Tampilkan postingan dengan label Penerbit Spring. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbit Spring. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 November 2020

,

[BOOK REVIEW] The Lunar Chronicles #3 : Cress || Perang akan segera dimulai!

Judul                           : Cress (The Lunar Chronicles #3)
Penulis                        : Marissa Meyer
Penerjemah                : Jia Effendi
Penyunting                 : Selsa Chintya , Brigida Ruri
Proofreader                : Titish A.K
Desain Cover             : @Hanheebin
Penerbit                      : Spring
Cetakan Pertama      : Mei 2016
Jumlah Halaman      : 576
ISBN                       : 9786027150584

Harga                     : Rp. 115.000



Cinder dan Kapten Thorne masih buron, Scarlet dan Wolf bergabung dalam rombongan kecil mereka, berencana menggulingkan Levana dari tahtanya. 

Mereka mengharapkan bantuan dari gadis bernama Cress. Gadis itu dipenjara di sebuah satelit sejak kecil, hanya ditemani oleh beberapa netscreen yang menjadikannya peretas andal. Namun kenyataannya, Cress merasa perintah dari Levana untuk melacak Cinder, dan Cress bisa menemukan mereka dengan mudah.

Sementara di bumi, Levana tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu pernikahannya dengan kaisar Kai.


REVIEW

Cress adalah buku ketiga dari The Lunar Chronicle Series. Sebelumnya di buku kedua yang berjudul Scarlet, akhirnya Cinder bertemu dengan Scarlet dan Wolf untuk mengajaknya bekerja sama dalam menggulingkan tahta Levana. Pertemuan mereka yang ditulis dalam buku ini memang tidak kalah keren! bahkan jauh lebih seru dan menegangkan dibanding buku kesatu dan keduanya. 

Setiap aku membaca rasanya tidak bisa untuk tidak menahan nafas. Aku serius! lol

Salah satu faktor yang membuat aku gemas untuk terus membaca buku ini sampai selesai adalah, karena sudut pandang buku ini mengambil sudut pandang Cress. Yang mana Cress ini diceritakan sebagai gadis yang seumur hidupnya terkurung di satelit. Ya, kalau di dongeng aslinya Cress dikurung di menara tinggi, di dalam novel Cress (The Lunar Chronicles #3), Cress dikurung di satelit luar angkasa. Jauh lebih tinggi dibandingkan menara, bukan?

Di video review Cinder yang aku unggah di channel-ku sebelumnya, kalian bisa lihat bagaimana aku antusias sekali saat membahas kapten Thorne. Padahal saat itu bagian Thorne masih sedikit dibandingkan dengan di novel Cress (The Lunar Chronicles #3)

Dan saat aku membaca novel Cress (The Lunar Chronicles #3) yang notabene fokus pada kisah Thorne dan Cress, tentu saja aku sangat terhibur. Ada beberapa hal yang menurutku membuat novel Cress (The Lunar Chronicles #3) unggul dibandingkan dua novel sebelumnya, yang pertama : perjalanan Cress dan Thorne yang tersesat di gurun pasir sehingga menyebabkan Thorne buta untuk sementara layak dijadikan bagian paling seru, dimana perjalanan bertahan hidup keduanya ini sangat detail diceritakan dan memberi banyak informasi tentang kehidupan di gurun yang jarang diketahui. 

Yang kedua, selain penjabaran kejadian yang detail, gaya penceritaan penulis yang berusaha membuat Cress menggambarkan situasi untuk Thorne layak diacungi jempol. Rasanya natural, narasinya mengalir dan tidak dibuat-buat.

Terakhir, meskipun novel Cress (The Lunar Chronicles #3) sangat menegangkan ; mulai dari perjalanan mereka sampai perkelahian sengit dengan para ahli sihir, dari awal sampai akhir tidak ada yang membuat aku bosan dengan novel ini. Itu karena penulis pintar sekali menyelipkan komedi disetiap kejadiannya. Mulai dari istilah-istilah sampai pemikiran Thorne yang kadang nyeleneh sampai Cress yang kelewat polos sehingga membuat Thorne acapkali gemas sendiri.

