Jumat, 17 April 2020

, ,

Intuition of Love

Hari demi hari kujalani sepenuh hati. Aku gembira dengan kenyataan yang membawaku ke tempat ini. Tempat dimana sepanjang jalan aku hanya menemukan sekumpulan orang yang berkumpul tak jelas dengan alat musik masing-masing. Memperebutkan recehan yang orang lain lempar dan berikan cuma-cuma. Bahkan acapkali aku melihat persaingan tak sehat setiap harinya.
Tapi aku pertegas lagi, bahwa aku sangat menyukai tempat ini. Suara gesekkan biola dan petikkan gitar lebih baik daripada cacian. Wajah meminta belas kasih disinipun lebih indah dipandang ketimbang wajah manis mereka.
Disini semua berusaha semaksimal mungkin, tak ada yang mendapatkan segalanya dengan instan. Meski dikala logika meminta untuk kembali, aku tetap tak bisa. Apa daya jika hati memang sudah terluka. Bahkan pahitnya racun pun akan kalah rasanya jika dibandingkan dengan pahitnya kenyataan.
Ditempat sepi ini aku hanya memiliki gitar yang menjadi temanku. Pakaian kumal tanpa lengan, rambut yang sengaja kuurai, dan tak lupa jeans yang sudah tak layak pakai membuatku lebih pantas untuk disebut pengemis. 
Tak apa begini, meski penampilan tak menunjang yang penting bakatku sangatlah menunjang. Hah! Terdengar sombong sekali memang. Tapi itulah caraku menjadi kuat. Lebih baik aku dikatai sombong dan sok daripada harus dikasihani seperti orang-orang yang mengelilingiku.
Aku berjalan menyusuri gang kecil yang penuh genangan air dengan pikiran yang berkecamuk di setiap langkah. Dengan mengaitkan gitar pada pundak aku mulai meloncati genangan air itu secepat kilat. Aku tersenyum, jadi teringat masa lalu. Dulu ketika aku dan teman-teman melihat jalan yang seperti ini kami selalu menghina penduduknya yang bisa tahan dengan jalan seperti ini lalu memilih lewat jalan lain. Tapi itu dulu. Karena sekarang justru aku yang menjadi penduduk sini. Haaahh... permainan takdir.
"Aku pulang..." ucapku entah pada siapa. Lagi-lagi aku tersenyum, masih saja aku berhalusinasi tentang indahnya keluarga. Selanjutnya aku melangkahkan kakiku menuju dapur untuk meneguk segelas air, rasanya segar sekali. Aku lelah dan ingin sekali makan sesuatu, tapi aku tak bisa. Aku hanya punya gelas dengan air didalamnya saja.
TAP... TAP...
Aku mendengar langkah seseorang dalam kegelapan. Kuhampiri langkah itu dengan menajamkan indra pendengaranku untuk mengikuti asal suara. Disetiap detik aku melangkah suara langkah itupun kian mendekat. 
Aku berhenti untuk menajamkan telingaku, namun suara itupun hilang. Tak ada bayangan sama sekali dibelakangku saat kunyalakan saklar kamar, hanya ada diriku saat aku bercermin. Tapi aku mencium bau khas yang sudah kukenal belakangan hari ini tepat di belakang leherku.
"Ah! Kau. Kau membuatku kaget." ujarku pada sosok lelaki yang menggunakan pakaian tak jauh berbeda dariku saat ia meniup telingaku. Parasnya tampan dengan lesung pipi dan senyum hangatnya yang selalu ia tunjukkan hanya padaku.
"Kau pikir siapa? Apa ada orang lain yang kau tunggu?" tanyanya. Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, aku malu karena kebenaran yang ia ucapkan.
"Apa terlihat jelas, hah?" 
"Sangat." Jawabnya penuh penekanan. Aku membuang muka saat dirinya mulai menelisik setiap jengkal tubuhku. Dan aku tahu apa yang akan ia tanyakan lagi.
"Iya kau benar. Itu jawaban jika kau mengira aku lapar. Karena aku memang sangat lapar sekarang."
Aku tahu dan sudah hapal tabiatnya meski belum lama mengenal. Ia akan bertanya tentang hal yang sudah ia ketahui sebelumnya dan akan mengataiku pembohong jika aku tak berkata jujur. Harusnya dia tak usah bertanya jika sudah tau. 
Selalu saja begitu.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan manis." Ujarnya tiba-tiba. Ya-ya dia memang selalu tahu.
"Kemari." ia menarik tanganku menuju sudut ruangan dirumahku. Ia mendudukkan dirinya dilantai dan tentunya menarikku untuk duduk disebelahnya.
 "Kau tahu?" itulah suara yang pertama kali ia ucapkan saat kami disini.
 "Dulu saat aku masih sepertimu aku juga pernah merasakannya. Saat aku lapar, ibu selalu melakukan ini padaku."
Tangannya perlahan menarik tubuhku kepelukannya kemudian meletakkan kepalaku dibawah dengan beralaskan pahanya. Jari-jari kekarnya mengusap lembut rambutku penuh perasaan. Sekarang, aku seolah ikut merasakan juga apa yang ia rasakan dulu.
"Aku tak tahu harus berlari kemana ketika semua orang justru memberiku kepedihan diatas senangku. Ibuku pergi tepat saat aku berhasil mewujudkan mimpiku yang selama ini ia dukung. Ibu pergi dan mengatakan sudah tak menyayangiku lagi, aku tak mengerti mengapa ibu melakukan itu. Tapi saat aku melihat ayah keluar sambil meneriakki ibu dengan sebutan yang sama sekali tak pantas didengar anak seusiaku saat itu, aku lalu mengerti. Ayah dan ibu bertengkar."
Aku bisa melihat dari bawah Adnan menarik nafasnya dalam-dalam saat menceritakannya padaku. Aku tertegun melihat raut wajahnya yang seperti menahan sedih mendalam.
"Kemudian aku pergi untuk mencari jalanku sendiri. Dengan modal kemampuanku dalam musik, aku berani turun kejalan untuk menjual suaraku pada mereka yang berlalu lalang sepanjang jalan. Mereka puas dan akupun mendapatkan receh dari mereka. Tapi... tak jarang aku kelaparan karena tak dapat uang. Haha... sama sepertimu sekarang." ucapnya seraya menertawaiku.
"Kau ini, senang sekali mengejekku!" aku mencubit pahanya dengan keras meski aku tahu ia tak akan merasakan sakit. Tapi setidaknya aku bisa menunjukkan padanya kalau aku marah. 
Kemudian Adnan terdiam. Aku bangun dari pangkuannya, mengusap kepalanya dan tersenyum saat Adnan menoleh padaku. "Kau tidak sendiri, aku bersamamu. Walaupun Ayah dan Ibumu meninggalkanmu, tapi aku tidak akan meninggalkanmu." ujarku.
"Dasar sok kuat. Aku tahu kau terharu dengan kisah yang ku karang tadi." ucapnya tanpa dosa. 
"Apa?!! Jadi cerita itu hanya-" belum sempat aku menuntaskan ucapanku, Adnan menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Seakan kisah tadi itu benar adanya, seakan semua yang ia ucapkan benar, seakan ia..... benar-benar merasakannya.
"Aku tak mengerti apa yang kalian pikirkan disaat seperti ini. Yang ku tahu hanyalah kehidupan yang tak kekal ini membuatku tersesat." dengan lembut aku menyentuh tangannya yang terasa dingin saat bersentuhan denganku. Ku sunggingkan senyum tulus untuk menjawab pertanyaannya selama ini.
"Boleh ku jawab pertanyaanmu?" tanyaku. Ia terperanjat dari lamunannya, iris kelamnya membesar tatkala aku menawarkan diri untuk menjawab.
"Aku mengerti sekarang. Kau ingin aku cepat-cepat pergi dari sini, eh?"
Aku terbahak mendengarnya. Aku rasa dirinya telah salah paham. Tapi biarlah, dengan begitu aku tak perlu susah payah memikirkan cara untuk membuatnya kesal. "Pergilah aku mau tidur." Ujarku.
Namun ia tak juga bergeming dari duduknya dan justru menarikku kembali kepelukannya. 
"Tidurlah, aku temani" sebenarnya apa yang ia katakan. Haruskah aku mencerna dan menganggap serius perkataannya tadi itu. Mungkin sekali saja, untuk malam ini saja biarkan aku menghilangkan ego ku untuk sementara.

