Aku ingin cerita. Aku menulis ini dengan cepat. Aku tidak memintamu untuk percaya, tapi tolong dengarkan kisahku. Akan ku ceritakan perlahan-lahan. Setiap malam Sabtu untuk menemani tidurmu.
Waktu itu
tepatnya di hari libur nasional, aku dan temanku berencana untuk pergi
mengunjungi pusat megalitikum terbesar di Asia Tenggara. Perjalanan kami tidak
terlalu jauh mengingat jarak dari tempat kami tinggal kesana hanya perlu naik
kereta satu kali. Tapi, yang namanya perjalanan pastilah melelahkan. Maka dari
itu kami memutuskan untuk segera mencari hotel yang sudah kami cari jauh-jauh
hari lewat internet.
Tempatnya tidak
terlalu jauh dari tujuan kami. Aku tidak bisa menyebutkan nama hotel ini karena
ditakutkan tidak membawa kesan baik kepada pemiliknya. Sebut saja nama hotel
ini Hotel A. Setelah menyelesaikan registrasi akhirnya kami mendapat kunci kamar,
nomor kamarnya 178.
Oh iya, aku belum
memperkenalkan diri. Namaku Intan, dan dua temanku bernama Citra dan Tari (Itu semua nama samaran) . Kami memang terbiasa pergi liburan bertiga, jadi aku selalu bersama mereka. Sore itu
setelah kami menempati kamar kami dan membersihkan diri, kami pun solat maghrib
berjamaah.
Kami berbincang
diatas kasur yang akan ditempati Tari. Ngomong-ngomong kasur dikamar ini ada
dua, aku dan Citra memutuskan untuk tidur bersama sedangkan Tari akan tidur
sendiri. Ada satu buah lemari besar dengan gaya antik, di bagian pintunya
terdapat kaca besar yang dapat memantulkan bayangan seluruh tubuh.
Di seberang
lemari itu terdapat satu kamar mandi yang lampunya sudah kunyalakan tadi. Kami sekarang
disebelah lemari itu, tepatnya masih diatas kasur. Kami berbincang tentang
perjalanan menuju sini. Pembicaraan itu membuatku teringat akan sesuatu.
Aku mencium bau
kemenyan sepanjang jalan menuju hotel. Tapi saat akan memasuki pintu hotel bau
kemenyan berganti dengan bau jamu yang menyengat. Awalnya aku heran dan sedikit
merinding saat tahu hotel ini memiliki bau yang aneh. Tapi pikiranku segera
ditepis oleh fakta bahwa ada warung jamu dibelakang hotel tempat kami akan
menginap. Dan ceritaku mendapat anggukan dari dua temanku juga. Ternyata bukan
aku saja yang menciumnya.
Kami tidak sempat
makan malam, lebih tepatnya tidak ingin. Kami memutuskan untuk tidur setelah
solat isya berjamaah. Aku yang terbiasa memeluk guling saat tidur, untuk hari
itu terpaksa memeluk lengan Citra. Aneh, tidak seperti yang kulihat di aplikasi
booking hotel, kamar kami tidak diberi guling.
Kiranya pukul dua
pagi, aku terbangun karena merasa kantung kemihku penuh, aku membangunkan Citra
lebih dulu sebelum pergi ke kamar mandi. Padahal hanya diseberang, tapi aku
tidak berani pergi sendiri karena masih saja mencium bau kemenyan.
“Cit, bangun. Antar
aku ke kamar mandi.” Aku terus saja mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi dasar
kebo, susah sekali untuk bangun. Karena tidak tahan akhirnya aku memutuskan
untuk pergi sendiri.
Aku menyalakan
lampu kamar mandi lalu masuk dengan tergesa. Masih setengah sadar, aku
mengambil gayung dan berdiam diri sedikit lama. Di posisiku sekarang, aku bisa
melihat bayangan kaki dari bawah pintu. Aku mengenalinya sebagai kaki Citra,
karena Citra memakai gelang kaki yang aku berikan sebelum datang kesini.
“Sudah belum?”
“Sudah.” Jawabku.
Aku pun keluar kamar mandi tanpa mematikan lampu.
Dan saat akan
menuju kasur, aku justru melihat Citra masih dalam posisi yang sama seperti sebelum
aku ke kamar mandi. Memang benar jika ada yang bilang Citra itu ratu tidur. Sekali
nempel dengan kasur dirinya akan langsung terlelap.
Tapi malam itu
aku tidak bisa melanjutkan tidurku. Anehnya tiba-tiba suhu didalam kamar
menjadi lebih dingin. Aku tidak ada pikiran macam-macam saat itu, karena
menurutku wajar saja jika dingin mengingat hotel ini diapit oleh dua pohon
besar dan sekarang adalah malam hari.
Aku memutuskan
untuk memainkan ponsel guna mendatangkan kantuk. Tidak ada yang menarik untuk
dilihat, hanya postingan tentang makanan dan para artis saja. Tapi aku masih
betah untuk menjelajahi media sosial malam itu, hingga mataku menangkap sebuah
kejadian yang sedang heboh disebarkan oleh publik. Tentang ibu-ibu yang menjadi
korban tabrak lari.
DUG!
Aku terhenyak, mataku
langsung mengarah ke arah sumber suara. Dari langit-langit kamar. Aku melirik
seluruh penjuru kamar sebelum bunyi itu lagi-lagi terdengar. Aku mencengkram
selimut, mematikan ponsel dan membenamkan kepala kedalam selimut. Bau itu masih
tercium.
Lantunan doa aku
ucapkan tanpa henti, bunyi itu pun menghilang. Kali ini aku tidak mendengar
apa-apa. tapi itu tidak berlangsung lama karena setelahnya aku mendengar suara
orang mendesis dan suara gigi yang bergemeletuk. Rasanya seperti didekat
telinga.
Aku memberanikan
diri untuk membuka selimut. Tanganku dingin dan gemetar, secepat kilat aku
membuka selimut. Masa bodo dengan apa yang nanti akan muncul di hadapanku. Meski
tangan sudah menyingkap selimut, tapi mataku masih terpejam. Tidak berani
dibuka. Tapi bunyinya semakin nyaring saja.
Perlahan-lahan
aku membuka mata dengan berat, bunyi itu kini perlahan memudar terbawa angin,
bergantikan dengan bau kemenyan dan wewangian yang menusuk hidung.
Cepat-cepatlah
siang.... cepatlah adzan subuh.
“Intan...
Intan...” itu suara Tari.
Aku langsung
melirik Tari di seberang kasur, tapi Tari membelakangiku. Lalu aku melirik
kamar mandi, lampunya ternyata mati. Seperti ada yang salah, tapi aku tidak
ingin berpikiran yang aneh-aneh dan memilih untuk lanjut tidur. Tapi yang baru
saja kulihat membuatku ngeri dan menahan jeritan. Sesaat sebelum mataku terpejam, disana,
disebrang kasurku, Tari memandangku tanpa ekspresi dengan mata melotot dan
mulut terbuka lebar. Matanya merah dan mulutnya terbuka sangat lebar sampai
kurasa rahangnya akan patah. Dan Tari masih setia memandang kedalam mataku yang
tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.
Lanjutannya akan di update setiap jum'at malam (malam sabtu jam 20.00)
Klik icon sosial media dibawah juga. Aku ingin menceritakan banyak hal. Terutama tentang Tari.
Sedikit lagi hampir😁
BalasHapusHampir apa tah? 😂
HapusHampir ngena😂
Hapus