Ah... Thorne dan Cress ini duet maut pokoknya. Aku suka sekali dengan pasangan yang satu ini! Cress yang percaya akan adanya cinta pada pandangan pertama dan kisah bahagia di akhir cerita, bertemu dengan Thorne yang tidak memikirkan itu semua ; cuek dan terkesan tidak mempercayai. Tak jarang Thorne harus memberi penjelasan pada Cress tentang siapa dirinya dan menyuruh Cress untuk memikirkan kembali jika ingin menyukainya.

Sadar atau tidak, entah kenapa disetiap ucapan Thorne aku merasa penulis juga sedang berusaha menunjukkan isi hati Thorne. Thorne yang sebenarnya selalu menutupi masalah dengan sikap petakilan dan narsisnya, sampai Thorne yang juga sebenarnya sedang menyukai Cress. Tapi hanya samar dan tidak dijelaskan secara gamblang pada Cress. Yang hasilnya membuat Cress sering salah paham dan merasa sedih. Yaaah~

Tapi meskipun begitu pada akhirnya mereka selalu kembali bersama. Entah itu karena misi yang mengharuskan mereka bersama maupun keinginan dari diri masing-masing. Bicara tentang misi, selepas mereka semua bertemu ; Cinder, Kai, Iko, Wolf, dokter Erland, Cress dan Thorne juga salah satu pengawal Levana yang memihak mereka, mereka mulai menjalankan misi untuk menyabotase rencana Levana. 

Rencana demi rencana mulai diwujudkan demi meraih kemenangan selalu membuat berhasil menahan nafas. Aku sampai baca beberapa kali untuk mendapatkan bayangan yang jelas karena ini terlalu menegangkan. Penyelundupan, sabotase, sihir dan strategi dicampur jadi satu. 

Dan karena ini adalah novel ketiganya, banyak fakta dan rahasia-rahasia yang sebelumnya masih jadi pertanyaan perlahan-lahan terkuak dalam Cress (The Lunar Chronicles #3) ini. Daaaan yang paling membuatku exited adalah, mereka hampir dekat dengan Levana. Yang artinya semakin dekat juga dengan akhir. Selain itu di novel Cress (The Lunar Chronicles #3) juga asal-usul Cress dan rahasia yang terjadi dibalik vaksin leutomosis terbongkar. Mulai dari awal mula adanya wabah sampai vaksin yang detail kejadiannya masih dirahasiakan di novel sebelumnya. 

Kesimpulannya, selain pelengkap dari novel Cinder dan Scarlet, novel Cress (The Lunar Chronicles #3) juga terbilang lebih unggul dari segi cerita. 5 bintang dari 5 untuk novel Cress.

Sampai jumpa di review novel penutup series ini : Winter.

Terima kasih sudah berkunjung \>w</


Continue reading [BOOK REVIEW] The Lunar Chronicles #3 : Cress || Perang akan segera dimulai!

Sabtu, 30 Mei 2020

, , ,

[BOOK REVIEW] Stillhouse Lake by Rachel Caine - Tidak bisa tidak parno!!!



Judul : Stillhouse Lake
Penulis : Rachel Caine
Penerjemah : Anggun Prameswari
Penyunting : Prisca Primasari
Penyelaras aksara : Seplia
Desain sampul : Herdiyani (ANIMAJI)
Penerbit : Spring
Terbit : Maret 2018 
Tebal : 364 halaman


                                                                            BLURB

Gina Royal, seorang ibu dengan dua anak, tidak pernah menyangka dia menikahi seorang pembunuh berantai. Sampai akhirnya sebuah kecelakaan mengungkap identitas suami aslinya, dan Gina harus memulai hidupnya lagi dari awal sebagai Gwen Proctor.

Dengan mantan suaminya di penjara, Gwen akhirnya menemukan suakanya di danau Stillhouse, di sebuah rumah yang nyaman. Meski dia masih menjadi target penguntit dan bajungan internet, dia kira dia bisa membesarkan kedua anaknya dalam damai.

Sampai suatu ketika... ada mayat ditemukan di danau, dibunuh dengan cara yang sama dengan korban suami-suaminya. Saat itulah Gwen tahu, suaminya sedang memburu dirinya dan anaknya. 


REVIEW

Kali ini aku mencoba baca novel thriller karya Rachel Caine. Awalnya aku tidak tahu tentang keberadaan novel Stillhouse Lake, aku baru tahu novel Stillhouse Lake saat melihat daftar judul buku diskon ramadhan penerbit Spring. Selain judulnya yang membuat penasaran, cover dan blurb dari buku ini juga sangat persuasif. Meski hanya ada gambar perkakas dan senjata, itu sudah mampu memberikan aku bayangan tentang novel Stillhouse Lake. Jadi selain karena diskon, aku juga tertarik dengan bukunya. Hahah!

