Tampilkan postingan dengan label Cerbung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerbung. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 April 2020

, ,

Intuition of Love 3

Tapi memang tak ada yang terlihat buruk disini, kondisinya sama seperti gudang lainnya. Hanya ada tumpukkan barang tak terpakai berselimutkan kain warna putih. Lalu apa yang ayah bilang berbahaya benar-benar tak terbukti adanya.
Tunggu dulu, aku penasaran dengan barang yang disimpan di sudut ruangan itu. Seperti peti harta karun yang sering kulihat di acara tv mingguanku. Tak ada salahnya kan sekedar untuk melihat, toh tak ada ayah. Pikirku saat itu.
Langkah kecil ku perlahan tapi pasti membuka peti itu. Berdebu. Tapi tak mengurungkan niatku untuk membukanya lebih jauh. Dan benar saja, tak ada yang salah disini. Peti itu hanya berisi bungkusan bubuk putih seperti NaOH yang dihaluskan dengan sedikit kilapan disana. Waktu itu aku pikir ayah menyimpan gula-gula putih. 
Dan aku bersyukur kala itu pikiranku masih sangat sederhana.
Oke kembalilah pada kehidupan nyatamu, Yuna. Dan berhentilah memikirkan itu. Aku akui aku tak pandai menyembunyikan perasaan dan sebenarnya aku juga tak ingin berpisah dengan mereka. Aku sayang mereka sebagai orang tua yang membesarkanku, bukan orang tua yang tulus merawatku. Sudah lama rasanya aku tak mengenang mereka, cukup dikenang kan? Walau sebenarnya aku tak ingat apalagi yang terjadi saat itu, seingatku aku menjadi tahu yang sebenarnya setelah masuk ke dalam sana.
Tak terasa ternyata matahari sudah merangkak ke singasananya yang agung diatas sana. Tak ada waktu lagi, mari bereskan rumah.
Aku ingin menyanyi, ingin sekali. 
"Sapu-sapu ayo sapu yang kotor~ cuci-cuci marilah cuci yang bersih... Oh sungguh sibuknya~"
"Berisik! Suaramu itu jelek. Kupingku nyaris sobek mendengarnya. Aduuh!" ujar Adnan setengah membentak. 
Hey bahkan aku ragu dia punya kuping, heh. Seenaknya mengatai suaraku jelek.
"Oh aku paham, kau ingin aku menyanyi lebih keras lagi kan? Baiklaaaahh..." baru saja aku membuka mulut, tapi dia sudah menjejaliku dengan kertas yang tak tahu darimana asalnya. Aargh!
"Begitu lebih baik. Haha." 
"Dasar jahaaat tak akan ku beri izin kau mendekatiku lagi. Rasakan ini-" 
"Bagaimana bisa aku tak mendekatimu, kau bahkan selalu memintanya." Adnan menyeringai saat mengatakan itu, lama-lama ia mempersempit jarak diantara kita.
Sapu yang kupegang mau tak mau menjadi sasaranku sekarang, aku mencekramnya begitu kuat sampai buku kukuku menjadi putih. Tapi dia tak juga menjauhkan badannya,aku tak suka kondisi seperti ini... Aku bahkan belum sikat gigi. Apa sekarang...
TAKKK!
"Arrghh... Sakit. Aduduh duh sakit." 
Aw. Aku tak sengaja memukulnya dengan sapu, aku hanya panik. Tapi aku rasa dia tak akan mau mendengar penjelasanku. Lebih baik aku menyelinap saja, ya menyelinap. Benar. 
Maaf ya, hhe.
::::::::
Ah lelahnya, seharian membersihkan rumah dengan gangguan si bodoh ternyata tak mudah. Lihat, bajuku basah semua sekarang. Dan itu semua karena dirinya yang bersikukuh untuk menggantikanku mencuci pakaian, tapi ternyata itu tidak membantuku sama sekali. Dengan seenak jidat ia menambahkan pewangi pakaian sebelum detergent pada baju yang masih kotor dan merendamnya sangat lama. Saat kuberitahu, dia selalu berkata bahwa dirinya mengerti.
Tapi lihatlah apa yang terjadi, dia tak menggubrisnya. Pakaianku yang malang. Saat kutegur dia hanya memberikan puppy eyes-nya membuatku ingin sekali mencubitnya, namun siapa tahu saat aku pergi dirinya justru mengumpat. Dasar.
Bodohnya aku malah membiarkannya tetap mencuci, karena saat dekati dirinya malah menarikku masuk kedalam ember yang berisi cucian bersama dengan kakinya yang sudah masuk dan menginjak-injak pakaian lebih dulu. Membuatku tersipu disaat-saat sudah hampir meledak dalam jarak sedekat ini.
Kakiku dapat merasakan saat kakinya dengan sengaja memainkan jari kakiku didalam air, dan itu terasa geli hingga membuatku ingin tertawa. Saat akan kubalas dengan menginjaknya, ternyata dia terlalu cepat untuk sadar sehingga dengan mudah dia menghindar. Tapi saat kakinya menghindar itu justru membuatku tersandung sekaligus tergelincir karena cucian licin yang kita injak.
