Posted by Penasunyi
Kistain, kini tempat itu tak lagi sama. Ayunan mulai rapuh dimakan usia. Tapi pohon semakin tumbuh kian lebat. Seakan berkata dalam sunyi, kenangan bersamamu akan selalu tersimpan bersamanya.
...
Waktu itu hari Selasa pukul sembilan. Pekerjaan rumah sedang banyak-banyaknya. Menumpuk, tercecer, dimana-mana ada, padahal ini bukan hari Minggu. Oh iya, apa aku pernah bilang kalau hari Minggu itu hari bersih-bersih satu rumah? Sepertinya aku baru saja bilang.
"Nisti! jemur selimut ini dulu." Yah, padahal membereskan baju saja belum selesai.
Aku bergegas menghampiri Ibu setelah sedikit menyimpan kembali baju yang sudah ku lipat sebagian. Ibu menyerahkan selimut yang siap untuk dijemur dalam ember begitu aku sampai.
Aku mengangkat ember berisi selimut itu hati-hati, takut jika aku salah langkah sedikit saja semuanya akan jatuh. Dan tentu saja jika semua terjadi, itu akan menambah daftar pekerjaanku. Atau mungkin yang lebih parahnya lagi Ibu dan aku akan terpeleset, kita berdua jatuh dan kaki kita terkilir. Lalu Ibu tidak bisa masak dan aku tidak bisa hilir mudik di dapur untuk mengambil makanan lagi.
Matahari di pagi hari memang belum terasa panas, tapi tetap saja saat membenarkan selimut sambil mendongak, sinarnya sudah bisa membuatku menyipitkan mata. Selesai dengan tugas menjemur selimut, aku pun bergegas untuk melakukan tugas yang lain. Tapi tidak jadi karena rasa malas terlanjut menyerang.
Kepalaku melihat kiri, kanan, luar dan dalam rumah. Memastikan Ibu sibuk di dapur atau dimana saja. Aku ingin curi-curi kesempatan untuk tidur lebih lama lagi atau mungkin hanya sekedar bermalas-malasan.
Ayolah, ini bukan hari Minggu!
Ayunan yang sengaja Ibu buat untukku menjadi pilihanku untuk bersantai. Aku mengayunkan kaki, mendorong tubuh agar ayunan itu bergerak. Sambil mendongak menatap ke arah daun yang subur, aku jadi teringat bagaimana Ibu waktu itu berjuang untuk naik ke atas pohon demi mengikatkan tambang ayunan ke batang pohon yang paling kuat. Waktu itu aku masih kelas empat SD.
Waktu itu aku sangat suka sekali bermain ayunan. Rasanya seperti terbang dan melayang. Hampir setiap hari aku pergi ke taman dekat rumah hanya untuk bermain ayunan disana. Saking seringnya aku kesana Ibu sampai harus menyusulku untuk menyuruh pulang.
Kalau sudah begitu, Ibu pasti memberiku ceramah tentang pentingnya mengingat waktu. Dan mungkin karena itu juga Ibu jadi memilih untuk membuatkanku ayunan di halaman belakang rumah. Agar aku betah dirumah dan Ibu tidak usah lagi setiap hari menjemputku yang lupa waktu di taman.
Lama-lama laju ayunan melambat, aku tidak lagi mendorong ayunan dengan kaki. Dalam hati aku takut, bajuku belum selesai aku bereskan. Tapi jika aku masuk dan bertemu dengan Ibu, pasti dia tidak akan membiarkanku bersantai. Jadi aku harus bersembunyi di suatu ruangan. Ah tidak, sepertinya aku akan tetap diam disini.
Bosan. Aku butuh sesuatu untuk dimainkan. Aku merogoh saku celana, dan menemukan fakta bahwa aku lupa membawa ponsel. Aku menimang dalam hati antara masuk untuk mengambil ponsel atau tidak. Dan pilihanku adalah masuk dan mengambil ponsel, setelah itu aku akan berjalan tanpa suara dan kembali ke halaman dengan selamat.
Aku mengangkat kaki dengan hati-hati, setiap derajat langkahnya aku perhitungkan. Baru saja menginjakkan kaki di lantai, langkah kakiku terhenti lagi. Mataku awas memperhatikan sekitar. Ternyata Ibu sedang di dapur tepatnya didepan kulkas sambil memilih-milih bahan makanan untuk menu hari ini. Aman, tidak ada tanda-tanda Ibu akan menoleh.
Dengan ringan kaki ini berlari tanpa suara menuju kamar, mengambil ponsel yang tergeletak diatas kasur lalu segera kembali ke halaman.
Cepat... cepat... cepat... Aku harus cepat.
Oh ya ampun hanya karena malas membersihkan kamar dan rumah aku sampai berbuat seperti ini. Karena ini hari Selasa.