Dan saat aku mencari lebih jauh tentang novel Stillhouse Lake, aku dapat info ternyata novel ini adalah novel series. Itu artinya masih ada kelanjutan dari novel Stillhouse Lake. Yeay!

Masuk ke bagian cerita, seperti yang sudah aku bahas di postingan menuju tuntas, awalnya aku mengira kisah dalam prolog itu akan berlanjut di bab satu. Sebenarnya aku berharap itu dilanjutkan ke bab satu karena aku penasaran sekali dengan proses selanjutnya. Tapi ternyata tidak, di bab satu aku disuguhkan kisah Gina Royal dan anaknya beberapa tahun kemudian.

Di bab satu, aku diberi lihat bagaimana sosok Gina -atau mungkin sekarang Gwen- yang berubah 180 derajat dari sebelumnya. Aku bisa bilang begitu karena di prolog, Gwen dikisahkan sebagai ibu dua orang anak yang hidup bahagia dengan suami dan kedua anaknya. Yang dimana ketimbang berada di arena tembak, dia lebih memilih berada di dapur untuk menyiapkan makanan. Tidak perlu merasa cemas akan terjadi apa-apa karena ada suami yang akan siap sedia melindungi.

Arena tembak. Memegang pistol dan membidik tepat sasaran, juga bau mesiu selalu menemani Gwen sehari-harinya. Saat membacanya, aku langsung berpikir betapa bahayanya siatuasi yang menimpa Gwen dan anak-anaknya.

Gwen menjadi pribadi yang paranoid, selalu berpikir berlebih dan juga overprotective pada anak-anaknya. Sejujurnya aku berpikir itu wajar setelah apa yang dialaminya, tapi dibeberapa scene aku juga merasa tindakan Gwen sedikit keterlaluan(?)

Anak-anak Gwen yang sudah beberapa kali pindah dan berganti identitas pun acapkali mengutarakan pendapatnya tentang sikap Gwen yang sekarang. Mereka protes dan melakukan hal-hal yang membuat Gwen semakin diliputi rasa cemas.

Sampai sebuah surat berisikan umpatan-umpatan kasar dan ancaman dari sang mantan suami datang, anak-anaknya sadar bahwa semua yang dilakukan ibunya tidaklah berlebihan. 

Selain melakukan berbagai tindakan perlindungan diri, Gwen juga melarang anak-anaknya menggunakan ponsel cerdas seperti teman-temannya yang lain. Gwen benar-benar menjauhkan anak-anaknya dari dunia luar. 

Coba bayangkan, hidup dalam pelarian, berganti-ganti identitas dan hidup dalam kecemasan, semua itu dialami Gwen dan anak-anaknya bertahun-tahun. Dan ternyata, bukan itu saja, ibu Gwen sendiri bahkan tidak tahu dimana keberadaan putri dan cucuknya.

Secara keseluruhan, dari awal sampai akhir cerita aku tidak pernah bisa tenang saat membaca novel Stillhouse Lake. Kalian tahu saat-saat menegangkan saat melihat film horror, dimana musik menyeramkan mulai diputar dan kalian menunggu-nunggu kemunculan hantu? seperti itulah yang aku rasakan, parno.

Seiring berjalannya cerita Stillhouse Lake, selain parno, aku juga jadi ikut waspada dan menerka-nerka siapa dalang dari semua 'kejadian menyeramkan itu' saat tokoh-tokoh baru mulai muncul. Beberapa pertanyaan seperti :

Siapa yang menjadi kaki tangan Malvin untuk melakukan semua itu?

Apa dia orang yang baik?

Sampai, apa itu semua sikap asli mereka?

Aku ucapkan dalam hati saat tokoh itu mulai memainkan peran masing-masing.

Iya! sepenasaran dan parno itu aku saat membacanya!