Takut dan terkejut menelungkupi diriku saat itu. Rasanya aku tak bisa apa-apa lagi selain merasakan kerasnya lantai. Terpejam. Dan saat kutunggu-tunggu waktunya datang, justru aku tak merasakan apa-apa. Hanya saja tubuhku seperti melayang dan aku dapat merasakan jemari kokoh yang tengah memeluk pinggangku. Aku membuka mata refleks. Dan yang kulihat pertama kali adalah wajah terkejut darinya. Huuuhh aku tak jadi jatuh ternyata.
Adnan menarikku lagi ke posisi semula, dan menegakkan tubuhku didepannya. 
"Maaf." ucapnya dengan nada rendah. 
Aku terkesiap saat Adnan mengatakan kata keramat yang selalu ia tolak untuk diucapkan. Tapi justru sekarang dengan lancarnya keluar dari mulut Adnan.
Aku gugup. 
Dan aku tak nyaman dengan suasananya. Karena sekarang aku bisa melihat wajahnya sangat dekat. Tanpa ada raut jahil, cemberut, atau seringaian di wajahnya. Ini wajahnya yang asli, yang memang ku akui sangat tampan. 
Apa-apaan ini, aku merasa sangat malu saat mengingat kejadian tadi. Seharusnya tadi aku marah padanya, bukan malah terpaku seperti orang bodoh. Atau jangan-jangan ini karena aku masih menggunakan baju basah ya, sehingga secara tak langsung aku mengingat riwayat baju basah ini. Lebih baik aku berganti pakaian saja.
"Masih terkejut, atau masih terpesona padaku?" ah orang ini selalu ada dimana saja. 
"Apa maksudmu? Aku tidak terpesona padamu, minggir." aku berjalan melewatinya begitu saja,
 "Aku akan berganti pakaian." lanjutku saat Adnan seakan bertanya apa yang akan kulakukan.
"Tak usah diganti Yuna, kau tampak errrr.... Seperti itu."
Aku segera melempar lap tangan yang ada dimeja tak jauh darinya, "Buang pikiran anehmu jauh-jauh!" ucapku sambil setengah berlari.  
Aku bisa mendengar jelas tawa Adnan pecah setelah aku mengatakannya. Aku bisa gila.
Setelah semua ritualku selesai, sekarang tibalah saatnya untuk mengisi perut. Aku berjalan kearah dapur dan mengambil beberapa ikat sayuran yang sengaja aku beli tadi pagi ditukang sayur langganan ibu-ibu. Bukan menu sayuran mewah seperti menu saat aku dirumah ayah dan ibu yang akan kumasak, hanya menu sederhana tapi bergizi.
Ada kentang, wortel, brokoli, romat, dan bawang. Sepertinya aku akan memilih sup untuk menu hari ini.
Pertama-tama aku mengupas terlebih dulu sayuran tadi dan mencucinya dengan air bersih, kemudian kupotong sayurannya dengan ukuran sedang. Selesai dengan itu, aku menyiapkan air untuk merebusnya. Tapi aku tidak melihat tempat untuk merebus, dimana sebelumnya aku simpan ya? Batinku.
Dibawah meja kompor, didalam rak piring, dan tempat lainnya, tapi aku masih belum menemukannya. Sampai aku menengakkan kepala dan tersenyum saat melihat disana ternyata pancinya. Tergantung manis dipaku atas, berdampingan dengan wajan dan yang lainnya.
"Uhh tempatnya tinggi sekali." gumamku. 
Aku menatapnya lama sekalian berpikir bagaimana menurunkannya tanpa cara menggunakan kursi. Karena itu bisa mengingatkanku akan hari itu
Lebih baik aku mencari wadah lain, pikirku saat akan berbalik dan sebelum menabrak tubuh seseorang dibelakang. 
Adnan entah dari kapan berada disana, dan mungkin sudah berada disana sejak tadi. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil wadah dan masih dengan aku yang sekarang merasa terhimpit oleh tubuhnya.
"Apa kau bisu? Untuk yang seperti ini kau seharusnya memanggilku." ucap Adnan seraya menyerahkan wadahnya padaku. 
Aku terkekeh melihat Adnan yang seperti merajuk. Melihatnya berekspresi begitu membuatku ingin mengelus rambutnya.
Melihat sayuran yang cukup lama terbengkalai, aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tadi, tapi siapa sangka Adnan justru telah menahan lenganku lebih dulu, dan kini tengah membalikkan tubuhku agar membelakanginya.
Tangannya menyentuh rambut panjang sekaligus tebalku dan kemudian menyisirkan dengan jarinya, mengangkatnya dan terakhir mengikatkan karet pada rambutku.
Aku memegang erat pinggiran wadah berbahan aluminium itu, terdiam kaku dengan pikiran yang sudah tak jelas kemana perginya. Tapi yang jelas, aku merasakan hal aneh saat Adnan selesai mengikat rambutku dan tersenyum padaku yang sudah tak tahan ingin berbalik sejak tadi. 
Aku merasakan hal aneh lagi.



