Tampilkan postingan dengan label Cerita mini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita mini. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Februari 2022

He said : Toxic Pocitivity

"Kapan terakhir kali kamu ingin memaki dan menyalahkan orang lain?"

"Kenapa?"

"Kamu terlihat terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini. Jujur, itu mengganggu." dia berjalan mendahului, salah satu tangan dimasukan kedalam saku celana panjangnya.

"Tahun lalu." aku mengejar langkahnya.

Hening. Hanya terdengar bising kendaraan khas lalu lintas. 

Aku enggan menoleh. Bahkan untuk sedetik saja aku tidak mau menoleh padanya. Dia terlalu pandai membaca perasaan. Dan lima menit terbuang dengan sia-sia sebelum akhirnya langkahku terhenti mengikuti langkahnya. 

"Haus." ujarnya seraya berbelok ke mini market pinggir jalan. 

Bodohnya aku hanya mengikuti tanpa bertanya.

"Semua punya waktunya masing-masing. Cepat atau lambat jika waktunya sudah tiba, yang datang akan datang dan yang pergi akan pergi." 

Aku masih mengikutinya yang kini berhenti di depan kulkas mini market. Lagi, tanpa suara.

"Kadaluarsa." gumamnya lalu meletakan minuman yang beberapa saat dirinya ambil. "Bahkan minuman yang tak bernyawa saja punya waktunya sendiri. Saat aku mengadukannya ke kasir, minuman itu akan segera disingkirkan. Di-sing-kir-kan."

"Iya aku tahu."

"Kamu tahu?" 180 derajat dia berbalik lurus menatapku dengan wajah hangat yang kini terasa sarkas.

"Aku tahu." jawabku pelan. Ada beberapa pilihan rasa, tapi aku memilih mengambil yang paling netral. Original. 

Kali ini aku mendahuluinya untuk membayar, lalu berjalan menuju kursi yang disediakan mini market. Entah kenapa aku merasa tersentil dengan pertanyaannya yang seakan sangsi dengan pernyataanku. Atau mungkin... aku hanya merasa, lagi-lagi dia seperti tahu segalanya.

"Kalau tahu, kenapa tidak coba untuk menyingkirkan? lupakan saja." 

Aku sampai tidak sadar kapan dirinya selesai membayar dan mengikuti untuk duduk.

"Rumit. Sekeras apapun aku berusaha melupakannya, tetap saja ingatan itu selalu muncul. Ditambah dengan pikiranku yang tidak hentinya mengkritik diri sendiri, berkata dengan seringnya bahwa aku bodoh dan salah. Kamu tahu, selama ini aku berusaha untuk membuat pikiranku sibuk dengan apapun itu. Aku mendengarkan musik, bermain dengan peliharaan, bahkan melakukan hal bodoh hanya agar membuat pikiranku sibuk. Dengan begitu semua terasa teralihkan."

Mata itu menatapku lagi. Kini, terasa lebih jauh. Membuatku segera mengalihkan atensi pada minuman yang masih penuh. Membuka kemasannya lalu menyesap sampai tersisa setengahnya.

"Aku tahu."

"Kalau sudah tahu untuk apa bertanya?" aku benci saat asumsinya tentangku benar.

"Karena kamu perlu cerita. Ya meskipun saat kamu menceritakannya kamu akan kembali mengingat kejadian itu, setidaknya kamu merasa ada yang mendengarkan."

"Sudahlah, kebanyakan orang hanya penasaran saja, bukan-"

"Aku peduli." 

Rasanya seperti ingin menangis, tapi tidak ada air mata yang keluar. Tergugu dalam hening dengan tangan yang sibuk mengepal keras. 

Dia mengambil alih minuman yang entah seberapa keras aku memegangnya. "Boleh aku bicara? bukan untuk membuatmu percaya. Hanya ingin mengutarakan pikiranku saja."

Laki-laki itu tidak kunjung berbicara, sehingga aku harus berat hati mengangguk dan mengijinkannya.