Dari cerita , sekarang masuk ke gaya bahasa atau gaya penceritaan. Sebenarnya aku tidak perlu memaparkan banyak-banyak tentang ini, dilihat dari siapa yang menciptakan novel Stillhouse Lake ini. Yaitu penulis bernama Rachel Caine yang sudah banyak menciptakan novel-novel fiksi ilmiah, fantasi, horror dan misteri. (Sumber : wikipedia)

Yang aku rasakan, cerita dengan suasana menegangkan dan cukup mengerikan ini dikemas dengan gaya bahasa yang ringan. Sehingga membacanya tidak terlalu rumit atau berat seperti tema novel Stillhouse Lake. Dari awal aku membaca novel Stillhouse Lake, rasanya sangat mudah untuk dipahami dan masuk lebih dalam ke dalam kisahnya. Penggambaran tokoh, situasi dan suasananya sangat detail dan rapih. Dunia yang ingin diperlihatkan pada pembaca pun dapat terbayang dengan mudahnya.

Selain itu, pesan yang ingin disampaikan juga dapat tersampaikan begitu saja. Tentu saja pesan itu tersampaikan melalui Gwen dengan segala perilakunya. Aku juga merasa bukan hanya kisah menegangkan saja yang diceritakan disini, ada kisah tentang kekeluargaan yang tak kalah lekat. Aku tersentuh dengan tindakan Gwen yang totalitas dalam menjaga anaknya -meski aku tahu semua orang tua seperti itu -tapi dalam cerita ini berbeda!

Ada satu scene Stillhouse Lake yang membuatku kagum akan ketangkasan Gwen dalam melindungi anak-anaknya. Tapi aku tidak ingin menceritakannya disini karena takut akan menjadi spoiler. Haha! 

Intinya, tingkat parno Gwen ini diatas rata-rata, bisa hanya karena lupa mengunci pintu saja semua berakhir dengan acungan pistol.

Namun, di balik semua kelebihan dan kecintaanku pada novel Stillhouse Lake, ada sedikit kekurangan seperti kalimat rancu atau beberapa kata yang kurang di novel Stillhouse Lake ini, seperti yang pernah ku bahas di postingan sebelumnya. Sebenarnya tidak terlalu mengganggu karena kalimat selanjutnya bisa menjelaskan apa maksudnya, tapi tetap saja saat membacanya aku perlu berpikir keras lebih dulu.

Kenapa? karena aku tipe pembaca lamban yang memperhatikan setiap detail dari kalimat sebelum melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. Itu juga yang membuat aku butuh waktu lama untuk membaca sebuah novel.

Dan terakhir, aku ingin memberi novel Stillhouse Lake 4.5/5 bintang.

Sukses terus penerbit Spring. Karena kalian, aku jadi bisa membaca novel sebagus Stillhouse Lake ini.










Continue reading [BOOK REVIEW] Stillhouse Lake by Rachel Caine - Tidak bisa tidak parno!!!

Sabtu, 15 Februari 2020

, , , ,

[Book Review] The Lunar Chronicles #1: Cinder by Marissa Meyer


Judul : Cinder
Penulis : Marissa Meyer
Penerbit : SPRING
Tebal : 384 halaman
Genre : Young Adult , Fantasy , Sci-fi
Harga Resmi : 79.000


SINOPSIS
Cinder adalah karya pertama Marissa Meyer dalam The Lunar Chronicles yang merupakan re-telling dari kisah Cinderella. Novel ini diterjemahkan pertama kali oleh Penerbit Spring pada januari tahun 2016. Novel ini menceritakan tentang Linh Cinder yang merupakan seorang mekanik di Persemakmuran Timur, New Beijing pada tahun 126 setelah perang dunia empat berakhir (dunia karangan penulis).

Cinder yang tinggal bersama Ibu tirinya, Adri dan juga kedua saudara tirinya Peony dan Pearl acapkali membuat Cinder merasa tersiksa dan ingin lari. Namun meskipun begitu dalam novel Cinder ini, salah satu saudara tirinya –Peony justru menyukai Cinder. Selain itu, Cinder memiliki sahabat berbentuk android yang bernama Iko. Iko selalu berada di sisi Cinder dan memiliki emosi layaknya manusia. Adapun hal yang membuat Cinder menjadi istimewa sekaligus berbeda dari yang lain, yaitu fakta bahwa dirinya adalah seorang cyborg yang mana manusia dengan beberapa bagian tubuh robot.