Saat aku melewati dapur Ibu tengah memulai masaknya. Dia memotong-motong daging dan sayur dengan telaten. Membuatku membayangkan betapa lezatnya masakan Ibu setelah siap.
"Hoy! Kenapa jalannya jadi mirip keong sih?"
Aku menoleh dengan cepat, tubuhku refleks melompat saking kagetnya, jantungku berdetak kencang dan mataku melotot pada objek yang ada di atas benteng yang menjadi pemisah halaman belakang rumahku dengan jalan di gang. Dia menyebalkan! Untung aku tidak membanting ponselku. Dan tentu saja aku lebih takut kalau Ibu mendengar. Enak saja, setelah susah payah uji nyali aku tidak akan membiarkan semuanya gagal.
"Hehehe... kaget ya?" laki-laki itu menunjukkan giginya yang bersih dan rapi tanpa dosa.
Aku mengabaikannya, memilih jalan terus menuju ayunan. Dia mengikuti dengan berjalan di atas benteng sambil merentangkan tangan. Sesekali Kistain membenarkan letak topinya agar kembali nyaman.
Sekarang Kistain sedang menggapai batang pohon besar yang melewati benteng kemudian menjadikannya tumpuan saat akan berpindah dari atas benteng ke atas pohon. Aku geleng-geleng kepala saat melihatnya.
"Cemberut terus. Neng?" katanya saat sudah mantap memilih posisi duduk.
Aku yang tengah mengayun ayunan mau tak mau mendongak ke atas, menoleh ke arahnya yang sekarang berada tepat diatas kepalaku. Kistain dengan setelan kaos dan celana selututnya menatapku sambil tersenyum jahil dari atas sana. Aku pun membalas senyumnya kemudian mengetikkan sesuatu di catatan ponsel.
'Kamu ngapain sih? Habis dari mana?' tulisku kemudian memperlihatkannya pada Kistain.
"Aku sedang kabur dari Kakek, dia nyuruh ngasih makan Ayam. Terus tadi juga habis dari rumah Pak RT sebentar." Katanya. Lagi-lagi sambil tersenyum.
'Kamu takut ayam?'
"Mana ada! Aku cuma malas saja, kemarin aku ngajak main anaknya, eh taunya si induk Ayam malah mengejarku tanpa ampun." Keluh Kistain dengan raut wajah yang terlihat kesal.
'Terus ngapain ke rumah Pak RT?'
"Biasa, ngabsen. Siapa tahu dia ada rencana mau ijin atau sakit. Biar gak di alfa-in." Kistain kemudian tertawa.
Aku juga.
"Nistiii..." suara Ibu mengejutkanku dan Kistain.
Aku segera berdiri dari duduk santaiku lalu buru-buru memegang selimut di jemuran. Pura-pura merapihkan selimut yang dari tadi anteng di tempatnya.
Sedangkan Kistain, dia tergesa-gesa untuk naik ke bagian paling atas pohon. Tangan dan kakinya begitu lihai sampai membuatku tidak bisa membedakannya dengan kera andai dirinya tidak tersenyum manis.
"Ngapain masih disana? Kalau itu sudah selesai bantu Ibu pergi ke warung buat beli bawang goreng. Sup nya sudah mau matang."
Aku mengangguk cepat, lalu membalik tubuh Ibu agar tidak melihat ke arah halaman terutama pohon. Awalnya Ibu protes karena aku sedikit mendorongnya masuk, tapi akhirnya Ibu masuk juga setelah aku memberi isyarat masakannya gosong.
Sebelum benar-benar masuk, aku kembali melihat ke arah pohon. Melihat Kistain sedang garuk-garuk dan menepuk-nepuk badannya karena semut. Mata kami bertemu sebentar, dan setelah itu wajahnya kembali tegang dengan mata melotot dan bibir sedikit terbuka. Tanpa sadar sendalnya pun terjatuh.
Aku mengikuti arah pandang Kistain, dan raut wajahku tidak beda jauh dengan Kistain. Dibelakangku, Ibu tengah berdiri sambil memasang wajah menyelidik.
"Itu sendal siapa? Kok ada disitu? tanya Ibu heran."
Aku bernapas lega, itu artinya Ibu tidak lihat Kistain. Aku menaikkan bahu dan menurunkannya cepat sambil berjalan tergesa melewati Ibu. Melaksanakan perintahnya untuk membeli bawang goreng ke warung.
Share : || IG || Twitter ||Fb ||
Enter your comment...
PUBLISH PREVIEW
0 comments:
Posting Komentar
Tolong berkomentar yang baik dan sopan ya, readers! juga centang kolom 'Notify me' sebelum publish komentar untuk mendapat notif balasan.
^^