"Apapun yang mereka katakan dan lakukan padamu, semua itu hanya ada dicerita mereka, bukan dicerita semua orang. Mereka bisa saja mencacimu, menjatuhkan, menohok sisi sensitifmu tentang sesuatu harus dilakukan sesuai aturan yang sempurna, tentang pikiranmu yang mewajibkan rasa bersalah ada disetiap hal yang tidak sempurna, tapi mereka tidak bisa menghalangi pikiran orang lain tentangmu. Mereka tidak bisa mencari sekutu agar satu pendapat dengan mereka, karena mereka hidup di dunia yang sempit."

"Intinya, hanya karena kamu buruk di mata mereka, bukan artinya kamu buruk di mata orang lain. Banyak yang masih peduli padamu tanpa peduli siapa kamu, kamu bisa melakukan sesuatu yang berguna atau tidak, kinerjamu baik atau buruk, atau bahkan dirimu tahu atau tidak. Ini dunia, bukan ruangan kecil. Mereka yang berdiam diruangan kecil tentu saja punya pikiran sempit. Oh benar, bukannya kamu ingin memaki dan menyalahkan? lakukan saja sekarang dan berhenti jadi positif yang toxic!"

Aku terisak pelan mendengar kalimatnya yang terakhir. Merasa dia memang pantas tahu akan semuanya. "Aku hanya merasa tidak terima dengan perlakuan mereka dan kembali mempertanyakan pada diri sendiri apa masalahnya? mungkinkah aku yang salah sehingga mereka bertingkah seperti itu padaku?"

"Dengar. Semua orang melakukan kesalahan, tapi tidak semua orang punya rasa bersalah. Kalau kamu sudah merasa bersalah dan meminta maaf namun tidak mengubah semuanya, itu artinya mereka memang tidak pantas kamu pikirkan." setelah mengatakan itu tangannya tergerak membuka kemasan minumanku yang aku yakin sulit dibuka karena rusak.

"Mereka juga salah. Mereka yang berpikiran sempit. Siapa makhluk di muka bumi ini yang berhak untuk tidak memaafkan sesamanya? Tidak ada! dan meskipun ada, mereka bahkan tidak pantas untuk sekedar kamu pikirkan. Dengar, hanya kamu yang terlalu berlarut-larut."

"Aku rasa begitu. Aku sampai sulit tidur untuk beberapa bulan karena kejadian-kejadian itu terus saja bermain dipikiranku. Mungkinkah aku terlalu tidak menerima?"

"Kurasa begitu. Jadi kurasa, kamu hanya perlu jadi tidak peduli dan menerima." ia meraih tanganku dan memberikan minumanku yang sudah terbuka. 

Aku meminumnya enggan. Masih ingin tergugu tapi itu tidak sopan jika mengabaikan niat baiknya.

"Masih ingin memaki?" tanyanya dengan senyum jahil.

"Tidak lah. Aku bukan mereka." wajahnya yang tiba-tiba berubah membuatku tertawa kecil.

"Sedikit saja, aku ijinkan."

"Tidaaak."

"Ayolah. Perlu kuajari? aku sudah menyiapkannya dari tadi untuk mereka."

Mungkinkah dari tadi laki-laki itu menahan kesal untukku? boleh tidak aku merasa tersipu dan merasa asumsiku benar?

"SIALAN!" makiku.

"Aku?" tanyanya dengan wajah terkejut.

"Mereka."

"Oke lanjutkan." jawabnya seraya mengacungkan jempul dan tersenyum puas.

"Dasar orang jahat! semoga harimu senin semua! selalu kehabisan diskon seumur hidup! kudoakan tidak ada lahan parkir untuk kendaraan kalian kemana pun kalian pergi!"

"Wow... itu cukup kejam. Hahaha!"

"Hahaha! sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini."

Rasanya bebas dan lepas saat tahu ada yang mau mendukung dan mendengarkanku. Mungkin aku tidak jadi membenci semua asumsinya yang selalu benar, karena aku merasa dia memang orang yang tepat untuk mengetahui itu semua.



TAMAT.




Continue reading He said : Toxic Pocitivity

Senin, 17 Mei 2021

,

Sesuatu yang pernah jadi 'menyenangkan'

Seringnya, seseorang memendam perasaan bukan untuk menutupi. Tetapi karena dengan begitu semua terasa baik-baik saja. Dengan begitu mata masih bisa melihat tanpa ragu, telinga bisa mendengar dengan jelas, bibir masih bisa berucap lugas, dan hati... tentu saja bisa merasakan dengan tenang. Karena ada kalanya menutupi adalah cara ampuh untuk membatasi luka.