Continue reading Intuition of Love 3
, ,

Intuition of Love 2

Sinar matahari sudah menembus ke sela-sela jendela kamar sekarang  dan membuatku terbangun. Aku mengerjapkan mata untuk membiasakan dengan cahaya yang memaksa masuk. Ternyata pagi datang begitu cepat, cahayanya seolah mengucapkan kata 'hallo' padaku.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, mencari sosok keberadaannya yang menemaniku akhir-akhir ini. Ternyata aku terbangun dengan kondisi yang cukup mengenaskan. Dimana ada kasur untuk ku tempati, tapi justru aku malah tertidur diatas lantai yang dingin. Bahkan rasa dingin itu merasuk ke setiap tulang dan seakan membekukannya.
Bulan ini memang bulan untuk koloni hujan berturunan. Disekitar rumah penuh dengan genangan air, membuat para pejalan kaki sedikit kesulitan untuk melaluinya. Dan aku menyadari sesuatu saat melihat itu semua dan dapat menyimpulkan bahwa dari semua fakta yang ku ketahui selama ini, hanya dialah fakta yang tak kuketahui kenyataannya.
KREK
Suara benda bergesekan itu mulai terdengar lagi. Gesekan tiap atom yang membentuk zat berwarna putih dengan media alas yang berwarna hitam. Tak ada siapa-siapa disini. Hanya ada  aku, tikus, kucing, dan masih banyak lagi hewan jelata yang menemaniku disini. Sesuai dengan keadaanku yang sebenarnya. Jelata dan tak layak.
Ingin aku menyalahi takdir yang menyebabkan semua ini. Uang menyebabkan aku bertemu dengan mereka yang memberi kebahagiaan semu.
Andai jika aku tak berlari menyusuri lorong rumah yang selalu ayah larang, mungkin aku tak akan berada disini. Semua itu salahku, salahku yang menguak semua ini.
Sore itu aku bermain ditaman belakang rumah milik keluargaku. Disana adalah tempat kesukaanku, luas dan rindang sejauh mata memandang. Menunggu teman ku yang berjanji akan bermain kerumah dan memperlihatkan mainan barunya lah alasan aku berdiam diri disana lebih lama. 
Satu jam... 
Dua jam... 
Temanku tak kunjung datang, aku yang memang pada dasarnya tak suka dibuat menunggu memutuskan untuk meninggalkan taman.
Sampai suatu ketika aku melihat kelinci yang berlari dihadapanku.
 “Wah~” ucapku sambil mengejarnya. Ingin tahu dari mana asal kelinci itu.
“Tunggu!” aku mengejarnya seraya tak henti-hentinya meneriakki kelinci itu untuk berhenti.
Tapi sepertinya telinga kelinci yang panjang itu tak mendengarkanku, ia lebih memilih berlari dan menjauh saat aku dekati. Mungkin kelinci itu menginginkan sayur.
Aku berlari dengan cepat menuju dapur dan mengambil sayuran yang tersedia dengan lengkapnya di jajaran paling atas rak kaca. Aku berjinjit untuk mengambilnya karena tinggi badanku tidaklah cukup untuk menjangkaunya.
 ‘kurasa aku butuh kursi’ batinku. 
Tapi disekitar sini tak ada kursi yang bisa diandalkan.
Hanya saja aku bisa melihat pintu yang sepertinya adalah pintu gudang. Aku melangkahkan kakiku menyusuri tempat itu, sampai telat ku sadari aku telah melanggar janjiku pada Ayah. 

