis dan menyentuh namun tidak lebay dan mendayu-dayu. Keren!

Baca juga : [BOOK REVIEW] The Lunar Chronicles #2: Scarlet by Marissa Meyer

Lalu, bukan Giddens Ko jika tidak menambahkan unsur komedi di bukunya. Buku ini begitu mengalir seperti asli, kehidupan dan karakter tokohnya seakan benar-benar ada dalam dunia nyata. Aku seakan bertemu dengan mereka, lalu duduk dihadapannya sambil mendengarkan Li Siying bercerita.

Meskipun awalnya aku harus cukup sabar untuk bertemu dengan konflik dan kehidupan Li Siying yang baru kudapatkan setelah membaca cukup jauh, aku tidak merasa bosan karena Li Siying menceritakan banyak tokoh yang ditemuinya di Cafe Waiting Love sebelum masuk ke bab tentang dirinya.

Banyak sekali karakter dalam buku ini, namun yang menurutku sangat berkesan adalah para tokoh yang diceritakan sebelum Li Siying menjadi mahasiswi. Salah satunya adalah Fengming, yang tak lain dan tak bukan adalah kakak dari Li Siying.

Fengming adalah kakak dari Li Siying sekaligus teman sekamarnya. Fengming yang tidak pernah menganggap Li Siying sebagai perempuan membuat interaksi antara keduanya sangat unik dan sesekali mengocok perut. Li siying yang selalu kesal karena tingkah bodoh dan konyol kakaknya, dan Fengming yang selalu menjahili Li Siying dengan hal-hal bodoh.


Meskipun begitu, Li Siying menyayangi kakaknya layaknya seorang adik. Walau disini Li Siying lebih dewasa dan mandiri. Selain Fengming, ada juga Albus. Albus adalah rekan Li Siying di cafe yang memiliki kelainan. Dirinya tidak menyukai laki-laki karena seorang lesbian. Karakternya yang berhati dingin dan dangat sedikit bicara ini membuatku terkadang lupa bahwa dirinya adalah perempuan. Haha!

Di Cafe, Li Siying banyak bertemu dengan pria-pria dengan kepribadian yang berbeda. Dan pada saat itu, Li Siying menyukai Yang Zeyu yang tak lain adalah pengujung tetap Cafe. Yang Zeyu sangat menyukai dan selalu memesan Kopi Kenya. Namun meskipun begitu, ketika tengah datang bersama kekasihnya, dia akan memesan latte yang disukai kekasihnya dan akan pura-pura menyukai latte.


“Menyukai barang yang disukai pacar, sepertinya adalah PR-ku dalam berpacaran.” Hal. 156

“Semoga suatu hari nanti, aku bisa dengan gembira memesan dua gelas kenya.” Hal. 161


Yang Zeyu adalah mahasiswa IT yang pintar, selain itu dirinya juga ketua dari klub debat. Meskipun begitu, Yang Zeyu ini selalu ingin menampilkan yang terbaik sehingga acapkali tidak jujur dan tidak apa adanya dengan sikapnya. Sampai ketika di percakapan keduanya dengan Li Siying, dia akhirnya tidak perlu lagi menjadi orang lain.

Lalu A Tuo. Laki-laki yang terkenal dengan nasib buruknya ini adalah orang yang lugu dan pemalu. Dirinya selalu menjadi bahan ledekan teman-temannya karena pacarnya dulu direbut oleh seorang lesbian. Akan tetapi, meskipun dirinya selalu menjadi bahan ledekan, A Tuo tidak pernah marah atau pun melawan. Hal ini membuat Li Siying gemas bahkan memarahi A Tuo karena sikapnya yang tidak tegas.


“Sejak awal kehidupan, setiap orang sudah ditakdirkan untuk bertemu dengan seseorang di suatu tempat...” –hal. 43

“Siapa bersama dengan siapa, sebenarnya sudah ditentukan sejak awal. Tak perduli serumit apa pun suatu pertanyaan, jawabannya hanya ada satu. Dan hanya bisa satu.” –hal. 139


Dan yang terakhir adalah tentang ‘Nyonya Bos’. Selain pemberian nama cafe yang memiliki filosofi tersendiri dan membuat hati leleh, Nyonya Bos juga memiliki kisah cintanya sendiri yang tak kalah menyentuh hati. Tak tanggung-tanggung, Giddens Ko menaruh kisah Nyonya Bos diawal-awal bab. Membuatku semakin salut sekaligus merasa kasihan dengan Nyonya Bos yang satu ini. Selain memberi nama yang unik, Nyonya Bos juga memiliki resep kopi yang unik. Setiap orang yang memesan kopi Nyonya Bos ini akan mendapatkan kesempatan untuk duduk mengobrol sambil meminum kopi bersama dengan Nyonya Bos.

Kisah remaja yang menyentuh dengan pelajaran hidup masing-masing tokohnya membuatku memberi novel ini 5 bintang dari 5.

Ah iya, novel ini sudah di film-kan loh! jadi buat kalian yang penasaran dengan visualisasinya bisa banget nonton. Yah meski sejujurnya aku belum nonton filmnya sih. Jadi tidak tahu jika ada adegan yang ditambah atau dikurangi. 

Continue reading [BOOK REVIEW] Cafe Waiting Love by Giddens Ko