Seseorang pernah datang padaku dengan senyum paling indah saat aku remaja. Aku tentu saja tidak bodoh untuk mengenali getaran yang hatiku kirim ke otak bernama 'perasaan suka'. Hanya saja bodohnya aku membiarkan perasan itu terpupuk seiring dengan berjalannya waktu, tanpa mewanti-wantinya lebih dulu bahwasannya itu hanya perasaan satu pihak. 

Rasanya seperti buta, saat aku menyadari hatiku sudah mengenali perasaannya. Dan setelahnya aku dengan bangga mengklaim bahwa hatiku adalah miliknya tanpa peduli apakah hatinya pun memilihku atau tidak. Menyedihkan memang jika dilihat dari masa kini. Tapi dulu saat aku merasakannya, itu adalah perasaan paling menyenangkan. 

Kamu tahu, berangkat pagi-pagi dan suka rela mengambil jatah piket teman tidak pernah semenyenangkan saat itu. Dimana saat melakukannya, aku akan punya alasan untuk menunggunya datang dengan sapu dan serok di tangan meski pada nyatanya aku hanya menyapu bagian-bagian terdepan dekat pintu dan mengabaikan bagian lain. 

Aku ingin menyapamu saat datang dalam sunyi.

Hingga akhirnya waktu pun berjalan sambil memberi ujian demi ujian yang membuat aku berproses. Tidak seperti saat itu, kini logika ikut andil dalam semua tindakan. Caranya mengingatkanku akan beberapa tahun silam yang menampar dengan kenyataan bahwa... dia tidak pernah melihatku membuatku hiatus cukup lama untuk menggunakan hati.

Dan ini membuatku bertanya-tanya. Bukannya dari dulu aku sudah tahu dia tidak mungkin melirikku, tapi kenapa baru sekarang aku merasakan patah? saat melihatnya sudah mulai memperkenalkan gadis pilihannya pada dunia. Dunia yang berisikan teman-teman yang melihat bagaimana dirinya berusaha mendapatkan gadis impiannya, yang memang pada nyatanya jauh lebih pantas untuk didapatkan.

Yah, aku memang tahu. Aku tahu aku sedang berusaha menerima itu, dan aku juga tahu kalau sebenarnya otak diam-diam memerintahkan hati untuk mengalihkan fokus. Baguslah, itu bekerja dengan baik. Asalkan tidak bertemu dengannya, aku akan baik-baik saja. 

Namun tanpa sadar aku pun lupa, bahwa tujuan pengalihan itu sendiri adalah juga untuk menutupi hatiku yang berbisik : mungkin aku pernah menyukainya untuk waktu yang lama, tapi bukan mencintai. Sebab aku masih baik-baik saja, sebab dari awal aku membatasi hanya untuk menyukai, dan sebab aku tahu semua perasaan punya waktunya masing-masing.






Continue reading Sesuatu yang pernah jadi 'menyenangkan'

Sabtu, 26 Desember 2020

Delapan Puluh Persen

Nisti : 'Ada apa Kistain?' tanya Nisti sambil meletakkan cangkir teh di pangkuan. Menggenggamnya untuk mendapatkan hangat.

Kistain : "Hanya sedikit sedih karena sesuatu." jawab Kistain sambil menatap Nisti sekilas, sebelum kembali menyesap teh.

Nisti : 'Mau cerita?'

Kistain : "Mungkin nanti..." lagi-lagi menyesap teh.

Nisti : 'Kistain, aku memang tidak bisa mendengar. Tapi bisa memahami.' Nisti tersenyum saat Kistain menoleh. Tangan hangat yang sedari tadi menggenggam cangkir teh kini menggenggam tangan lelaki di sampingnya.

Kistain : "Bukan begitu Nisti, bukannya tidak mau cerita. Terkadang, tidak semua masalah bisa diceritakan. Karena seringnya 20% itu bercerita dan 80% mengingat kejadiannya."

Nisti : 'Kalau begitu berikan aku 80%-nya. Agar kamu bisa leluasa bercerita, Kistain.' 



Continue reading Delapan Puluh Persen