Baca juga : Intuition of Love 3
Continue reading Intuition of Love 2
, ,

Intuition of Love

Hari demi hari kujalani sepenuh hati. Aku gembira dengan kenyataan yang membawaku ke tempat ini. Tempat dimana sepanjang jalan aku hanya menemukan sekumpulan orang yang berkumpul tak jelas dengan alat musik masing-masing. Memperebutkan recehan yang orang lain lempar dan berikan cuma-cuma. Bahkan acapkali aku melihat persaingan tak sehat setiap harinya.
Tapi aku pertegas lagi, bahwa aku sangat menyukai tempat ini. Suara gesekkan biola dan petikkan gitar lebih baik daripada cacian. Wajah meminta belas kasih disinipun lebih indah dipandang ketimbang wajah manis mereka.
Disini semua berusaha semaksimal mungkin, tak ada yang mendapatkan segalanya dengan instan. Meski dikala logika meminta untuk kembali, aku tetap tak bisa. Apa daya jika hati memang sudah terluka. Bahkan pahitnya racun pun akan kalah rasanya jika dibandingkan dengan pahitnya kenyataan.
Ditempat sepi ini aku hanya memiliki gitar yang menjadi temanku. Pakaian kumal tanpa lengan, rambut yang sengaja kuurai, dan tak lupa jeans yang sudah tak layak pakai membuatku lebih pantas untuk disebut pengemis. 
Tak apa begini, meski penampilan tak menunjang yang penting bakatku sangatlah menunjang. Hah! Terdengar sombong sekali memang. Tapi itulah caraku menjadi kuat. Lebih baik aku dikatai sombong dan sok daripada harus dikasihani seperti orang-orang yang mengelilingiku.
Aku berjalan menyusuri gang kecil yang penuh genangan air dengan pikiran yang berkecamuk di setiap langkah. Dengan mengaitkan gitar pada pundak aku mulai meloncati genangan air itu secepat kilat. Aku tersenyum, jadi teringat masa lalu. Dulu ketika aku dan teman-teman melihat jalan yang seperti ini kami selalu menghina penduduknya yang bisa tahan dengan jalan seperti ini lalu memilih lewat jalan lain. Tapi itu dulu. Karena sekarang justru aku yang menjadi penduduk sini. Haaahh... permainan takdir.
"Aku pulang..." ucapku entah pada siapa. Lagi-lagi aku tersenyum, masih saja aku berhalusinasi tentang indahnya keluarga. Selanjutnya aku melangkahkan kakiku menuju dapur untuk meneguk segelas air, rasanya segar sekali. Aku lelah dan ingin sekali makan sesuatu, tapi aku tak bisa. Aku hanya punya gelas dengan air didalamnya saja.
TAP... TAP...
Aku mendengar langkah seseorang dalam kegelapan. Kuhampiri langkah itu dengan menajamkan indra pendengaranku untuk mengikuti asal suara. Disetiap detik aku melangkah suara langkah itupun kian mendekat. 
Aku berhenti untuk menajamkan telingaku, namun suara itupun hilang. Tak ada bayangan sama sekali dibelakangku saat kunyalakan saklar kamar, hanya ada diriku saat aku bercermin. Tapi aku mencium bau khas yang sudah kukenal belakangan hari ini tepat di belakang leherku.
"Ah! Kau. Kau membuatku kaget." ujarku pada sosok lelaki yang menggunakan pakaian tak jauh berbeda dariku saat ia meniup telingaku. Parasnya tampan dengan lesung pipi dan senyum hangatnya yang selalu ia tunjukkan hanya padaku.
"Kau pikir siapa? Apa ada orang lain yang kau tunggu?" tanyanya. Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, aku malu karena kebenaran yang ia ucapkan.
"Apa terlihat jelas, hah?" 
"Sangat." Jawabnya penuh penekanan. Aku membuang muka saat dirinya mulai menelisik setiap jengkal tubuhku. Dan aku tahu apa yang akan ia tanyakan lagi.
"Iya kau benar. Itu jawaban jika kau mengira aku lapar. Karena aku memang sangat lapar sekarang."
