Minggu, 19 April 2020

, ,

[Cerbung] SENANDIKA BAB 5 : TIDAK PERLU ALASAN

 SENANDIKA




Posted by Penasunyi

Hari ini kelas tidak begitu menyenangkan. Ah, kuliah online memang tidak selamanya menyenangkan. 

Benar, aku memilih untuk mengambil kelas online. Bukan karena tidak bisa bergaul dengan yang lain melainkan karena kekuranganku. Aku hanya nyaman jika tidak terlalu sering berinteraksi dengan orang yang tidak aku kenal. Dan aku malas untuk bertemu dengan orang baru. Jadi selain tidak perlu membuang-buang tenaga untuk bicara, aku juga tidak perlu keluar rumah. 

Mereka tidak akan tahu suaraku dan kekuranganku, mereka hanya tahu aku pendiam. kebanyakan orang diluar sana mengira jika aku tuli, aku juga bisu. Mereka salah, aku tidak bisu hanya saja sulit untuk bicara. Jika kalimat sederhana biasanya aku akan memilih untuk bicara ketimbang menulis. Seperti saat itu bersama orang yang sangat aku rindukan, aku bicara banyak hal dan tertawa.

***
Hari itu aku sedikit terburu-buru sampai kotak yang kubawa terguncang dan hampir membuat isinya tak berbentuk. Aku ingin datang lebih awal. Kami janji untuk bertemu pukul sebelas, tapi aku datang sepuluh menit sebelumnya. Tidak perlu bertanya dimana meja yang harus ditempati, karena jauh dari pertemuan hari itu aku sudah mengenalnya secara sepihak.

Aku melihat laki-laki bertopi dengan celana selutut dan baju lengan panjang tak lama setelah aku duduk. Laki-laki itu membuka pintu kedai, matanya menyusuri setiap meja yang ada. Namun aku hanya memperhatikannya sambil memasang senyum. 

Dan pandangan kami bertemu.

"Kamu datang lebih awal? tanyanya setelah mendapatkan posisi nyaman di kursi. 

Kistain membuka topinya dan menyimpan topi itu di sebelah siku sebelah kanan. Tangan kanannya menopang dagu sambil menatapku. Tubuhnya sedikit condong kedepan membuatku bisa melihat dengan jelas rambutnya yang seperti baru dikeramas.

Aku ikut menopang dagu dengan tangan kiri, tubuh kami condong ke satu sama lain. Alih-alih menjawab aku justru hanya tersenyum, bedanya sekarang sedikit lebar. Kami saling menatap, menjelajahi kedalaman mata masing-masing sebelum sama-sama tertawa kemudian tertunduk karena malu.

"Khem. Jadi... aku yang datang telat atau kamu yang datang lebih awal?" tanya Kistain dengan sisa tawanya.

Aku menggendikkan bahu dan memasang senyum geli. Aku tidak tahu kenapa itu begitu penting untuknya.

"Jadi kamu tidak mau menjawab?" 
Aku bergumam pelan. Sengaja ingin membuatnya penasaran.

"Oke kalau begitu terserah." ucap Kistain pada Akhirnya.

Sepertinya Kistain merajuk. Karena alih-alih memandangku Kistain justru memilih untuk memesankanku kopi susu hangat saat pegawai kedai menghampiri.

Setelah dua kopi susu diantarkan, Aku mengeluarkan kotak yang kubawa tanpa sepengetahuan Kistain yang tengah memandang keluar jendela. Tangannya yang tidak dipakai menopang dagu mengetuk-ngetuk meja seolah tengah berpikir. 

Dengan keberanianku saat itu aku menahan tangannya agar berhenti mengetuk meja, dan berhasil. Kistain mengalihkan pandangannya.

Aku meletakkan kotak tadi keatas meja, tepatnya dihadapan Kistain agar membuatnya menoleh. Diluar dugaan Kistain langsung menatap intens jauh kedalam isi kotak yang tampak dari luar karena transparan. 

Matanya melebar antusias dan bibirnya melengkungkan senyum.

"Waaah! kapan bikinnya?" tanya Kistain sambil mengambil kotak itu dan membukanya cukup tergesa. 
Untuk sesaat aku terlupakan.

'Tadi malam.' aku menyodorkan kertas berisi jawaban.

"Hem... begitu. Pasti rasanya enak. Aku mau coba!" ujar Kistain. 

Tangannya sudah siap untuk mengambil potongan buah sebelum aku memukul punggung tangannya dan membuatnya meringis. 

"Ssss... Sakit! tanganmu itu Nis..."

Aku memelototinya sambil menaikkan dagu menantang, "Apa?"

Kistain memajukan bibirnya sambil mengelus-elus punggung tangannya. Sambil menunggu aku mengambil sendok, Kistain meminum kopi yang dipesan tanpa minat.

Aku mengeluarkan dua sendok yang sudah aku siapkan dari rumah. Tentu saja karena aku tahu Kistain tidak mungkin membawa sendok sendiri dan aku tidak mau jika harus meminta sendok pada pegawai kedai. 

"Makan pelan-pelan." kataku sambil menyodorkan Kistain sendok.

"Enak sekali... buahnya segar. Aku suka sekali. Oh iya, kamu juga harus makan." 

