Senin, 27 April 2020

, ,

[Cerbung] SENANDIKA BAB 7 : PINUS KERING

 SENANDIKA oleh Poetess05
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Keterangan : 
Tanda kutip satu (' ') untuk memulai Nisti yang sedang mengetik atau menyampaikan sesuatu dengan bahasa isyarat.
🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Kamu benar, Kistain. Mereka tidak layu, melainkan memulai sebuah kehidupan baru. Dengan kisah baru dan juga tempat baru.
Akan tetapi tidak dengan kenangan dan perasaan yang belum berlalu.
***
Posted by Penasunyi
Manusia hanya bisa merencanakan, tapi tidak dengan menentukan sesuatu akan terwujud atau tidak dengan pasti. Kata-kata mutiara itulah yang sedang susah payah aku sampaikan pada sahabatku, Rita.
Waktu itu adalah hari pengumuman SBMPTN. Kami -Aku, Kistain dan Rita menjadi beberapa dari mereka yang menanti-nanti sebuah kabar penting saat itu.
Rita yang tidak ingin membuka pengumuman sendiri akhirnya mengajak aku dan Kistain untuk menemaninya membuka hasil.
Sore itu aku dan Kistain baru saja pulang dari taman baca. Aku habis menemani Kistain yang katanya ingin mencari series komik kesukaannya disana. Untung saja tidak ketemu. Karena jika ketemu, aku yakin tidak akan pulang secepat ini.
Rita menungguku di depan pintu gerbang rumahku. Lengkap dengan ponsel ditangan kirinya dan sepasang cengiran antusias dibibirnya.
"Lho, bukannya ini teman Nisti?" Tanya Kistain.
Aku baru sadar kalau Kistain belum pulang dan masih setia mengekoriku dari belakang.
"Iya. Kamu cucuknya Pak Danu kan?"
"Bukan, aku cucuk Kakekku." Jawab Kistain sekonyong-konyong.
Rita mengulurkan tangan kanannya, mengajak Kistain bersalaman sebagai tanda perkenalan resmi. "Rita Yudia."
"Kistain Mahendra."
Kami terdiam beberapa detik. Setelah perkenalan lalu apa?
Tentu saja maksud kedatangan Rita. Harusnya Rita segera menjelaskan, tapi sore itu Rita hanya sibuk menggulung lengan baju panjang nya yang menutupi jari sambil tersenyum tipis.
Aku rasa cukup tipis.
Aku memegang pundaknya, masih dengan tatapan bertanya.
"Oh iya. Aku datang kesini untuk mengajakmu melihat hasil SBMPTN bersama-sama. Aku terlalu tegang untuk melihatnya sendiri."
"Aku?" Kistain menunjuk dirinya dengan jari telunjuk.
"Iya, kamu juga." Kata Rita.
Aku mengajak Rita dan Kistain untuk menungguku di ruang tamu selagi aku membersihkan diri. Tapi mereka menolak dengan dalih suasana di teras lebih sejuk.
Tiga cangkir teh, setoples biskuit, dan pembahasan paling serius sejagat raya anak sekolah adalah hal yang tengah tersuguhkan dihadapan kami. Aku tidak sabar sekaligus takut untuk mengetahui hasilnya nanti.
Tapi Rita tidak. Dia tampak lebih santai dari sebelumnya.
"Bismillahirrahmanirrahim, aku buka ya." Rita mulai mengetikkan link pengumuman.
Aku dan Kistain mengintip sambil ikut merasakan tegang. Ini benar-benar menegangkan! Rasanya seperti sedang merumuskan Pancasila ditengah serangan penjajah.
Ah mungkin tidak.
Mungkin lebih dari itu. Rasanya seperti disuruh membuka isi raport dihadapan orang tua.
Kistain yang kini duduk sila mulai terlihat tak tenang. Matanya terus memandangi biskuit dan teh yang masih belum disentuh dengan alis berkerut.
"Kenapa aku jadi mulas?" tanyanya polos.
Sontak aku dan Rita tertawa lepas dan kencang.