Continue reading Intuition of Love

Menulis Tanpa Popularitas

Pernah tidak, kamu dalam posisi mencari-cari apa yang kamu inginkan? Kalau pernah, kita sedang ada dalam fase yang sama. Sekarang aku sedang bingung. Mulai dari bingung menentukan nanti mau PKL dimana, judul apa yang mau diambil buat TA nanti, sampai hal-hal yang bentuknya hobi seperti nulis.

Ngomong-ngomong tentang nulis, dari SD aku memang sudah menggeluti dunia menulis. Aku merasa hanya menulis saja yang membuatku setidaknya lebih unggul dari teman-temanku. Dan aku selalu mencari apapun untuk bisa aku tulis. Aku baca buku, untuk aku tulis resensinya. Aku menghayal, untuk aku tulis hayalannya. Dan aku bermimpi, untuk aku tulis mimpinya.

Semua orang pasti memilih untuk mewujudkan impiannya ketimbang menuliskannya. Tapi bagiku, dengan menuliskannya, impianku semua sudah terwujud. Bagaimana aku mencapai pembacaku dengan tulisan dan membuat mereka tahu dengan apa yang aku pikirkan. Toh, mimpiku sendiri adalah berkomunikasi dengan orang banyak lewat tulisan.

Mulai dari membuat blog, yang entah ini sudah blog keberapa yang aku buat, sampai membuat akun di sosial media dan platform menulis. Aku sudah mencurahkan tulisanku. Tapi saat sudah mencapai beberapa orang, aku malah meninggalkannya. Aku kesal pada diriku yang seperti ini. Semangatku mudah tersulut dan mudah juga padam. Aku hanya perempuan yang kekurangan tekad.

Aku tahu kalian yang membaca postinganku ini hanya beberapa. Bahkan hanya itungan jari. Aku yakin. Tapi entah kenapa aku lebih nyaman seperti ini. Khususnya di postingan tentang aku yang berkeluh kesah. Tapi untuk hal yang lain seperti cerita dan resensi, aku selalu ingin mendapat teman. Itu karena tidak ada yang bisa aku ajak bicara tentang buku. Itu membuatku sedih. Tapi bukannya kalau menyukai sesuatu itu tidak perlu balasan?

Entah mana yang harus aku pilih, karena memang itu selalu menjadi topik trending di kepalaku, bersosialisasi dengan cara mencari rekan sefrekuensi di sosial media, atau fokus dengan apa yang aku tulis tanpa berpikir bahwa memiliki teman satu frekuensi juga penting? Karena pada nyatanya, hanya aku yang mengejar.

Egoku selalu bilang, aku harus bisa berdiri sendiri. Aku harus yakin bahwa tulisan indah akan menemukan pembacanya. Bukan artinya tulisanku indah, aku rasa itu sangat jauh, itu hanya istilah. Tapi sebelum kalian salah sangka dan aku menjadi besar kepala, mari ganti kata 'indah' dengan 'aku'.

Aku hanya ingin menulis tanpa mementingkan popularitas, karena jika mementingkan popularitas itu hanya akan buat sakit hati saat tahu aku tidak mendapat umpan balik. Dan aku juga sadar, aku bukan siapa-siapa di dunia literasi. Jadi diriku, tolong camkan ini, aku menulis untuk diriku sendiri, dan aku punya pembacaku sendiri. Tetap semangat!

Curhatan ini lebih kepada aku yang ingin menemukan pembacaku tanpa mementingkan kehidupan sosial yang berkaitan dengan popularitas. Aku yang menulis tulus berharap menemukan pembacaku yang juga tulus membaca tulisanku. Aku hanya penulis kecil, tapi mimpiku besar. Jadi, untuk aku dan dari aku, tetaplah menulis sampai kamu lupa kenapa kamu menulis. Karena dengan begitu akan sedikit kamu bicara hal tidak berguna di kehidupanmu.


Continue reading Menulis Tanpa Popularitas
,

Desis Hotel A 1


Aku ingin cerita. Aku menulis ini dengan cepat. Aku tidak memintamu untuk percaya, tapi tolong dengarkan kisahku. Akan ku ceritakan perlahan-lahan. Setiap malam Sabtu untuk menemani tidurmu.


Waktu itu tepatnya di hari libur nasional, aku dan temanku berencana untuk pergi mengunjungi pusat megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Perjalanan kami tidak terlalu jauh mengingat jarak dari tempat kami tinggal kesana hanya perlu naik kereta satu kali. Tapi, yang namanya perjalanan pastilah melelahkan. Maka dari itu kami memutuskan untuk segera mencari hotel yang sudah kami cari jauh-jauh hari lewat internet.

Tempatnya tidak terlalu jauh dari tujuan kami. Aku tidak bisa menyebutkan nama hotel ini karena ditakutkan tidak membawa kesan baik kepada pemiliknya. Sebut saja nama hotel ini Hotel A. Setelah menyelesaikan registrasi akhirnya kami mendapat kunci kamar, nomor kamarnya 178.

Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Intan, dan dua temanku bernama Citra dan Tari (Itu semua nama samaran) . Kami memang terbiasa pergi liburan bertiga, jadi aku selalu bersama mereka. Sore itu setelah kami menempati kamar kami dan membersihkan diri, kami pun solat maghrib berjamaah.

Kami berbincang diatas kasur yang akan ditempati Tari. Ngomong-ngomong kasur dikamar ini ada dua, aku dan Citra memutuskan untuk tidur bersama sedangkan Tari akan tidur sendiri. Ada satu buah lemari besar dengan gaya antik, di bagian pintunya terdapat kaca besar yang dapat memantulkan bayangan seluruh tubuh.

Di seberang lemari itu terdapat satu kamar mandi yang lampunya sudah kunyalakan tadi. Kami sekarang disebelah lemari itu, tepatnya masih diatas kasur. Kami berbincang tentang perjalanan menuju sini. Pembicaraan itu membuatku teringat akan sesuatu.

Aku mencium bau kemenyan sepanjang jalan menuju hotel. Tapi saat akan memasuki pintu hotel bau kemenyan berganti dengan bau jamu yang menyengat. Awalnya aku heran dan sedikit merinding saat tahu hotel ini memiliki bau yang aneh. Tapi pikiranku segera ditepis oleh fakta bahwa ada warung jamu dibelakang hotel tempat kami akan menginap. Dan ceritaku mendapat anggukan dari dua temanku juga. Ternyata bukan aku saja yang menciumnya.

Kami tidak sempat makan malam, lebih tepatnya tidak ingin. Kami memutuskan untuk tidur setelah solat isya berjamaah. Aku yang terbiasa memeluk guling saat tidur, untuk hari itu terpaksa memeluk lengan Citra. Aneh, tidak seperti yang kulihat di aplikasi booking hotel, kamar kami tidak diberi guling.

Kiranya pukul dua pagi, aku terbangun karena merasa kantung kemihku penuh, aku membangunkan Citra lebih dulu sebelum pergi ke kamar mandi. Padahal hanya diseberang, tapi aku tidak berani pergi sendiri karena masih saja mencium bau kemenyan.

“Cit, bangun. Antar aku ke kamar mandi.” Aku terus saja mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi dasar kebo, susah sekali untuk bangun. Karena tidak tahan akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.

Aku menyalakan lampu kamar mandi lalu masuk dengan tergesa. Masih setengah sadar, aku mengambil gayung dan berdiam diri sedikit lama. Di posisiku sekarang, aku bisa melihat bayangan kaki dari bawah pintu. Aku mengenalinya sebagai kaki Citra, karena Citra memakai gelang kaki yang aku berikan sebelum datang kesini.

“Sudah belum?”

“Sudah.” Jawabku. Aku pun keluar kamar mandi tanpa mematikan lampu.

Dan saat akan menuju kasur, aku justru melihat Citra masih dalam posisi yang sama seperti sebelum aku ke kamar mandi. Memang benar jika ada yang bilang Citra itu ratu tidur. Sekali nempel dengan kasur dirinya akan langsung terlelap.

Tapi malam itu aku tidak bisa melanjutkan tidurku. Anehnya tiba-tiba suhu didalam kamar menjadi lebih dingin. Aku tidak ada pikiran macam-macam saat itu, karena menurutku wajar saja jika dingin mengingat hotel ini diapit oleh dua pohon besar dan sekarang adalah malam hari.

Aku memutuskan untuk memainkan ponsel guna mendatangkan kantuk. Tidak ada yang menarik untuk dilihat, hanya postingan tentang makanan dan para artis saja. Tapi aku masih betah untuk menjelajahi media sosial malam itu, hingga mataku menangkap sebuah kejadian yang sedang heboh disebarkan oleh publik. Tentang ibu-ibu yang menjadi korban tabrak lari.

DUG!

Aku terhenyak, mataku langsung mengarah ke arah sumber suara. Dari langit-langit kamar. Aku melirik seluruh penjuru kamar sebelum bunyi itu lagi-lagi terdengar. Aku mencengkram selimut, mematikan ponsel dan membenamkan kepala kedalam selimut. Bau itu masih tercium.

Lantunan doa aku ucapkan tanpa henti, bunyi itu pun menghilang. Kali ini aku tidak mendengar apa-apa. tapi itu tidak berlangsung lama karena setelahnya aku mendengar suara orang mendesis dan suara gigi yang bergemeletuk. Rasanya seperti didekat telinga.

Aku memberanikan diri untuk membuka selimut. Tanganku dingin dan gemetar, secepat kilat aku membuka selimut. Masa bodo dengan apa yang nanti akan muncul di hadapanku. Meski tangan sudah menyingkap selimut, tapi mataku masih terpejam. Tidak berani dibuka. Tapi bunyinya semakin nyaring saja.

Perlahan-lahan aku membuka mata dengan berat, bunyi itu kini perlahan memudar terbawa angin, bergantikan dengan bau kemenyan dan wewangian yang menusuk hidung.
Cepat-cepatlah siang.... cepatlah adzan subuh.

“Intan... Intan...” itu suara Tari.

Aku langsung melirik Tari di seberang kasur, tapi Tari membelakangiku. Lalu aku melirik kamar mandi, lampunya ternyata mati. Seperti ada yang salah, tapi aku tidak ingin berpikiran yang aneh-aneh dan memilih untuk lanjut tidur. Tapi yang baru saja kulihat membuatku ngeri dan menahan jeritan.  Sesaat sebelum mataku terpejam, disana, disebrang kasurku, Tari memandangku tanpa ekspresi dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Matanya merah dan mulutnya terbuka sangat lebar sampai kurasa rahangnya akan patah. Dan Tari masih setia memandang kedalam mataku yang tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.


Lanjutannya akan di update setiap jum'at malam (malam sabtu jam 20.00)

Klik icon sosial media dibawah juga. Aku ingin menceritakan banyak hal. Terutama tentang Tari.

Continue reading Desis Hotel A 1

Kamis, 16 April 2020

[UNBOXING + SINOPSIS] Paket Novel Promo Ramadhan !

click here to see the video


Assalamualaikum!
Beberapa hari yang lalu Penerbit Haru dan Spring ngadain promo Ramadhan lhooo... Bukan hanya harga novel-novelnya aja yang turun drastis, tapi juga kita bisa dapet merchandise gratiiiis.

Dan akhirnya paket yang kutunggu datang juga.