Aku tahu dan sudah hapal tabiatnya meski belum lama mengenal. Ia akan bertanya tentang hal yang sudah ia ketahui sebelumnya dan akan mengataiku pembohong jika aku tak berkata jujur. Harusnya dia tak usah bertanya jika sudah tau. 
Selalu saja begitu.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan manis." Ujarnya tiba-tiba. Ya-ya dia memang selalu tahu.
"Kemari." ia menarik tanganku menuju sudut ruangan dirumahku. Ia mendudukkan dirinya dilantai dan tentunya menarikku untuk duduk disebelahnya.
 "Kau tahu?" itulah suara yang pertama kali ia ucapkan saat kami disini.
 "Dulu saat aku masih sepertimu aku juga pernah merasakannya. Saat aku lapar, ibu selalu melakukan ini padaku."
Tangannya perlahan menarik tubuhku kepelukannya kemudian meletakkan kepalaku dibawah dengan beralaskan pahanya. Jari-jari kekarnya mengusap lembut rambutku penuh perasaan. Sekarang, aku seolah ikut merasakan juga apa yang ia rasakan dulu.
"Aku tak tahu harus berlari kemana ketika semua orang justru memberiku kepedihan diatas senangku. Ibuku pergi tepat saat aku berhasil mewujudkan mimpiku yang selama ini ia dukung. Ibu pergi dan mengatakan sudah tak menyayangiku lagi, aku tak mengerti mengapa ibu melakukan itu. Tapi saat aku melihat ayah keluar sambil meneriakki ibu dengan sebutan yang sama sekali tak pantas didengar anak seusiaku saat itu, aku lalu mengerti. Ayah dan ibu bertengkar."
Aku bisa melihat dari bawah Adnan menarik nafasnya dalam-dalam saat menceritakannya padaku. Aku tertegun melihat raut wajahnya yang seperti menahan sedih mendalam.
"Kemudian aku pergi untuk mencari jalanku sendiri. Dengan modal kemampuanku dalam musik, aku berani turun kejalan untuk menjual suaraku pada mereka yang berlalu lalang sepanjang jalan. Mereka puas dan akupun mendapatkan receh dari mereka. Tapi... tak jarang aku kelaparan karena tak dapat uang. Haha... sama sepertimu sekarang." ucapnya seraya menertawaiku.
"Kau ini, senang sekali mengejekku!" aku mencubit pahanya dengan keras meski aku tahu ia tak akan merasakan sakit. Tapi setidaknya aku bisa menunjukkan padanya kalau aku marah. 
Kemudian Adnan terdiam. Aku bangun dari pangkuannya, mengusap kepalanya dan tersenyum saat Adnan menoleh padaku. "Kau tidak sendiri, aku bersamamu. Walaupun Ayah dan Ibumu meninggalkanmu, tapi aku tidak akan meninggalkanmu." ujarku.
"Dasar sok kuat. Aku tahu kau terharu dengan kisah yang ku karang tadi." ucapnya tanpa dosa. 
"Apa?!! Jadi cerita itu hanya-" belum sempat aku menuntaskan ucapanku, Adnan menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Seakan kisah tadi itu benar adanya, seakan semua yang ia ucapkan benar, seakan ia..... benar-benar merasakannya.
"Aku tak mengerti apa yang kalian pikirkan disaat seperti ini. Yang ku tahu hanyalah kehidupan yang tak kekal ini membuatku tersesat." dengan lembut aku menyentuh tangannya yang terasa dingin saat bersentuhan denganku. Ku sunggingkan senyum tulus untuk menjawab pertanyaannya selama ini.
"Boleh ku jawab pertanyaanmu?" tanyaku. Ia terperanjat dari lamunannya, iris kelamnya membesar tatkala aku menawarkan diri untuk menjawab.
"Aku mengerti sekarang. Kau ingin aku cepat-cepat pergi dari sini, eh?"
Aku terbahak mendengarnya. Aku rasa dirinya telah salah paham. Tapi biarlah, dengan begitu aku tak perlu susah payah memikirkan cara untuk membuatnya kesal. "Pergilah aku mau tidur." Ujarku.
Namun ia tak juga bergeming dari duduknya dan justru menarikku kembali kepelukannya. 
"Tidurlah, aku temani" sebenarnya apa yang ia katakan. Haruskah aku mencerna dan menganggap serius perkataannya tadi itu. Mungkin sekali saja, untuk malam ini saja biarkan aku menghilangkan ego ku untuk sementara.