Aku menyodorkan biskuit pada Kistain selagi menunggu halaman yang cukup lama memproses. Sepertinya satu Indonesia tengah membukan halaman itu. Tapi Kistain justru menggeleng sambil berkata bahwa dirinya tidak ingin biskuit.
Sekarang aku paham.
Kistain memandang lantai, bukan biskuit atau teh.
Kistain mulas karena tegang, bukan karena-
"Kurasa rasa asam sambal yang aku makan tadi bukan dari cuka, tapi sepertinya sambal itu memang sudah basi." Ujar Kistain.
Aku mencoba mengingat kejadian tadi pagi. Sejak hari itu aku dan Kistain memang jadi lebih sering jalan-jalan pagi. Agenda kami setelah jalan santai adalah makan bubur mang Juju di pengkolan kompleks. Tapi tadi memang rasa sambalnya sedikit berbeda. Sedikit masam.
Padahal Kistain sudah terlanjur memasukkan banyak sambal di buburnya.
"Yasudah sana kamu ke wc dulu. Kasian sekali seperti akan lahiran. Hahaha!" kini Rita yang menimpali.
Kistain segera bangkit, topinya terjatuh saat dirinya akan berdiri.
"Aku pamit dulu, ya. Nanti jika masih sempat aku kesini lagi. Semoga berhasil, Rita!" Seru Kistain sambil berlari.
Aku mengambil topinya dan menyimpannya diantara kakiku dan Rita.
"Bagaimana jika tidak lolos?" Tanya Rita.
Aku membalas dengan bahasa isyarat, 'Berarti Tuhan sudah menyiapkan rencana yang lebih baik buat kamu.'
"Benar juga." Rita kembali memperhatikan ponselnya.
"Ah! Kebuka. Nisti... Ya ampun aku takut! Aduh gimana ini... Oke tarik nafas... Buang. Aku bisa!"
Aku tersenyum geli melihat Rita yang sibuk dengan dirinya sendiri.
Dan beberapa saat kemudian aku pun harus mengeluarkan kata-kata mutiara yang sering aku baca di internet untuk Rita.
Hasilnya tidak terlalu buruk, Rita lulus di pilihan kedua. Itu artinya salah satu universitas di kota ini. Tapi mimpinya dari awal yang ingin ke universitas disana harus pupus seketika.
Kalau boleh hanya memilih satu, Rita hanya akan memilih pilihan nomor satunya saja. Karena dari awal hanya memiliki tujuan dan harapan ke satu universitas berlambang gajah itu, akhirnya membuat Rita tidak tahu tentang universitas yang lain. Tepatnya tidak berminat.
Alhasil sisanya dia hanya asal pilih.
Rita menangis terisak-isak. Pundaknya bergetar dan suara tangisnya tertahan. Aku memeluknya tanpa kata. Semua kata-kata yang sudah kusiapkan melebur begitu saja. Tergantikan dengan sebuah pelukan penenang.
Melihat sahabat menangis adalah hal yang sangat menyakitkan untukku. Setidaknya saat itu. Aku yang tahu bagaimana visi itu masih jadi sebuah mimpi, saat Rita berkata : "Sepertinya seru." Sampai "Aku harus bisa masuk kesana."
Dan sore itu berakhir dengan Rita yang menangis.
Aku menyodorkan teh hangat untuk Rita.
"Terimakasih ya. Maaf aku cengeng dihadapanmu."
Aku menggeleng.
'Minum saat masih hangat. Itu akan menenangkanmu.' Aku tersenyum bangga dengan teori yang kupinjam tanpa ijin dari Kistain.
"Hem... Benar. Rasanya sedikit membaik. Jadi... Nisti sudah bisa menghibur, ya." Rita mengatakannya sambil tertawa pelan dan mengusap air matanya.
Aku mengangguk, tanganku menepuk dada pelan. Membanggakan diri.
"Siapa yang mengajari?"
Aku menjawab bahwa Kistain yang mengajari. Lebih tepatnya aku yang belajar dari tingkah lakunya yang perhatian dan pengertian disaat-saat yang tidak terduga.
Aku jadi teringat cup di dapur.
Kepala Rita tiba-tiba menyandar dipundakku. Membuat lamunanku tentang Kistain sore itu buyar.
"Sepertinya Kistain orang yang baik, ya? Tapi sedikit konyol. Haha!"