Salam diskon!!! XD

Nah ini link toko mereka:

Penerbit Haru Official Shop
https://shopee.co.id/penerbitharu?tab=3

Penerbit Haru 2
https://shopee.co.id/penerbitharu2

Continue reading [UNBOXING + SINOPSIS] Paket Novel Promo Ramadhan !

Kamis, 09 April 2020

, ,

[BOOK REVIEW] People Like Us by Yosephine Monica


Penulis : Yosephine Monica
Penerbit : Haru
Genre : Romance
Kategori : Young Adult
Terbit : Juni 2014
Tebal : 330 halaman
ISBN : 978-602-7742-35-2
Harga : Rp. 54.000


 “Aku lebih menyukai hidupku sekarang. Mungkin jika semuanya tidak serumit ini, aku takkan mengenalmu. Tapi jika aku bisa memilih, aku akan memilih untuk bisa mengenalmu sejak dulu –jauh sebelum penyakit ini datang.” (hlm. 288)


BLURB

Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu. Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan dalam hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.

Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan kehidupan mereka.
Tentang impian mereka,
Tentang cinta pertama,
Tentang persahabatan,
Tentang keluarga,
Juga tentang... kehilangan.

Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin, kau sudah tahu begaimana cerita ini akan tamat.

Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.

Kalau begitu, kita mulai dari mana?


SINOPSIS

Amelia Collins (Amy), gadis lima belas tahun yang jatuh cinta pada teman satu sekolahnya, Benjamin Miller (Ben). Amy adalah gadis biasa-biasa saja di sekolahnya, akan tetapi dirinya cukup terkenal dikalangan teman-temannya karena dua hal. Pertama, dia senang menulis cerita fiksi roman di blog-nya. Ceritanya bagus dan banyak disukai teman-temannya, namun semua cerita yang dia tulis tidak memiliki ending sehingga membuat semua penasaran. Kedua, dia menyukai Ben.

Berawal dari pengakuan Amy pada temannya dan berujung dengan tersebarnya berita itu ke seluruh sekolah, Ben tahu keberadaan Amy. Amy menyukai Ben saat usianya dua belas tahun. Saat itu dirinya bertemu dengan Ben di kelas musik saat middle school. Mereka berada di kelas yang sama, akan tetapi Ben yang selalu menghindari dunia tidak menyadari itu.

Benjamin Miller (Ben), pemuda yang sudah menjalani hidupnya dengan begitu cuek karena sudah mengalami berbagai kejadian pahit di keluarganya. Ayahnya meninggal karena mengidap penyakit kanker, orang tuanya bercerai dan Ben menjadi anak yang tidak cukup dianggap di keluarganya yang membuat dirinya menjadi pribadi yang cuek dan sinis. Ben yang awalnya ingin menjadi penulis kini berganti keinginan dan memilih untuk menggeluti bidang olahraga, khususnya sepak bola. Saat mendengar kabar Amy menyukainya, Ben tidak peduli. Namun setelah cukup sering berpapasan dengan gadis itu akhirnya Ben menganggap bahwa Amy adalah penguntit.

Poetess : “Hai readers, apa kabar? Gimana masa karantinanya? Kalau bosan baca buku aja yuk!”


REVIEW

Novel  People Like Us merupakan pemenang 100 Days of Romance yang diadakan oleh Penerbit Harus’s Writing Competition 2013. Jujur aku tidak tahu kalau novel ini adalah pemenang 100 days of romance, tapi setelah membaca novel ini aku baru paham kenapa novel ini menjadi pemenang.

Sudah lama novel People Like Us ini hilir mudik di beranda situs online tempatku membeli buku. Awalnya aku acuh karena dari judulnya aku sudah menebak, ini adalah novel romantis ala remaja. Akan tetapi, setelah membaca blurb di belakang buku ini, aku langsung jatuh hati. Novel ini membuatku jatuh hati pada paragraf pertama.

Blurb-nya unik, seperti mengajak bicara pembaca sekaligus provokatif tentang ending yang sudah tertebak. Meski aku tahu temanya klise, tapi penulis membungkus kisah klisenya dengan sangat apik sehingga menjadi menarik. Selain itu penulis tidak membiarkan aku membaca sendiri karyanya karena dia juga mengajakku bicara lewat novelnya. Itu yang aku rasakan, sih. Rasanya seperti sedang mendengarkan kisah bukannya membaca.


"Apakah menyukai seseorang butuh alasan?" (hlm. 250)
 

Meski penulis menekankan bahwa cerita ini biasa saja dan endingnya sudah tertebak, aku justru merasa tambah penasaran. Aku ingin tahu memangnya seperti apa kisah yang mudah ditebak itu, apa bisa membuatku bosan dan meninggalkan buku ini sebelum sampai ke ending atau justru sebaliknya?

Dan saat memasuki cerita, aku dibuat kaget dengan gaya bahasanya yang kaku, puitis dan sedikit mengayun. Dan menurutku membuat gaya bahasa seperti itu cukup sulit, tapi penulis yang konon saat menulisnya masih berusia belasan tahun ini membuatku mengacungkan dua jempol sekaligus. Ngomong-ngomong gaya bahasa seperti ini jadi mengingatkanku dengan penulis Annisa Ihsani yang menulis ‘A untuk Amanda’ .

"Kadang kau tidak butuh petualangan di hutan yang mendebarkan atau perjalanan menuju belahan dunia lain untuk merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kadang kau hanya perlu satu orang dan rasanya kau sudah bisa menggapai seluruh dunia dengannya. "(hlm. 259)
 
Novel ini mengambil dua sudut pandang, yaitu Amy dan Ben. Dari dua sudut pandang yang disuguhkan aku jadi mengenal sosok Amy dan Ben lebih cepat. Alur cerita yang katanya lambat tidak begitu terasa lambat karena aku bisa membacanya dengan cepat, saking serunya tiba-tiba saja aku sudah di pertengahan halaman. Semua kejadian yang aku baca terserap dengan sangat mudah dan membuat ketagihan.  Rasanya dalam beberapa lembar saja aku sudah banyak mendapat bayangan kejadian dan kisah mereka. Bagaimana bisa kisah sebanyak itu dituangkan hanya dalam beberapa lembar saja? Dan anehnya terasa seru dan tidak rancu.
               
Selain gaya bahasa dan alur, karakter tokohnya juga asik dan punya ciri khas masing-masing. Amy yang ramah, tabah pemalu dan optimis. Ben yang memiliki sifat dingin dan sinis namun kesepian. Karakter keduanya sangat bertolak belakang.  Dan aku berharap sambil membayangkan bahwa cerita ini bukan cerita sedih melainkan cerita romatis ala remaja yang bahagia, karena dengan begitu pasti Amy bisa mengajak Ben main kesana kemari dengan gembira, membiarkan Ben merasakan hal baru dan hal-hal seru lainnya sambil diselingi canda tawa. Akan tetapi novel ini tentang si tokoh utama yang sakit dan memiliki sifat optimis.