Continue reading Intuition of Love
,

Desis Hotel A 1


Aku ingin cerita. Aku menulis ini dengan cepat. Aku tidak memintamu untuk percaya, tapi tolong dengarkan kisahku. Akan ku ceritakan perlahan-lahan. Setiap malam Sabtu untuk menemani tidurmu.


Waktu itu tepatnya di hari libur nasional, aku dan temanku berencana untuk pergi mengunjungi pusat megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Perjalanan kami tidak terlalu jauh mengingat jarak dari tempat kami tinggal kesana hanya perlu naik kereta satu kali. Tapi, yang namanya perjalanan pastilah melelahkan. Maka dari itu kami memutuskan untuk segera mencari hotel yang sudah kami cari jauh-jauh hari lewat internet.

Tempatnya tidak terlalu jauh dari tujuan kami. Aku tidak bisa menyebutkan nama hotel ini karena ditakutkan tidak membawa kesan baik kepada pemiliknya. Sebut saja nama hotel ini Hotel A. Setelah menyelesaikan registrasi akhirnya kami mendapat kunci kamar, nomor kamarnya 178.

Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Intan, dan dua temanku bernama Citra dan Tari (Itu semua nama samaran) . Kami memang terbiasa pergi liburan bertiga, jadi aku selalu bersama mereka. Sore itu setelah kami menempati kamar kami dan membersihkan diri, kami pun solat maghrib berjamaah.

Kami berbincang diatas kasur yang akan ditempati Tari. Ngomong-ngomong kasur dikamar ini ada dua, aku dan Citra memutuskan untuk tidur bersama sedangkan Tari akan tidur sendiri. Ada satu buah lemari besar dengan gaya antik, di bagian pintunya terdapat kaca besar yang dapat memantulkan bayangan seluruh tubuh.

Di seberang lemari itu terdapat satu kamar mandi yang lampunya sudah kunyalakan tadi. Kami sekarang disebelah lemari itu, tepatnya masih diatas kasur. Kami berbincang tentang perjalanan menuju sini. Pembicaraan itu membuatku teringat akan sesuatu.

Aku mencium bau kemenyan sepanjang jalan menuju hotel. Tapi saat akan memasuki pintu hotel bau kemenyan berganti dengan bau jamu yang menyengat. Awalnya aku heran dan sedikit merinding saat tahu hotel ini memiliki bau yang aneh. Tapi pikiranku segera ditepis oleh fakta bahwa ada warung jamu dibelakang hotel tempat kami akan menginap. Dan ceritaku mendapat anggukan dari dua temanku juga. Ternyata bukan aku saja yang menciumnya.

Kami tidak sempat makan malam, lebih tepatnya tidak ingin. Kami memutuskan untuk tidur setelah solat isya berjamaah. Aku yang terbiasa memeluk guling saat tidur, untuk hari itu terpaksa memeluk lengan Citra. Aneh, tidak seperti yang kulihat di aplikasi booking hotel, kamar kami tidak diberi guling.