Aku mengangguk membenarkan perkataan Rita.
"Membuat orang dengan mudah mengenal dan tidak canggung. Rasanya seperti sudah lama kenal."
Lagi, aku mengangguk membenarkan.
"Coba kamu lihat keluar. Dia sedang berlari kesini." Rita mengangkat kepalanya dari pundakku.
Benar saja, gerbang yang tertutup sudah terbuka lebar. Sangat lebar karena Kistain membuka dua buah sisi pagar sekaligus. Dia yang masuk tapi rasanya seperti akan ada mobil yang masuk.
Kantong merah yang pernah kulihat itu seperti terisi oleh sesuatu yang tidak cukup besar. Aku mengamatinya diam-diam.
"Assalamualaikum. Gimana hasilnya? Maaf ya aku telat. Syukurlah belum terlalu sore, jd masih bisa kesini." Kistain masih mengatur nafas.
"Waalaikumsalam... Hehe coba lagi." Jawab Rita.
"Hah? Padahal aku yakin kamu bisa. Tapi memang ya, manusia hanya bisa berencana. Pilihan kedua dan ketiga bagaimana?"
"Sebenarnya aku lolos di pilihan kedua. Tapi rasanya tidak sama, aku gagal." Suara Rita bergetar saat mengatakannya.
Tangannya terkepal menahan tangis. Kistain yang melihat itu langsung mengeluarkan sesuatu dari tas merahnya.
"Makan saat masih dingin. Aku ragu kamu suka kalau makanannya sudah jadi hangat. Hehe."
Aku dan Rita tertawa lagi. Perkataan Kistain memang benar, dan selalu benar. Tapi entah kenapa aku selalu ingin tertawa jika Kistain sudah memulai teorinya yang selalu mendefinisikan sesuatu yang tidak perlu.
Naik itu keatas.
Turun itu kebawah.
Dan es krim lebih enak dimakan saat dingin.
Semua orang tahu!
"Terimakasih, Kistain. Dingin memang lebih enak." Kata Rita sambil tertawa.
Aku membuka es krim rasa vanilla kesukaanku, sedangkan Rita rasa strawberry dan Kistain rasa cokelat.
Kami tidak lagi membicarakan tentang SBMPTN. Kistain mengalihkan pembicaraan ke hal yang lebih seru. Sambil memakan es krim di sore hari, kami bercakap tentang liburan ke tempat wisata yang sedang hangat dibicarakan saat itu.
Entah apa yang akan dipilih Rita untuk kedepannya. Kita lihat saja nanti. Sekarang aku mau menceritakan buku yang kutulis bersama Kistain padamu. Juga tumbuhan kering yang menjadi pembatas kenangan hari itu.
Kami memutuskan untuk pergi bersama di hari Minggu. Meski tahu tempatnya akan ramai tapi kami tetap memutuskan untuk berangkat. Saat pergi kami diantar Paman Sani -Ayah Rita. Tapi untuk pulangnya kami akan naik bus saja. Saat itu bus adalah tempat ternyaman dan harganya pas dikantong.
Aku dan Kistain duduk dikursi penumpang, sedangkan Rita duduk disamping Ayahnya yang sedang menyetir. Sepanjang perjalanan aku dan Kistain saling bertukar candaan.
Tentu saja didominasi oleh Kistain.
"Kenapa rambutnya harus diikat?" Tanya Kistain sambil berbisik.
Aku mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu.
'Gerah.'
"Nanti disana mending dibuka." Kistain memainkan rambut yang aku kuncir pendek.
'Kenapa?' ketikku lagi.
"Panas. Aku gak bawa payung."
'Tenang... Aku bawa lotion anti belang haha'
Kistain tertawa.
Dan Rita sedang curi-curi pandang padaku dan Kistain. Sepertinya tawa Kistain terlalu kencang.
Sesampainya di tempat wisata, Paman Sani langsung pamit untuk pulang. Betapa baik hatinya Paman Sani ini. Tahu saja kami butuh liburan tapi tidak punya uang. Semuanya dibiayai oleh beliau.
Kami jalan beriringan. Aku dibelah kanan, Rita ditengah dan Kistain kiri.