Tapi tenang saja, meski novel ini sudah diklaim menyedihkan bahkan sebelum aku membacanya, novel ini bukan menceritakan kesedihan dan keputusasaan Amy, justru sebaliknya, Amy begitu tabah dan optimis. Amy yang mencoba membuat semuanya tampak baik-baik saja dan menganggap bahwa sakit bukanlah akhir dari segalanya mampu menyentuh hatiku saat membacanya. Meskipun terkadang, terselip ucapan Amy yang menyiratkan kesedihan, semua itu langsung berubah menjadi tidak menyedihkan lagi karena ada Ben yang semakin dekat dengan Amy dan mulai memberikan perhatian-perhatian kecil.

Ketimbang teringat dengan novel ‘The Fault in Our Stars’ aku lebih teringat ke film ‘A Walk Remember’ yang aku tonton sambil banjir air mata. Aaaa semuanya menebarkan aura sedih, optimis sekaligus romantis.

Perkembangan karakter yang aku lihat juga tidak terburu-buru dan terkesan dipaksakan. Lambat tapi pasti semuanya berubah seperti cerita pada umumnya. Aku suka Ben yang cuek tapi perhatian, saat dirinya bercanda dengan Amy, juga saat menjaga Amy. Aku juga suka Amy yang penuh perhatian. Komunikasi keduanya sangat manis sekaligus menggemaskan.

Terimakasih penulis dan Penerbit Haru yang sudah menciptakan novel ini. Sebagai penutup review ini aku memberi 5 bintang dari 5 untuk buku ini. Apa kalian jadi tertarik membaca novel ini?

Akhir kata, selamat menjalankan masa karantina #dirumahaja! 




“I like my life better now. Maybe if things weren't this complicated, I wouldn't know you. But if I could choose, I would choose to know you long ago - long before this disease came." (p. 288)


BLURB

I'll tell you a story. About Amy, a girl who doesn't have many choices in her life.
And Ben, a young man who is always haunted by the past.

Throughout this story, you will be taken to visit pieces of their lives.
About their dreams,
About first love,
About friendship,
About family,
Also about... loss.

They will go through small adventures, before one of them has to say goodbye.

Maybe, you already know how this story will end.

I don't care.
I just hope you read it to the last page.

If so, where do we start?



SYNOPSIS

Amelia Collins (Amy), a fifteen year old girl who falls in love with her schoolmate, Benjamin Miller (Ben). Amy is an ordinary girl at school, but she is quite famous among her friends because of two things. First, she enjoys writing romance fiction stories on her blog. His stories were good and liked by many of his friends, but all the stories he wrote had no ending so they made everyone curious. Second, she likes Ben.

Starting from Amy's confession to her friend and ending with the news spreading throughout the school, Ben knew where Amy was. Amy had a crush on Ben when he was twelve. At that time, she met Ben in music class at middle school. They are in the same class, but Ben, who always avoids the world, doesn't realize that.

Benjamin Miller (Ben), a young man who has lived his life indifferently because he has experienced various bitter events in his family. His father died of cancer, his parents divorced and Ben became a child who was not well respected in his family, which made him an indifferent and cynical person. Ben, who initially wanted to be a writer, has now changed his desire and chose to pursue sports, especially football. When he heard the news that Amy liked him, Ben didn't care. However, after running into the girl quite often, Ben finally assumed that Amy was a stalker.


 "Hi readers, how are you? How is the quarantine period? If you're bored, let's just read a book!”



REVIEW

The novel People Like Us was the winner of the 100 Days of Romance held by the publisher Harus's Writing Competition 2013. Honestly, I didn't know that this novel was the winner of the 100 Days of Romance, but after reading this novel I just understood why this novel was the winner.

For a long time, the novel People Like Us has been back and forth on the home page of the online site where I bought the book. At first I was indifferent because from the title I already guessed, this is a teenage romance novel. However, after reading the blurb at the back of this book, I immediately fell in love. This novel made me fall in love in the first paragraph.

The blurb is unique, as if inviting the reader to talk and at the same time provocative about the predictable ending. Even though I know the theme is cliché, the author wraps up the cliche story very nicely so that it becomes interesting. Apart from that, the author didn't let me read his work myself because he also invited me to talk through his novel. That's what I feel, anyway. It felt like I was listening to a story instead of reading.


"Does liking someone need a reason?" (p. 250)
 

Even though the author emphasized that this story was ordinary and the ending was predictable, I actually felt even more curious. I want to know what a predictable story is like, can it make me bored and leave this book before I get to the ending or is it the opposite?

And when I entered the story, I was surprised by his stiff, poetic and slightly swinging language style. And I think creating a language style like that is quite difficult, but the author, who was said to have been in his teens when he wrote it, made me give two thumbs up at once. By the way, this style of language reminds me of the writer Annisa Ihsani who wrote 'A is for Amanda'.

"Sometimes you don't need a thrilling jungle adventure or a trip to another part of the world to feel true happiness. Sometimes you just need one person and it feels like you can reach the whole world with them." (p. 259)

This novel takes two points of view, namely Amy and Ben. From the two points of view presented, I got to know Amy and Ben more quickly. The story line which was said to be slow didn't feel so slow because I could read it quickly, it was so exciting that suddenly I was in the middle of the page. All the events I read were absorbed very easily and became addictive. It feels like in just a few pages I can already imagine a lot of their events and stories. How can such a large story be contained in just a few pages? And it feels strangely exciting and unambiguous.
               
Apart from the language style and plot, the characters are also fun and have their own characteristics. Amy is friendly, stoic, shy and optimistic. Ben has a cold and cynical nature but is lonely. The characters of the two are very opposite. And I hope while imagining that this story is not a sad story but rather a romantic story in the style of a happy teenager, because then Amy will definitely be able to invite Ben to play here and there happily, letting Ben experience new things and other exciting things while accompanied by laughter. However, this novel is about the main character who is sick and has an optimistic nature.

But don't worry, even though this novel was claimed to be sad before I even read it, this novel does not tell about Amy's sadness and despair, on the contrary, Amy is so steadfast and optimistic. Amy, who tries to make everything seem fine and thinks that pain is not the end of everything, was able to touch my heart when I read it. Even though sometimes there were moments in Amy's words that implied sadness, everything immediately changed and became less sad because Ben got closer to Amy and started to pay little attention to her.

