Pasti yang terlintas di benak saat mendengar kata sepatu adalah sepasang. Sepasang adalah kata yang sebenarnya bisa dipasangkan dengan kata atau kalimat mana pun. Terkecuali kata dengan kata dasar satu. Kenapa? karena sepasang tidak mungkin berjumlah satu, dan yang bersatu tidak cukup hanya karena sepasang.
Kamu tahu, definisi sepasang adalah bersama. Bersama bisa juga beriringan, hanya beriringan dan bukan bersatu. Untuk bersatu butuh satu kesamaan, maka dari itu bersama saja tidak cukup. Dan kali ini... aku membawakan kisah sepasang sepatu yang terjadi beberapa tahun lalu.
~~
Kamu pernah bilang akan berdamai dengan perasaanku, sebelum akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan. Seseorang yang kuanggap cinta dimasa remaja itu menghilang ketika aku mengatakan semuanya. Pergi dengan semua janji, hilang dengan semua enggan, dan melupakan tanpa segan.
"Maaf." ujarnya saat itu.
Satu kata yang meluncur sejurus kemudian setelah helaan nafas lega keluar dari rongga dada. Anehnya, tidak ada perasaan sakit yang sejak tiga tahun lalu aku bayangkan rasanya, bahkan hanya untuk secuil rasa kecewa pun dengan ajaib tidak terasa. Hanya ada helaan nafas mafhum sangat ringan saat mendengarnya.
"Jangan minta maaf, aku mengatakannya untuk didengarkan saja. Bukan untuk menerima maaf yang sebenarnya aku juga tidak paham maafmu untuk apa." aku tersenyum, yang anehnya kali ini sedikit terasa sesak.
"Tapi kita bisa jadi teman- ah tidak, kita bisa jadi sahabat." aku bisa melihat bagaimana sulitnya untuk dia merangkai kata.
Aku hanya bisa terkekeh kecil menghargai niat menghiburnya. Tentu saja akan mentok di sahabat, kan. Memangnya mau jadi apa lagi? Saudara?
Oh itu bahkan jauh lebih menyakitkan untuk dibayangkan.
Laki-laki jangkung itu menepuk pundakku pelan dan tersenyum, kulitnya yang putih jadi sedikit memerah. Entah karena panas terkena sinar matahari atau sedang menahan rasa malu. "Kalau begitu aku pergi. Aku akan menghubungimu setibanya di sana."
Aku mengangguk seraya mengulum senyum, kemudian mendorong kecil pundaknya untuk segera mengurus administrasi kepergian. Dia menurut, bahkan tidak ada penolakan dari doronganku. Seakan memang itu yang ia mau.
Beberapa langkah selanjutnya, tepatnya saat petugas meminta persyaratan dia kembali menoleh padaku. Lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum. Kali ini dengan tangan yang melambai sebagai tanda perpisahan. Tapi laki-laki di seberang sana masih menunjukkan raut wajah gusar.
Aku membuka panggilan untuknya yang tidak butuh waktu lama untuk tersambung. Laki-laki itu mengangkat panggilanku masih dengan menatapku dari tempatnya.
"Jangan merasa terbebani, Alden. Aku-"
"Kamu baik-baik saja?"
Aku terkekeh sebelum menjawab, "Aku akan baik-baik saja... tenang saja oke?" untuk meyakinkannya aku sampai harus mengangkat tangan dan menyatukan ibu jari dengan telunjuk. Membuat ketiga jariku yang lain terlihat lebih tinggi.
"Kalau begitu aku pergi, Rita. Jaga dirimu baik-baik."
Petugas telah selesai memeriksa, dan laki-laki itu baru akan menjauhkan ponsel dari telinga sebelum aku menghentikannya dan berucap untuk yang terakhir kalinya.
"Sampai jumpa Alden. Kamu tidak perlu menghubungiku lagi. Aku ingin menjadi perempuan yang hatinya baik-baik saja."
Setelah itu aku menutup panggilan dan membiarkan Alden mematung ditempatnya. Lalu berbalik dan bersiap untuk pulang. Menyusun hati yang akhirnya sampai pada titik akhir, membiarkan isakan kecil lolos begitu saja tanpa permisi.

0 comments:
Posting Komentar
Tolong berkomentar yang baik dan sopan ya, readers! juga centang kolom 'Notify me' sebelum publish komentar untuk mendapat notif balasan.
^^