Sepanjang perjalanan kami dikelilingi oleh pohon pinus dan payung-payung cantik warna-warni yang menjadi pelindung kami dari sinar matahari

Sepanjang perjalanan kami dikelilingi oleh pohon pinus dan payung-payung cantik warna-warni yang menjadi pelindung kami dari sinar matahari.
Kami datang pagi hari, jadi belum terlalu panas. Tapi kalau boleh dibilang tempat ini justru tidak ada panas-panasnya sama sekali. Udaranya sejuk dan pohon-pohonnya rindang. Khas aroma hutan yang dipercantik.
Aku menawarkan diri untuk memfoto Rita yang tidak bisa lepas dari foto diri.
Ini adalah gaya potret ke-sepuluh yang aku ambil untuk Rita. Kistain sampai bosan dan menggelar kain di seberang jalan sambil menikmati salad yang kubuat.
"Masih lama tidak? Aku lapaaaar..." Kistain mengatakannya sambil memasukkan suapan ke-tiga ke mulutnya yang penuh.
"Sebentar! Satu lagi, ya Nistiku sayaaang. Coba sekarang aku ambil posisi sedikit tinggi deh."
Setelah melewati jalanan berpayung, akan ada tempat untuk orang yang ingin menyewa ayunan kain. Tempatnya ada di sisi-sisi jalan utama. Hanya saja, tanahnya tidak datar. Untuk kesana harus sedikit melalui undakan tanah yang cukup menanjak dan licin karena banyak buah pinus yang kering.
Aku tetap dijalan utama, menunggu Rita selesai menanjak dan mengambil pose indah.
Kistain?
Tanpa rasa malu dia masih melanjutkan makannya dengan lahap. Tapi meski begitu aku suka jika Kistain selalu menyukai salad buatanku.
Saat lari pagi waktu itu aku dan Kistain bertukar nomor telepon. Rasanya aneh baru bertukar nomor masing-masing setelah cukup lama kenal. Dan sebelum pergi berlibur, Kistain memintaku untuk membuatkan salad buah kesukaannya.
Pantas saja saat itu dia membawa kantung merah. Ternyata isinya buah-buahan untuk dijadikan salad.
"Saking enaknya aku tidak rela berbagi." Ujar Kistain saat aku memasukan salad ke ransel.
Memangnya kapan dia berbagi salad pada orang lain selain padaku? Itupun dia yang menghabiskan lebih banyak.
Saat tengah diam-diam memotret Kistain, tiba-tiba objek yang sudah ku potret terlihat panik dan spontan berlari kencang.
Aku menurunkan kamera. Disana, aku melihat Kistain yang tengan membantu Rita untuk bangun yang tertatih-tatih.
Tanah yang menanjak membuat Kistain kesusahan menarik tangan Rita yang posisinya berada diatas Kistain.
"Ayo turun pelan-pelan. Kamu bisa pegangan ke tanganku." Ucap Kistain sambil terus membujuk Rita yang takut-takut mengambil uluran tangan Kistain.
Ternyata Rita terjatuh saat akan turun. Kakinya menginjak buah pinus kering dan membuat kakinya terkilir.
Aku hanya diam tanpa berbuat apa-apa. Takut jika ingin membantu malah jadi menyusahkan.
Dalam satu tarikan tangan Kistain, Rita sudah berhasil turun. Sebelum Kistain memutuskan untuk menarik tangan Rita dari bawah alih-alih dia yang naik, aku melihat matanya melirik padaku.
Seakan bingung harus naik dan meninggalkanku dibawah atau membawa Rita ke bawah dan mengobati lukanya bersamaku.
Tapi meski tahu, hal itu tidak membuatku senang. Aku tahu aku jahat karena masih sempat merasakan hal seperti itu disaat seperti ini.
Aku menghampiri keduanya sambil membantu Rita duduk. Sedangkan Kistain menyerahkan Rita sepenuhnya padaku.
'Sakit?' tanyaku. Aku lihat matanya sudah berkaca-kaca.
Rita mengangguk. Perjalanan tidak lagi dapat dinikmati jika sudah begitu. Aku pun memutuskan untuk melihat Kistain yang tengah membereskan makanannya.
"Nisti, tolong hubungin Ayah, ya. Aku mau pulang saja."
"Kasihan Paman Sani kalau harus putar arah. Pasti belum sampai juga kan. Kita makan disini saja gimana?" Tanya Kistain.
"Daripada disini lebih baik jalan sedikit lagi. Tempatnya bagus buat gelar tikar. Ada yang menyewakan tikar juga disana." Jawab Rita.
Aku setuju.
Aku berjalan sambil menuntun Rita berjalan, dan disisi satunya lagi ada Kistain yang juga menuntun Rita dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan membawa bekal yang kami bawa.
Jalan kami terhenti, Kistain tiba-tiba berjongkok dihadapan Rita dan aku. Aku dan Rita memandangnya bingung.