Kiranya pukul dua pagi, aku terbangun karena merasa kantung kemihku penuh, aku membangunkan Citra lebih dulu sebelum pergi ke kamar mandi. Padahal hanya diseberang, tapi aku tidak berani pergi sendiri karena masih saja mencium bau kemenyan.

“Cit, bangun. Antar aku ke kamar mandi.” Aku terus saja mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi dasar kebo, susah sekali untuk bangun. Karena tidak tahan akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.

Aku menyalakan lampu kamar mandi lalu masuk dengan tergesa. Masih setengah sadar, aku mengambil gayung dan berdiam diri sedikit lama. Di posisiku sekarang, aku bisa melihat bayangan kaki dari bawah pintu. Aku mengenalinya sebagai kaki Citra, karena Citra memakai gelang kaki yang aku berikan sebelum datang kesini.

“Sudah belum?”

“Sudah.” Jawabku. Aku pun keluar kamar mandi tanpa mematikan lampu.

Dan saat akan menuju kasur, aku justru melihat Citra masih dalam posisi yang sama seperti sebelum aku ke kamar mandi. Memang benar jika ada yang bilang Citra itu ratu tidur. Sekali nempel dengan kasur dirinya akan langsung terlelap.

Tapi malam itu aku tidak bisa melanjutkan tidurku. Anehnya tiba-tiba suhu didalam kamar menjadi lebih dingin. Aku tidak ada pikiran macam-macam saat itu, karena menurutku wajar saja jika dingin mengingat hotel ini diapit oleh dua pohon besar dan sekarang adalah malam hari.

Aku memutuskan untuk memainkan ponsel guna mendatangkan kantuk. Tidak ada yang menarik untuk dilihat, hanya postingan tentang makanan dan para artis saja. Tapi aku masih betah untuk menjelajahi media sosial malam itu, hingga mataku menangkap sebuah kejadian yang sedang heboh disebarkan oleh publik. Tentang ibu-ibu yang menjadi korban tabrak lari.

DUG!

Aku terhenyak, mataku langsung mengarah ke arah sumber suara. Dari langit-langit kamar. Aku melirik seluruh penjuru kamar sebelum bunyi itu lagi-lagi terdengar. Aku mencengkram selimut, mematikan ponsel dan membenamkan kepala kedalam selimut. Bau itu masih tercium.

Lantunan doa aku ucapkan tanpa henti, bunyi itu pun menghilang. Kali ini aku tidak mendengar apa-apa. tapi itu tidak berlangsung lama karena setelahnya aku mendengar suara orang mendesis dan suara gigi yang bergemeletuk. Rasanya seperti didekat telinga.

Aku memberanikan diri untuk membuka selimut. Tanganku dingin dan gemetar, secepat kilat aku membuka selimut. Masa bodo dengan apa yang nanti akan muncul di hadapanku. Meski tangan sudah menyingkap selimut, tapi mataku masih terpejam. Tidak berani dibuka. Tapi bunyinya semakin nyaring saja.

Perlahan-lahan aku membuka mata dengan berat, bunyi itu kini perlahan memudar terbawa angin, bergantikan dengan bau kemenyan dan wewangian yang menusuk hidung.
Cepat-cepatlah siang.... cepatlah adzan subuh.

“Intan... Intan...” itu suara Tari.

Aku langsung melirik Tari di seberang kasur, tapi Tari membelakangiku. Lalu aku melirik kamar mandi, lampunya ternyata mati. Seperti ada yang salah, tapi aku tidak ingin berpikiran yang aneh-aneh dan memilih untuk lanjut tidur. Tapi yang baru saja kulihat membuatku ngeri dan menahan jeritan.  Sesaat sebelum mataku terpejam, disana, disebrang kasurku, Tari memandangku tanpa ekspresi dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Matanya merah dan mulutnya terbuka sangat lebar sampai kurasa rahangnya akan patah. Dan Tari masih setia memandang kedalam mataku yang tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.


Lanjutannya akan di update setiap jum'at malam (malam sabtu jam 20.00)

Klik icon sosial media dibawah juga. Aku ingin menceritakan banyak hal. Terutama tentang Tari.

Continue reading Desis Hotel A 1