Bukannya aku tidak mengerti tentang fakta bahwa terasing karena adanya manusia lain yang lebih ‘menguntungkan’ adalah hal lumrah, layaknya air di atas daun talas. Aku hanya tidak terbiasa dengan rasanya. Sama seperti saat aku tersandung pada anak tangga hanya karena berbeda tingginya, aku lebih cepat mempertanyakan alih-alih merasa sakit karena jatuh. Ada kalanya aku diam-diam merasa bahwa diri ini telah menemukan manusia lain yang bisa kusebut teman dengan ringan tanpa pikir panjang. Rasanya seperti dimengerti dan membuatku menjadi serakah, karena menginginkan semua berlangsung lama dan berarti istimewa. Tanpa pernah berpikir, hal apa yang bisa manusia lain terima dari aku yang lancang melabeli mereka ‘teman’?
Katakanlah aku bodoh karena hanya
mengerti apa yang aku rasa tanpa bisa mengerti apa yang manusia lain rasa dan
pikirkan, meski aku tidak pernah diberitahu. Andai aku lidah, pastilah yang bisa
kurasa hanyalah manis. Aku terbiasa menikmati euphoria pertemanan tanpa pikir
panjang. Merasa manusia lain menerimaku seperti aku menerima semua kurangnya mereka.
Lagi-lagi aku tidak terbiasa
dengan pikiran dan isi hati manusia lain. Tidak bisa kah aku mendengar dalam
hidup ini manusia lain berkata bahwa aku diterima dengan setulus hati meski
tanpa memiliki apa-apa? Tidak bisakah aku diterima meski aku sudah pernah
menjadi apa adanya dan berani menunjukkan tujuh wajah, seperti yang manusia
lain lakukan juga padaku?
Mengapa rasanya hanya aku yang
layak ditinggalkan? Mengapa aku tidak melihat beban pada mata manusia lain yang
membuangku begitu saja hanya karena tidak bisa memenuhi ekspektasinya?
Saat aku kecil aku berpikir jika ingin memiliki teman aku harus banyak meminjamkan bahkan memberikan banyak mainan. Lalu aku sedikit belajar, mungkin jawaban milikku bisa memberi mereka nilai besar dalam mata pelajaran. Dan benar, aku dapat teman. Tapi sementara. Hingga sekarang aku sudah bisa memahaminya dan menafsirkan bahwa memuaskan keinginan setiap manusia bukanlah tugasku. Terlebih tugas seorang 'teman'.
Akhirnya aku menjalani hari-hari dengan kokoh di kaki sendiri dan memeluk dengan tanganku sendiri hanya untuk sekedar melindungi perasaan yang terlalu rapuh. Tapi aku gagal hanya karena setitik kebaikan sementara yang mungkin sebenarnya semu.
Ingin rasanya menyalahkan manusia lain, tapi hanya ada perasaan aku saja disini, jadi kuurungkan lagi niat itu.
Kembali berlalu dan mulai menyusun kembali sugesti yang terkadang menjadi pikiran positif yang menipu namun penuh pembelajaran : pertemanan adalah sebuah penerimaan. Bukan sekadar hadir tanpa jeda tapi juga tentang bagaimana manusia satu dengan manusia lainnya menempatkan diri dalam hubungan yang tulus.
0 comments:
Posting Komentar
Tolong berkomentar yang baik dan sopan ya, readers! juga centang kolom 'Notify me' sebelum publish komentar untuk mendapat notif balasan.
^^