Rather than remembering the novel 'The Fault in Our Stars', I am more reminded of the film 'A Walk Remember' which I watched while flooded with tears. Aaaa, everything gives off a sad, optimistic and romantic aura.

The character development that I saw was also not rushed and seemed forced. Slowly but surely everything changes like the story in general. I like Ben who is cool but caring, when he jokes with Amy, and also when he looks after Amy. I also like the caring Amy. The communication between the two is very sweet and adorable.

Thank you to the author and publisher Haru for creating this novel. In closing this review I give 5 stars out of 5 for this book.

Are you interested in reading this novel?

Finally, have a good quarantine period #stayathome! Hahaha!


Continue reading [BOOK REVIEW] People Like Us by Yosephine Monica

Rabu, 08 April 2020

Senin, 06 April 2020

Sabtu, 04 April 2020

Masa Karantina Tidak Selamanya Menyebalkan

Hai readers! apa kabar kalian? semoga sehat-sehat saja, ya. Untuk yang sedang sakit semoga cepat sembuh (love) dan untuk kalian yang masih harus meninggalkan rumah karena berbagai macam alasan, tetap hati-hati dan jaga selalu kesehatan. 

Sedikit cerita, aku pernah posting tentang virus corona kan di postingan sebelumnya. Dan sekarang aku sudah dapat kepastian, readers. Kuliahku jadi libur satu semester, semua kegiatan dilakukan secara online dan tidak tatap muka. Aku diharuskan pulang oleh Ibu karena khawatir terkena virus Corona. Akhirnya aku dan teman satu kamarku pun pulang memenuhi perintah orang tua masing-masing.

Baca juga : [DAILY] Corona Masuk Kampus

Dan seperti yang pemerintah anjurkan yaitu #dirumahsaja , aku benar-benar mengikutinya. Aku tidak pergi selangkahpun dari dalam rumah. Bahkan untuk memanggil tukang sayur yang ada di pinggir jalan pun, Ibuku yang melakukannya. Benar-benar dikarantina oleh bunda ratu.

Kalau kalian bagaimana? apa kegiatan kalian selama masa karantina? bosan tidak? 

Sebenarnya bohong jika bilang tidak pernah bosan, bosan itu wajar, sesekali pasti datang berkunjung. Seperti aku sekarang. Kegiatanku hanya kuliah online, baca novel, bantu-bantu Ibu dirumah, nulis artikel dan rebahan tentunya. Satu-satunya yang membuatku sibuk adalah tugas yang tidak ada habisnya. Dan kalau sudah selesai satu soal, aku akan diam lagi.

Beda ya, kalau di kostan aku tidak pernah bosan. Aku selalu punya cara untuk menghilangkan rasa bosan, ditambah disana tentunya banyak teman. Tapi, setelah aku muhasabah diri lebih jauh, ini semua banyak manfaat positifnya kok! seperti keadaan bumi yang dikabarkan membaik karena polusi yang turun drastis sampai lapisan ozon yang kembali tertutup, efek internal juga aku rasakan.

Satu, yang aku alami dan rasakan, semenjak karantina ini aku jadi semakin rajin membaca dan menggali materi kuliah. Hahaha! tentu saja karena tidak ada yang bisa ditanyai lebih dalam jika tidak tahu, karena tidak bertemu dengan dosen dan teman-teman juga kan? Mau tidak mau aku jadi belajar sendiri. 

Hiks, kalau lihat aku yang baca materi kuliah rasanya terharu, jadi ingat masa-masa SMP yang ambis banget sama pelajaran. 

Aku rindu aku yang dulu~

Dua, uang jajanku utuh. Sebenarnya tidak sepenuhnya utuh karena aku baru saja beli buku untuk bahan review nanti disini. Tapi tetap saja masih terbilang utuh jika dibanding hari-hari normal  Heuheu...

Tiga, aku bisa mengerjakan banyak kegiatan yang biasanya tertunda karena kegiatan kampus. Dalam sehari aku bisa bloging, melanjutkan projek novelku, dan baca novel.

Untukku pribadi itu adalah kegiatan yang bisa dengan lancar aku lakukan di masa-masa karantina ini. Selebihnya aku merasa sama saja seperti sebelumnya. Karena ada atau tidaknya masa karantina aku tetaplah kaum rebahan level tinggi yang menjunjung tinggi kenikmatan rebahan. Jadi masa karantina ini tidak terlalu berpengaruh banyak untukku. Hanya saja bedanya aku tidak bisa mengobrol langsung dengan teman-teman saja. 

Satu-satunya yang membuatku sedih di masa karantina adalah mereka yang masih saja berkeliaran tanpa tujuan yang jelas diluar sana dan mengabaikan perintah untuk diam dirumah. Mereka yang panic buying sampai membuat orang yang benar-benar membutuhkan justru tidak kebagian. Padahal, dengan diam dirumah dan jaga kesehatan saja sudah dapat menolong kita dari virus.

Aku aja yang mesti ninggalin kostan dan lemari buku disana diem aja tuh dirumah, padahal menurutku itu hal penting. Dan meski kostan harus tetap dibayar walau tanpa ditempati, aku masih setia diem di dalam rumah aja kok. Gak nekat nyamperin ke sana. Yang ini curhat beneran.

Semoga orang-orang ngeyel diluar sana diberi kesadaran oleh Allah aamiin...


stay at home, guys! Sehat selalu. Karantina diri tidak selamanya menyebalkan, kok. Ini membuat kita melirik hal positif yang sebelumnya sering terabaikan karena kesibukan diluar sana.

Jadi... Gimana cerita kalian? Komen dibawah ya ^^





Continue reading Masa Karantina Tidak Selamanya Menyebalkan

Selasa, 24 Maret 2020

,

[BOOK REVIEW] Aku Yang Mencintaimu by Halo Oys


Judul : Aku yang mencintaimu
Penulis : Halo Oys
Halaman : 78 halaman
Genre : motivasi dan inspirasi
Rating  : 4.5 (playbook)


Kesalahan terbesarku adalah, merasa mendoakanmu paling banyak. Merasa memiliki ketulusan paling dalam. Padahal, aku melakukan segalanya karena mengharap imbalan, yaitu cintamu.


Tentang buku ini.

Semua orang mencintai, tetapi kadang-kadang mereka tak mengenali cinta itu sendiri. Mereka salah menempatkan cintanya, menjadi begitu patah hati. Namun, tak mau juga keluar dari lubang kepedihan itu. Di buku ini, akan kamu temukan bagaimana cinta yang seharusnya.


Review

Hai readers, Assalamualaykum! Apa kabar?