Hingga pada saat itu bumi diserang penyakit mematikan bernama Leutomosis. Wabah ini banyak memakan korban jiwa diseluruh penjuru bumi tak terkecuali Peony. Melihat keadaan yang semakin parah akhirnya Cinder tidak bisa tinggal diam, dirinya nekat untuk menemui peony yang sudah dikarantina secara diam-diam, yang karena itu juga menyebabkan dirinya tertangkap dan dijadikan kelinci percobaan. Disanalah dirinya bertemu dengan Dr. Erland yang nantinya akan mengantarkan Cinder pada fakta yang sebenarnya. Namun kerumitan yang terjadi pada Cinder bukan itu saja, karena dirinya yang seharusnya berbahagia dengan Pangeran Kaito, justru malah harus dihadapkan dengan banyak masalah terkait pernikahan pangeran Kaito dengan Ratu Levana –ratu bulan yang ingin menguasai bumi.





Review

Sebelum mengetahui bahwa novel ini adalah re-telling dari kisah Cinderella, aku kira novel ini adalah kisah Cinderella versi novel yang mana seratus persen isinya sama –Cinderella tinggal bersama Ibu dan saudara tirinya yang jahat, lalu setelah datang ke pesta dansa dan bertemu pangeran dirinya berakhir dengan hidup bahagia selamanya.

Tapi ternyata aku salah! Di novel ini bahkan tidak ada kisah cinta yang begitu gamblang, semuanya tampak samar-samar dan sangat sedikit. Meskipun retelling, yang berarti menceritakan kembali, tapi novel ini tetap istimewa karena hanya latar belakangnya saja yang sama, selebihnya jauh berbeda. Karena Marissa Meyer menambahkan unsur politik, fiksi ilmiah dan dunia futuristik yang jauh berbeda dengan dongeng. Dan yang lebih mencengangkannya lagi adalah bahwa Cinder adalah seorang Cyborg! Dimana dirinya dikucilkan karena bagian tubuh yang sebagian adalah robot.

Baca juga : [BOOK REVIEW] The Lunar Chronicles #2: Scarlet by Marissa Meyer

Tokoh dengan karakter yang berbeda dari aslinya pun memberi kesan baru pada novel yang notabene retelling dari kisah Cinderella ini. Dan aku sangat sangat sangat suka! Tokoh yang kita tahu lemah lembut di diri Cinderella berubah menjadi tokoh yang kuat dan penuh ide cemerlang. Setting tempat dan alur yang berbeda serta penjabaran situasi yang mampu membuatku pergi menuju dunia baru dan asing ini sangat menyenangkan. Penulis berhasil membuatku penasaran dan ingin cepat-cepat baca halaman selanjutnya.

Selain Cinder, tokoh tambahan lainnya seperti Dr. Erland, Iko dan kapten Thorne juga ikut andil cukup banyak. Untuk aku yang mengharapkan setidaknya ada sedikit kisah romantis antara Cinder dan pangeran Kaito, justru harus sedikit menerima kenyataan bahwa porsi pangeran Kaito disini tidak terlalu banyak.

Aku justru teralihkan dan bahkan sempat melupakan pangeran Kaito karena keberadaan kapten Thorne dan Dr. Erland. Diam-diam aku juga berpikir bahwa Cinder yang sedikit pemarah dan tidak senang berbasa-basi ini justru cocok dengan kapten Thorne yang jenaka dan cerdas. Tapi pikiranku yang seperti itu berubah ketika membaca buku kedua dari series ini –Scarlet.

Dr. Erland adalah ilmuan kerajaan bertubuh kecil dan pendek yang penuh misteri. Aku sempat dibuat bingung dengan karakternya yang tidak terbuka dan tidak terlihat memihak pihak mana sebelum aku membaca ending.

Ada juga si android manis yang setia kawan milik Cinder bernama Iko. Tingkahnya yang manis dan unik membuat karakter Iko seperti anak kecil yang selalu mengkhawatirkan Cinder yang bertingkah nekat dan terlalu pemberani.

Tapi, ada juga yang membuatku sedikit kecewa dari novel ini. Aku sedikit kecewa dengan pangeran Kaito yang seperti tidak punya pendirian dan terlalu percaya kepada orang lain. Mirip seperti orang yang tidak tahu harus berbuat apa. Sepanjang membaca buku ini, khususnya bagian pangeran Kaito, aku selalu merasa kasihan sekaligus gemas.