Kistain langsung menyuapiku tanpa memberiku waktu untuk menolak. Kini potongan buah segar bercampur mayonaise, keju dan susu itu sudah memenuhi mulutku.

Waktu terus berjalan tanpa meminta persetujuan, kini salad buah yang kubawa tinggal setengah. Kami menikmatinya sambil berbincang-bincang ringan, yah... seperti yang kalian tahu Kistain-lah yang mendominasi pembicaraan.

Setelah lari pagi saat itu, Kistain membelikanku buah dan sayur untuk kumakan secara rutin. Aku yang tidak terlalu suka buah dan sayur mengusulkan ide untuk menyantap salad buah  bersama-sama di kedai kopi langganan Kistain. Usulku diterima dan kami berjanji untuk bertemu esok harinya.

Saat itu aku dengan setia mendengarkan celotehan Kistain tentang anak ayam Pak RT yang sudah dirinya ceritakan beberapa kali. Tapi anehnya aku tidak pernah merasa bosan dan tetap tertawa dengan selingan lolucon yang Kistain lontarkan.

Tidak terasa salad yang kubuat sudah habis tak bersisa. Kistain terlihat sangat menikmatinya sekali sampai bertanya apa aku membawa kotak kedua. Aku hanya tertawa dan geleng-geleng kepala mendengarnya.

Setelah tawa kami reda, Kistain mulai bertanya-tanya tentang diriku.  Kistain mulai bertanya hal-hal sederhana seperti ; apa makanan kesukaanku, apa hobiku, hewan apa yang paling kusuka dan kubenci. Sampai bertanya ke hal yang lebih mendalam seperti : apa kamu keberatan kalau aku ingin lebih mengenalmu?

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Pipiku memanas dan Kistain melihatnya. Kistain ikut tersenyum sampai menunjukkan lesung pipinya yang dalam. 

Tentu saja aku tidak menjawab dengan ucapan, karena rasanya susah sekali untuk berkata-kata disaat seperti itu. Saking senangnya aku hanya bisa tersenyum dan tersenyum. 

Ah... aku seperti orang gila saat itu. Dan Kistain menganggap itu sebagai jawaban 'iya.'

Mungkin saat itu Kistain berpikir dialah orang pertama yang ingin mengenalku, namun jauh dari hari dimana kita bertemu saat itu, akulah yang pertama kali ingin mengenalnya. 

Dia bicara tentang aku yang memiliki selera sama dengannya dalam memilih tempat duduk. Dia tidak menyangka jika tempat yang kupilih adalah tempatnya duduk di saat datang ke kedai. Dan ternyata benar dugaanku, Kistain selalu minta pada pegawai kedai untuk mengosongkan tempat yang satu itu untuk dirinya. Kistain juga bahkan mengenalkanku pada pegawai kedai yang ternyata sudah membantunya mendapatkan tempat itu. 

Namanya Anto Cahyadi. Kami saling berkenalan, dan dari yang kulihat saat itu Anto bukanlah penduduk asli. Dia bilang dirinya perantau dari pulau Kalimantan. Pantas saja logatnya sedikit berbeda dengan logat asli penduduk sini yang mayoritas dari suku Sunda. 

"Nisti, aku hampir lupa. Aku juga punya sesuatu buat kamu." ujar Kistain bersemangat. 

Dari awal Kistain masuk aku tidak melihatnya membawa apa-apa, tapi tiba-tiba saja sekarang tas kain berwarna merah sudah ada didekat sepatunya. 
Apa aku kurang memperhatikan?

"Ini dia." Kistain menyodorkannya ke hadapanku.
Aku menatapnya heran.

"Ini ambil. Aku susah-susah sembunyikan jambu ini dibalik kaos waktu itu. Sekarang sudah matang total, jadi kita bisa makan ini bareng-bareng." 

Aku segera mengambil kertas dan pena, 'Dapat dari mana?'

"Dari pohon jambu yang waktu itu." jawabnya dengan cengiran tak berdosa.

'Tapi gimana ambilnya? kok bisa?' 

"Bisa dong! kan aku sembunyikan dibalik kaos, pas aku masukin ke kaos aku menutup kaosnya dengan topi, jadi tidak terlihat menonjol. Hahaha!" Kistain tertawa kencang sampai membuat pengunjung lainnya melirik kami.


Ternyata aku baru ingat dan sadar sesuatu. Kistain yang membuka topi, Kistain yang memeluk topinya dengan erat dan tatapan matanya yang selalu memandang sandal tak lain dan tak bukan adalah untuk menyembunyikan jambu yang dirinya ambil. 

Aku tertawa saat menyadarinya.

Kistain yang mendengarku tertawa akhirnya tertawa lagi, terus saja sampai kami kelelahan tertawa.

"Eh tapi kamu tenang saja, aku sudah memberi Pak RT jambu air milik kakek, kok. Jadi impas. Yah meski Pak RT tahunya aku memberi jambu itu untuk permintaan maaf, sih. Hahaha!" 

Untuk hari penuh tawa dan cerita hari itu, aku mengerti. Hati tidak butuh alasan untuk jatuh.

Share : || IG || Twitter ||Fb ||

Enter your comment...

PUBLISH       PREVIEW


2 komentar:

Tolong berkomentar yang baik dan sopan ya, readers! juga centang kolom 'Notify me' sebelum publish komentar untuk mendapat notif balasan.
^^