Hari ini sesuai kataku tadi malam di instagram story, aku akan review satu e-book non-fiksi yang aku dapatkan dari google playbook. Ngomong-ngomong ini pertama kalinya aku review buku non-fiksi, kan? Ah senangnya!

Baca juga : [BOOK REVIEW] UnderWater by Marisa Reichardt

Jadi... alasan pertama yang membuatku penasaran ingin membaca buku Aku Yang Mencintaimu adalah judulnya yang umum tapi menarik. Entah kenapa rasanya judul buku Aku Yang Mencintaimu cukup persuasif menurutku, apalagi ditambah dengan covernya yang manis, semakin membuatku tidak sabar ingin membacanya. Jadi... ya, aku memutuskan untuk membaca. Yeay!

Selain judul dan cover yang cantik-cantik kalem gitu, isi kertasnya juga ternyata tak kalah cantik. Warna pastel yang lembut seakan mencerminkan isi buku ini yang sangat manis. Tolong beri pujian untuk yang sudah mendesain buku ini dengan begitu manis~

Dari cover aku maju ke isi buku Aku Yang Mencintaimu. Buku non-fiksi bertajuk cinta ini membicarakan tentang bagaimana mencintai seseorang dengan benar sesuai ajaran Islam. Namun meskipun begitu, buku ini tidak ditulis dengan kata-kata yang kaku dan membosankan. Justru, buku Aku Yang Mencintaimu sangat asyik untuk dibaca setiap halamannya.

Gaya bahasanya luwes dan cocok untuk orang yang tidak suka gaya bahasa kaku, tapi masih dalam aturan bahasa Indonesia yang benar. Buku ini mengambil dua sudut pandang, sudut pandang pihak laki-laki dan sudut pandang pihak perempuan.

Untuk sudut pandang perempuan maupun laki-laki, buku ini sama-sama mengajarkan sekaligus menuntun tanpa menuntut dalam penyampaiannya. Ketika membaca sudut pandang perempuan, aku merasa buku ini memang bisa membaca hati aku sebagai perempuan.

Penulis banyak memberikan realisasi yang memang kerap terjadi pada diri perempuan masa kini. Buku ini masuk dan menusuk sangat jauh kedalam pembacanya. Entah kenapa yang dia tulis selalu benar dan terjadi di kalangan kaum perempuan.

Apa karena penulis adalah seorang perempuan, ya?

Bukan hanya dibuat terpukau oleh tembakannya yang tepat sasaran ketika sedang menyampaikan kata-kata, aku juga dibuat tahu banyak tantang apa yang dipikirkan oleh kaum laki-laki yang ditulis dibuku ini. Aku hanya angguk-angguk paham saja saat membaca sudut pandang laki-laki.

Dari setiap kasus dan penyelesainnya, penulis kerap kali mengambil contoh dari kisah sahabat Nabi Muhammad SAW. Seperti kataku tadi, tidak menuntut melainkan menuntun. Aku banyak diberitahu akan kisah sahabat Nabi yang tak kalah jauh manisnya dengan kisah cinta masa kini. Kisah cinta mereka abadi, manis, dan diridha oleh Allah. Bagaimana mungkin aku tidak leleh? heuheuuuu...

"Jangan gadaikan masa depanmu pada cinta, sebab dia bisa hilang sewaktu-waktu." hal-24

Intinya buku Aku Yang Mencintaimu tentang bagaimana mencintai yang benar di mata Allah, mengatasi permasalahan dengan cara yang diajarkan juga menyikapi setiap godaan yang datang. Aku banyak sekali belajar dari buku ini.

Apa kalian tahu apalagi yang bagus dari buku Aku Yang Mencintaimu?

TENTU SAJA KATA-KATA MUTIARANYA!

Ini adalah sebagian kata-kata yang aku suka dari buku Aku Yang Mencintaimu :



"Kadang-kadang kita bisa begitu bebal karena cinta, berpikir bahwa ia membalas rasa. Padahal sudah tahu, bisa saja ia hanya ramah saja. Namun tetap berharap setinggi-tingginya." 


"Bahwa, tak ada cinta sebelum bukti datang. Tak boleh memberi harapan pada hati yang serentan kaca dan sehalus sutra."


"Tak terpikirkah oleh dirimu? ketika meminta wanitamu menunggu? Hubungan ini bukan hanya tentang dirimu yang ingin ini itu."


"Kadang-kadang ketidakpastian bukan lahir dari keterbatasan, melainkan ketakutan. Takut memikul tanggung jawab yang besar." 


"Sudah tahu belum masanya, masih ngotot saja. Bila Allah berikan apa yang kamu mau meski sebetulnya dia bukan jodohmu, lantas bila akhirnya berpisah juga, kamu mengadu karena tersakiti, apakah tidak malu kepada-Nya?"


"Menjadi yang paling perhatian dan chat setiap saat tak menjamin dia akan berperan sampai akhir hayat di hidupmu."


"Bila kamu mencintai makhluk lebih dari penciptamu, saat patah hati kembali kesiapa? Sedangkan hatimu itu milik-Nya"


"Bahkan tidak ada satu jaminan, Bahwa dia tetap akan bersamamu. Apalagi pada hubungan yang serentan kaca bernama pacaran."





Jadi, itu tadi review-ku tentang buku Aku Yang Mencintaimu. 5 bintang dari 5 untuk buku Aku Yang Mencintaimu. Kalian jangan lupa baca, ya! oh iya, buku ini gratis! em... mungkin sedang gratis. Jadi sebelum berbayar lagi kalian harus segera membacanya. Hihihi...


Jangan lupa ikuti Instagramku : Poetesspoetess untuk tahu update-anku lainnya, ya!
Atau kalian bisa langsung klik menu FIND ME ON dibawah (versi mobile) dan disamping (versi web) blog ini.


Sampai jumpa di review selanjutnya.... ^^












Continue reading [BOOK REVIEW] Aku Yang Mencintaimu by Halo Oys

Minggu, 22 Maret 2020

Tentang Hilang

Melebur lalu menghilang
Datang lantas pergi
Merangkul duka dengan senyum tipis
Kamu sedang apa?

Laba-laba tetap merajut jaring
Kupu-kupu tetap menebar kehidupan
Sedangkan senja tidak pernah bertemu mentari
Bagaimana kabarmu?

Kini melodi tidak lagi membawa rindu
Tidak lagi membisikkan pesan
Semua hampa lalu hilang
Seperti bunga dan daun yang kian melayu.


Continue reading Tentang Hilang

Sabtu, 21 Maret 2020

Jadi Begini, Ini Cerita Tentangmu.