Pangeran Kaito harus menanggung beban begitu besar, belum lagi tekanan yang dilayangkan oleh para presiden lain dan juga keresahan masyarakat yang terkena wabah. Bahkan ingin rasanya masuk kedalam buku dan memberi pundak untuk bersandar sebentar. Ups!

Selain itu, karena novel ini lebih banyak membahas wabah Leutomosis dan perlawanan terhadap ratu Levana, aku jadi teringat akan nasib Peony yang menyedihkan. Belum lagi Peony adalah satu-satunya saudara Cinder yang tidak memperlakukannya dengan buruk. Peony dan Cinder memiliki mimpi dan tujuan yang belum sempat tercapai karena keadaan Peony yang tidak memungkinkan. Dan kepergian Peony yang meninggalkan luka dihati Cinder pun bisa ikut aku rasakan.

Namun meskipun banyak kejadian menyedihkan dan menegangkan di novel ini, aku cukup senang karena ada tokoh tambahan lainnya yang menghibur seperti kapten Thorne. Aku yang sebelumnya sedih, tegang dan ikut berpikir keras untuk menyelesaikan masalah bersama Cinder, bisa tertawa begitu saja ketika membaca tingkah laku kapten yang satu ini. Entah itu karena sikap jahilnya, narsis dan kebodohan-kebodohan yang dibuatnya.

Secara menyeluruh aku suka novel ini dan tidak sabar untuk baca buku ketiganya yang berjudul Cress. Aku memberi 4 bintang dari 5. Tidak ada kekecewaan berlebih tentang novel ini. Aku suka dengan cara penulis menyampaikan narasi dan setting tempat yang begitu detail sampai pembaca bisa membayangkan dengan cukup mudah.

Terimakasi sudah mampir. Sampai jumpa di review selanjutnya ya!




Continue reading [Book Review] The Lunar Chronicles #1: Cinder by Marissa Meyer

Senin, 30 Desember 2019

, , ,

[Book Review] : The Way I Use To Be by Amber Smith




Judul : The Way I Used To Be
Penulis : Amber Smith
Penerbit : Spring
Genre : Umum
Tebal : 392 halaman
Periode baca : 27-29 Desember 2019





Rating : 4/5


-Blurb-

          Eden adalah anak yang baik. Masa SMA sama sekali tidak mengubahnya. Namun, malam saat dia diperkosa oleh sahabat kakaknya telah mengubah segalanya. Kehidupan yang tadinya sederhana, menjadi sangat rumit. Apa yang tadinya dia sukai, kini dia benci. Apa yang tadinya dipikir benar, ternyata adalah sebuah kebohongan besar. Tidak ada yang masuk akal lagi. Eden tahu dia harus memberi tahu seseorang, tapi dia tidak bisa. Dia malah mengubur rahasia itu dalam-dalam. Namun saat ada orang yang benar-benar peduli padanya, akankah dia tetap menguburnya?

-Sinopsis-
   
      Eden McCrorey, remaja empat belas tahun yang manis. Dia memiliki keluarga dan sahabat yang menyayanginya. Semuanya baik-baik saja sampai malam mengerikan itu tiba. Ketika semua orang tengah terlelap, sahabat dari kakaknya yang sudah ia kenal sejak kecil itu memasuki kamar Eden diam-diam dan memperkosanya. Naasnya lagi Eden tidak bisa menyuarakan penderitaannya karena ancaman yang diberikan oleh pelaku –Kevin-.


     Setelah itu semuanya berubah, kehidupan normalnya perlahan-lahan menjadi kacau. Eden terlalu pengecut untuk mengungkapkannya kepada orang lain. Alih-alih bicara dirinya justru mencari pelarian dan pembenaran dari apa yang dialaminya.

     Pada tahun kedua di SMA Eden berubah menjadi sosok yang lebih percaya diri dan menarik. Hanya saja tingkahnya yang semakin berani dan kacau membuat Eden semakin jauh dari keluarganya. Bahkan Mara, sahabat Eden, akhirnya menyerah dengan tingkah Eden yang semakin menjadi. 