"Kugendong sajalah. Kalau jalan seperti ini lama. Keburu siang juga kan nanti tidak kebagian tempat bagus."
Rita dan Kistain melirikku.
Aku?
Aku mendorong pelan tangan Rita agar dapat diraih Kistain. Tak perlu waktu lama Kistain pun mengambil tangan Rita dan mengalungkannya di lehernya. Dalam sekejap Rita sudah berada diatas punggung Kistain.
Kami pun bersenang-senang sampai Paman Sani memutuskan untuk menjemput saat mendengar kabar puterinya yang terluka.
Setelah perjalanan panjang hari itu Kistain tidak banyak bicara. Kini gantian Rita yang lebih banyak bercerita. Aku tertawa sesekali saat Rita yang antusias menceritakan kejadian saat aku dan dirinya masih sekolah.
Paman Sani juga ikut tertawa. Kistain memejamkan matanya alih-alih ikut tertawa bersama. Kepalanya disandarkan pada kaca mobil.
Aku yang melihat itu jadi kehilangan selera humor. Sepanjang perjalanan aku jadi mengikuti Kistain. Terdiam tanpa minat untuk cerita.
'Terimakasih paman.' aku menunjukkan tulisan yang aku ketik di ponsel pada paman Sani.
"Sama-sama Nisti... Makasih juga tadi Rita-nya sudah ditolongin. Makasih juga nak Kistain. Nanti paman bawakan koyo kerumah. Pasti punggungnya pegal." Paman Sani berkata sambil menepuk punggung Kistain pelan. Senyumnya tak lepas dari Kistain yang saat itu hanya tersenyum kikuk.
"Tidak kok, paman. Santai saja. Terimakasih untuk liburannya." Jawab Kistain.
"Sama-sama. Ya sudah, saya pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku dan Kistain pun melambaikan tangan pada Rita yang tidak ikut keluar mobil.
Kini hanya ada aku dan Kistain. Sebenarnya aku bingung harus bersikap bagaimana saat itu. Tapi aku lebih bingung lagi dengan situasi yang tiba-tiba jadi canggung.
"Maaf." Ujar Kistain tiba-tiba saat aku membuka pintu gerbang.
'Untuk apa?' tanyaku.
"Untuk hari ini."
Tidak perlu penjelasan untuk mengungkap perasaan yang terasa saat itu. Aku tahu apa maksudnya, dan aku menghargai niat tulusnya.
Aku bilang tidak apa-apa dan menyuruhnya segera pulang dan istirahat. Tapi Kistain justru menahan tanganku dan memberikan buku beserta buah pinus yang sudah kering.
Aku menerimanya dengan heran.
"Marah saja. Tapi jangan menjadi diam. Tulis semua keluhan kamu di buku itu. Nanti aku baca, kok. Dan ini, buah pinus kering ini aku kasih agar kamu tahu alasanku melakukannya dan jawaban atas marahmu. Ini salah si buah pinus kering." Penjelasan panjang lebar Kistain tak mampu menahan senyum dibibirku.
Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Kistain membalas senyumku dan mengambil tempat yang berisi wadah bekal kami.
"Aku yang cuci ya. Besok aku kembalikan. Aku pandai cuci piring! Dijamin bersih dan wangi."
Kistain segera berlari dan sesekali berbalik untuk melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya sebelum masuk kerumah.
Mulai hari itu, aku ataupun Kistain akan menuliskan semua keluhan dibuku itu.
Salah satu dari kita yang merasa bersalah akan memberikan buku itu pada pihak yang dirasa marah. Begitu seterusnya.
Sampai lambat laun seiring berjalannya waktu, buku itu tidak hanya berisikan keluhan saja, melainkan ikut terisi dengan ungkapan-ungkapan terimakasih untuk waktu yang dilalui bersama.
Untuk rasa hangat yang tercipta disetiap aku mengenang waktu kebersamaan kita.
A/n :
Hai! Terimakasih untuk waktu yang kalian luangkan untuk membaca kisahku. Aku hanya ingin memberitahu kalian agar tetap membacanya sampai akhir. Banyak sekali yang ingin aku sampaikan pada Kistain. Kuharap kalian mau membantuku menyampaikan padanya, bahwa aku rindu.
Kistain si raja Salad.
Share : || IG || Twitter ||Fb ||
Enter your comment...
PUBLISH PREVIEW

Postingan ini dibuat untuk tujuan promosi naskah Senandika yang sedang diikutsertakan lomba. Apabila beruntung, naskah ini bisa naik cetak. Jika kamu ingin membaca cerita ini versi lengkap, kamu bisa mengunjungi halaman ini https://www.wattpad.com/user/Poetess05
Terimakasih yang sudah berkunjuuuung! 

0 comments:

Posting Komentar

Tolong berkomentar yang baik dan sopan ya, readers! juga centang kolom 'Notify me' sebelum publish komentar untuk mendapat notif balasan.
^^