Kepastian. Satu kata yang membuatku takut untuk mendengarnya. Awal mengenalmu seharusnya aku tidak perlu terlalu memperhatikan kamu. Aku lelah, selama ini yang aku lakukan adalah menjadi temanmu. Saat senang, aku ingin sekali bercerita banyak padamu. Dari hal kecil sampai besar, aku selalu ingin bercerita denganmu. Tapi ketika hati tak sejalan dengan logika, aku bingung dan kecewa. Saat dimana aku melihatmu berfoto dengan gadis pujaanmu, adalah saat paling menyebalkan. Bagaimanapun aku sadar, siapa aku dan kemana perasaanmu.

Aku selalu berpikir untuk tidak memberitahumu agar bisa tetap berteman. Tapi ada kalanya aku ingin sekali mengungkapkan semuanya. Lalu pergi.

Bicara pergi pasti juga berkaitan dengan menghilang. Sebenarnya, aku sering menghapus kontakmu. Semua itu terjadi saat aku melihat fotomu dengan yang lain, lalu aku akan bertekad untuk melupakanmu. Tapi aku selalu berujung dengan memasukkan kontakmu lagi. Seperti yang kubilang, aku selalu ingin berbagi denganmu.

Lewat status yang kutulis, aku ingin kamu tahu apa yang aku rasakan. Anehnya kamu selalu menjadi yang pertama saat melihatnya. Saat berbicara, kamu menatap mataku dalam. Kamu begitu perhatian dan terkadang menjadi orang yang pengertian. Aku senang, lalu kembali menyelam dalam fantasi akan baiknya dirimu.

Untuk kamu, aku do'akan kamu bahagia dengan pilihanmu. Dan untuk dia yang terpilih, tolong jaga dia baik-baik untukku. Aku yang tak yakin bisa bersamamu berharap dari jauhnya jarak, jika suatu saat kamu tahu perasaanku kamu tidak akan pernah bicara. Cukup pahami dan rasakan kehadiranku dalam rasa itu.

Kamu memang ketidakmungkinan yang aku inginkan.


Baca juga : [DAILY] Corona Masuk Kampus
Continue reading Jadi Begini, Ini Cerita Tentangmu.

Senin, 16 Maret 2020

Senandika untuk mentari




Satu, saja. Aku ingin meyakini satu hal saja untuk diriku. Bahwa semua ini tidaklah salah. Senandika yang ingin kusampaikan padamu tidaklah salah. Tentang aroma tinta yang mengisi buku, aku yakin sudah benar jika menyimpanmu disana. Dari aroma tinta. Aku selalu merasakan bahwa cahaya mentari akan dengan mudah masuk mengisi celah. Bahwa sinarnya tidak bisa terelakan. Begitu juga semua tentangmu, rasaku, dan senandika ini. Hingga aku yakin, aku masih bisa berteduh dibawah buku jika hujan mengguyur dan menghapus semua kata.
Continue reading Senandika untuk mentari

Minggu, 15 Maret 2020

Corona Masuk Kampus

Hai! jadi, tepatnya tanggal 16 maret 2020, aku masuk kampus lagi. Disaat kampus lain sudah libur, aku baru masuk kampus setelah libur semester. Dan kabarnya, kampus-kampus diluar sana sudah meliburkan mahasiswanya. Tapi kampusku belum juga libur, entah belum atau tidak akan.

Aku tahu, kalian pasti sudah tahu apa penyebabnya. Virus Corona. Virus yang sekarang sedang eksis di dunia ini membuat semua orang takut untuk keluar rumah. Jadi alasan aku ingin membagikan cerita di hari pertama aku masuk ini tujuannya curhat saja. Dan jangan karena aku bingung harus merasa bahagia atau bersedih, kalian juga jadi bingung harus melanjutkan baca atau tidak, ya. Hahaha!

Ah iya, Aku mau bilang, hampir setiap hari aku akan masuk kampus pagi. Sepertinya aku harus bawa topi dan dasi juga.

Sebenarnya... aku rindu teman-temanku juga sih. Yah setidaknya dari skala satu sampai sepuluh angka rinduku berhenti di dua. Setidaknya aku rindu. Jadi saking semangatnya, setelah shalat subuh aku langsung berbenah diri dan juga kamar, bahkan disaat teman kamarku saja belum bangun. Corona mengubah segalanya(?) dan ini barang-barang wajib yang aku bawa ke kampus.




Karena aku berada di fakultas IT, jadi laptop adalah barang wajib yang harus pake banget aku bawa-bawa. Tapi sialnya pagi tadi aku malah harus update di menit-menit terakhir jam masuk. Bayangkan aku yang membawa laptop terbuka ditangan sepanjang perjalanan ke kampus.



Terus aku juga bawa hardisk buat jaga-jaga kalau tiba-tiba perlu data penting.


Jangan lupa bawa chargerrrrr.... kacamata juga.



Kalau ini sih buat santai aja, gak mungkin aku pakai saat sedang belajar. Aku tahu diri untuk tidak menyia-nyiakan waktuku dikelas dengan tidak memperhatikan dosen mengajar. Kuliah mahal cuy!




Dan ini situasi dikelas, kosong. Padahal sudah jam masuk. Takut Corona katanya. Dan lucunya, sekalinya ada orang, mereka malah sibuk dengan masker masing-masing.




Sialnya sampai perkuliahan dimulai pun laptopku masih dalam keadaan seperti ini.


Kelasku rata-rata tidak pakai buku. Semuanya digital dan online, bawa buku untuk orang yang emang rajin aja catat omongan dosen. Aku? hmmmm... jangan ditanya. Apa terdapat buku dari gambar diatas? kalian akan tahu setelah lihat gambar.

Jadi, hanya itu kegiatanku di hari pertama. Membosankan, menyebalkan dan sedikit menakutkan. Kampus sepi dari biasanya, suasana jadi terasa parno, dan semua sedang menunggu kabar resmi dari rektor untuk perubahan metode pembelajaran tatap muka menjadi e-learning.


Haaaah... tidak seru. Kalian menyesal sudah baca? yah sudahlah mau bagaimana lagi. Sudah terjadi.

Sampai jumpaaaa




Continue reading Corona Masuk Kampus

Sabtu, 07 Maret 2020

Petrikor by Poetess

Kala itu ingin membuai waktu yang tak tertangkap

Saat tetes air menghiasi jendela tak bersekat

Lampu temaram menunggu senja usai, kita bersama

Layung yang beradu memadu sampai terpadu di langit sendu

Aku menunggu

Tik... tik... tik...

Gemericik air menyahut kukuh pada genangan, 

Membiaskan warna jingga perlahan

Perlahan lalu menghilang tertelan malam

Aku masih menunggu
Continue reading Petrikor by Poetess