-Review-
     
     Pertama kali nemu novel ini dan baca blurb-nya, aku langsung membayangkan tokoh utama dan alur cerita yang menyedihkan. Maksudku seperti serial tv bergenre melodrama yang mengangkat tema sama dengan novel ini. Tapi... bayanganku langsung dirubuhkan setelah membaca karakter Eden. Serius, awalnya aku mengira harus menghiburnya, akan tetapi rasanya semua itu tidak perlu dilakukan setelah aku mulai memasuki bab dua. Jadi didalam buku ini terdapat empat bagian yang membagi perjalanan hidup Eden dalam beberapa tingkatan. Ada tahun freshman, sophomore, junior dan senior.

     Di awal bab, aku diajak untuk merasakan menjadi Eden saat itu. Mengenang cinta pertamanya, hari-hari bersama Mara dan temannya yang lain,  juga malam mengerikan itu. Rasanya menyiksa, penulisnya pintar sekali mengaduk-aduk perasaan pembaca dan membuat aku ikut sedih dan gemas disaat bersamaan.
    
     Bagaimana tidak gemas? Tingkah Eden disini menyebalkan sekaligus menyedihkan. Dia merasa semua hal baik didirinya yang melekat dibenak orang lain tidak pantas dirinya terima. Eden selalu menyalahkan dirinya sendiri karena sikap pengecutnya.  Apalagi ketika dirinya tengah dekat dengan kakak kelas populer yang juga disukainya, Joshua.

     Dan aku merasa di bab dua inilah Eden yang baru tercipta. Eden benar-benar berubah drastis, begitu juga Mara yang merupakan sahabat terbaik Eden. Keduanya berubah dari anak cupu yang selalu dipojokkan menjadi gadis cantik yang mengundang banyak perhatian. Selain cantik, kepribadian keduanya juga ikut berubah. Awalnya aku kesal dengan semua tingkah Eden yang terkesan baru mengenal dunia luar. Akan tetapi jika dilihat lagi latar belakangnya, rasa kesalku berubah menjadi kasihan, khawatir, miris dan beberapa perasaan yang hampir mirip dengan itu.

     Aku ingat betul saat Eden mencoba untuk memberitahu kakaknya -Caelin- untuk tetap tinggal bersamanya dan pindah kuliah yang tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh Caelin. Aku sedih sekali waktu membacanya. Bayangkan, orang yang paling disayanginya lebih memilih pergi dan menganggap permintaannya tidak lebih dari ucapan seorang adik yang merindukan kakaknya.

     Aku tidak tahu harus berkata apalagi, tapi yang dilakukan Eden benar-benar gila! Dia melakukan semua hal yang dianggap buruk oleh orang-orang. Membuat kakaknya yang sangat menyayanginya sedih bahkan menangis, orangtua yang jengkel dan seakan tidak mengenalinya lagi, juga teman-temannya yang dibuat tidak habis pikir oleh sikap Eden. Menurutku Eden hanya berpikir untuk menjadi seseorang yang akan orang lain pikirkan ketika tahu apa yang terjadi malam itu.

     Jujur, andai aku bisa masuk kedalam novel dan bertemu Eden, aku ingin sekali membuatnya berani untuk mengatakan semuanya dan mengajaknya kembali ke jalan yang lurus. Haha! Tapi jika itu terjadi, novel ini akan terasa hambar kan?

     Selain karakter Eden dan tokoh lainnya yang membuat aku gemas sekaligus kasihan, aku juga menyukai cara penulis menyampaikan semuanya dengan sempurna. ‘Show, don’t tell’  penulis memang mengerti akan istilah itu. Aku terhanyut, dan ikut merasakan apa yang masing-masing tokoh rasakan. Hanya saja ada bagian yang kurang aku suka, mungkin bisa dikatakan berbanding terbalik dengan ending yang kubayangkan. Aku merasa ada hal yang seharusnya diperlihatkan kepada pembaca sebelum berakhir. Aku merasa penulis seakan memotong proses yang seharusnya diperlihatkan setelah semuanya sudah terungkap. Hanya hal kecil yang membuat aku hanya memberi empat bintang dari lima bintang.

     Kesimpulannya secara keseluruhan aku suka, sangat suka. Terlebih ini novel pertama yang mengambil tema cukup ‘berani’ yang kubaca. Hanya saja aku merasa kurang dipuaskan oleh ending yang diberikan.

     Sudahkah kalian membaca novel ini? Karena aku rasa aku sangat telat membacanya haha! Bagaimana menurut kalian?

     Terimakasih sudah berkunjung! ^^


Continue reading [Book Review] : The Way I Use To Be by Amber Smith